Keluarga benar-benar hilang kontak. Takdir mengubah segalanya.
WIDYAWAN SETIADI
Pinrang
PAGI masih lembab. Aroma tanah usai hujan masih menyeruak. Pelabuhan Nusantara Parepare riuh.
Kapal Motor (KM) Quen Soya baru saja sandar dari Pelabuhan Nunukan. Tampak lalu lalang penumpang yang sibuk menenteng barang. Suara percakapan mereka tidak begitu jelas terdengar.
Petugas yang berjaga, juga tukang ojek yang menawarkan jasa angkutan, mewarnai aktivitas awal Januari 2022. Di tengah kesibukan terminal angkutan laut di sebelah utara Sulsel itu, terselip juga suasana haru.
Satu keluarga saling tukar tangis, saling rengkuh. Sesekali juga saling lempar senyum. ”Akhirnya Timang pulang.”
Kalimat itu terlontar dari perempuan paruh baya, Lia Ibrahim. Dia bersama beberapa keluarganya menyambut kedatangan Timang dari negeri seberang, Malaysia. Timang sendiri merupakan bibi dari Lia.
Dia baru saja pulang setelah 35 tahun berpisah dengan keluarga. Sejak 1989 Timang merantau, tanpa dokumen lengkap. Saat itu usianya masih 15 tahun. Dia pergi untuk mencari kerja, demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Dia berangkat bersama rekan kampung halamannya di Dusun Salimbongan, Desa Ulusaddang, Kecamatan Lembang, Kabupaten Pinrang. Bekalnya hanya tekad, tanpa keahlian dan modal cukup.
Setibanya di Tawau, Malaysia, dia mendapat pekerjaan sebagai Asisten Rumah Tangga (ART). Dia hanya bisa mengerjakan urusan dapur dan seputar rumah. Sebab, dia tidak bisa baca tulis. Pendidikan terakhirnya Sekolah Dasar (SD). Itu pun tidak tuntas.
Beberapa tahun di sana, rekannya pulang ke kampung halaman. Dia akhirnya mendapat teman baru untuk berinteraksi. Sekadar teman berbelanja di pasar atau teman berbagi kisah.
Singkat cerita, Timang bertemu lelaki berkewarganegaraan Filipina. Keduanya saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Dia dikaruniai empat anak dan menjalani hidup normal. Sampai akhirnya, tahun ketujuh dia di Malaysia, masalah mulai tiba.
Timang ditangkap oleh petugas kepolisian Malaysia karena dianggap sebagai pekerja ilegal. Dia masuk ke Tawau tanpa berkas resmi. Akhirnya, dia “dibuang” ke Filipina.
Beberapa tahun setelah peristiwa itu, Timang kembali masuk ke Malaysia. Tetapi karena punya ketrrbatasan baca tulis, Timang tidak tahu harus ke mana. Alamat pun tidak tahu. Apalagi harus mencari sanak saudara.
Timang memutuskan mencari kerja. Beberapa pekerjaan sempat dia lakoni selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya, dia mendapat pekerjaan di sebuah restoran. Pekerjaan ini tidak begitu sulit baginya. Sebab, dia sudah biasa bekerja sebagai ART.
Tentu tugasnya tidak jauh dari dapur. Dia cukup nyaman di sana. Namun, cobaan kembali datang. Pada 2019, restoran tempat Timang bekerja digerebek aparat. Ada laporan yang menyebutkan bahwa di restoran tersebut banyak pendatang ilegal. Akhirnya Timang tertangkap untuk kedua kalinya.
”Ditahan di Rumah Merah selama 2 tahun 9 bulan,” kata Lia.
Lia awalnya tidak tahu bahwa Timang masih hidup. Tidak ada kabar, tidak ada komunikasi. Lia juga tidak begitu tahu soal Timang, sebab dia masih kecil kala Timang berangkat ke Malaysia. Akan tetapi, ibunya (kakak dari Timang) meminta agar Lia mencari bibinya.
”Waktu dia pergi saya masih kecil, kalau tidak salah masih kelas I SD. Jadi saya tidak tahu banyak soal Timang, saya juga tidak tahu mukanya. Kan, tidak pernah ada komunikasi,” bebernya.
Ibunya mendesak. Lia diminta mencari Timang dengan cara apa pun. Ternyata itu adalah permintaan terakhir ibunya. Lima hari setelah menyampaikan permintaan, ibunya meninggal. Lia berinisiatif membuat postingan di laman Facebook pada 15 November 2021.
Seiring berjalannya waktu, hal baik menghampiri. Tiba-tiba saja seorang perantara menelepon Lia. Ternyata, perantara itu bersama suami Timang dan diberitahu bahwa Timang masih hidup.
Dari panggilan telepon itu, Lia kembali mengecek postingannya di Facebook. Dia menemukan kontak kerabat dekat, Murni. Dia menyarakan untuk mencari kontak Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia di Google.
Setelah menemukan koneksi ke Kedutaan Besar, Lia menyampaikan semuanya. Tetapi pihak Kedutaan meminta surat rekomendasi pemerintah setempat, sebagai bukti bahwa yang bersangkutan merupakan keluarga Timang.
”Pergilah saya ke Pak Desa dan Pak Camat. Akhirnya dibuatkan semua dokumennya dan disampaikan ke Kedutaan. Akhirnya lancar semua sampai Timang pulang ke rumah,” kata Lia.
Awal pekan ini, Timang sampai di Salimbongan. Orang yang pertama dia cari adalah ayah, ibu, dan kakaknya (ibu dari Lia). Tetapi, semuanya sudah meninggal, tidak dia temui lagi semenjak kepergiannya ke Malaysia.
”Dia datang itu menangis keras sekali. Karena dia cari bapaknya, dia cari ibunya, dia cari juga kakaknya. Dia itu dekat sekali sama ibu saya, makanya dia menangis keras sekali pas tahu kakaknya sudah meninggal,” kata Lia.
Kata Lia, ayah Timang sudah meninggal beberapa tahun setelah dia berangkat merantau. Kakaknya juga wafat ketika dia sudah berada di Malaysia. Sehingga, tidak ada kabar yang sempat dia terima.
Kemudian, beberapa waktu setelah suami Timang menghubungi Lia, dia juga meninggal. Itu sekitar 10 bulan yang lalu. Sedihnya lagi, ibunda Timang juga menyusul mendiang suaminya pada saat proses pemulangan Timang sedang diurus.
”Itu nenek saya sempat minta teleponan sama Timang. Tetapi orang kedutaan belum izinkan. Akhirnya dia tidak bisa komunikasi sampai wafat,” urai Lia.
Timang sendiri saat ini masih menenangkan diri. Dia sesekali mengaku rindu pada anaknya. Namun saat ini keluarga masih berupaya menenangkan Timang terlebih dahulu. Setelah itu, barulah berencana lebih lanjut. (*)