OLEH: Asrudin Azwar, Dosen HI FISIP Universitas Jakarta
Tanggal 25 Bulan November tahun 2021, mungkin bisa dicatat sebagai momen kemenangan bagi demokrasi. Saat itu gugatan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh ke Mahkamah Konstitusi (MK) dikabulkan untuk sebagian. Majelis Hakim Konstitusi menegaskan UU Cipta Kerja cacat secara formil.
Ketua MK Anwar Usman menyebutkan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan’. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Namun yang kini terjadi bukannyaperbaikan yang dilakukan oleh pemerintah.Presiden Jokowi malah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, agar UU Cipta Kerja tersebut tetap berlaku. Hal ini sekaligus membatalkan putusan MK. Padahal sebelumnya Menkumham Yasonna Laoly menyatakan bakal patuh terhadap putusan MK.
Dengan terbitnya Perppu tersebut, hal ini berpotensi mencacatkan demokrasi di Indonesia. Sebab, Perppu tidak hanya menunjukkan absolutisme kekuasaan presiden yang diharamkan sistem demokrasi, melainkan juga bertentangan dengan supremasi hukum karena membatalkan putusan MK.
Membatasi Kekuasaan
Dari dulu sampai sekarang, kehidupan politik masyarakat manusia selalu ditandai oleh dua konstanta yang memiliki nilai ontologis: perebutan kekuasaan dan perjuangan melawan kekuasaan, baik dalam situasi yang tidak sah karena kediktatoran atau tirani, atau pun dalam versi yang legitimate dalam masyarakat demokratis, seperti aktivitas politik dari kubu oposisi dalam merebut kekuasaan atau gerakan perlawanan masyarakat sipil (civil society) terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Tentu saja yang kedua (sistem demokrasi) menjadi pilihan politik paling rasional. Sebab demokrasi menjamin adanya pemilihan berkala. Dengan begitu pemerintahan yang otoriter dapat disingkirkan oleh para pemilih.
Namun pemilu saja tidaklah cukup. Karena baru sebatas prosedural. Secara substantif, demokrasi bukan hanya soal memilih siapa yang akan berkuasa, tetapi bagaimana kekuasaan dijalankan. Demokrasi mengandaikan bahwa pemerintah dibatasi kekuasaan dan pelaksanaan kekuasaannya. Dengan begitu, kekuasaan pemerintah dibatasi oleh aturan hukum, khususnya oleh hukum dasar atau konstitusi.
Pembatasankekuasaan oleh konstitusi itu biasadilakukan dengan mekanisme checks and balances, saling mengontrol untuk menjaga keseimbangan antara lembaga-lembaga negara atau yang biasa kita sebut dengan cabang-cabang kekuasaan negara. Kekuasaan itu sendiri dibagi menjadi tiga cabang:legislatif membuat undang-undang, eksekutif menjalankan undang-undang, dan yudikatif menafsirkan undang-undang. Satu cabang tidak dapat melakukan ketiga fungsi tersebut secara sekaligus.
Dengan aturan konstitusi itu, Presiden Jokowi (sebagai penguasa eksekutif) semestinya menyadari batasan dari kekuasaanya. Ia seharusnya menjalankan ketentuan hukum yang sudah diputuskan MK dan bukannya mengeluarkan Perppu yang malah menggugurkan putusan MK itu sendiri.
Supremasi Hukum
Pada dasarnya, batasan konstitusional atas kekuasaan, yang menjadi ciri utama demokrasi, mensyaratkan ketaatan pada supremasi hukum (rule of law). Itu artinya, demokrasi tidak dapat eksis tanpa supremasi hukum.
Supremasi hukum adalah prinsip lama yang mengacu pada cara bagaimana negara diatur. Dibandingkan dengan Rule by Law, dimana pemerintah menggunakan hukum untuk memerintah dan dianggap berada di atas hukum, maka supremasi hukum menuntut semua entitas, termasuk pemerintah, harus tunduk pada hukum.
Negara demokrasi di bawah supremasi hukum adalah negara di mana warga negara dibebaskan memilih pemimpinnya, dan pemimpin yang terpilih terikat oleh hukum, sekaligus membantu memastikan bahwa hukum dihormati oleh semua warga negara. Supremasi hukum dalam institusi demokratis memungkinkan pemerintah melaksanakan kebijakan berdasarkan undang-undang, dan kemudian tunduk pada undang-undang itu sendiri.
Itulah mengapa supremasi hukum dijadikan sebagai nilai-nilai yang universal oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB). PBB juga memprioritaskan supremasi hukum dalam Sustainable Development Goal 16 (SDG16): Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Kuat. Secara khusus, SDG16 menekankan bahwa supremasi hukum memainkan peran penting dalam mempromosikan “masyarakat yang damai, adil, inklusif dan . . . memastikan pembangunan berkelanjutan.” Salah satu target SDG16 adalah mempromosikan supremasi hukum baik di tingkat nasional maupun internasional untuk memastikan akses keadilan yang setara bagi semua orang.
Namun, saat supremasi hukum telah dijadikan sebagai nilai-nilai yang universal oleh PBB, negeri ini justru mengebirinya. Ini bisa terjadi karena oligarki dan elite memblokir kekuatan supremasi hukum, membengkokkan dan juga memengaruhi sistem hukum yang hanya menguntungkan mereka saja (Jeffrey A. Winters, 2021).
Kekuasaan ekstrem yang terkonsentrasi pada segelintir orang bisa menumbangkan supremasi hukum, dan kemudian mendistorsi demokrasi. Dalam perkataannya Winters: “We have seen that democratic elections are “free and fair” in the narrow competitive sense, but utterly unfair with regard to equal voice and influence among all Citizens”. Inilah yang dimaksud John McCormick (2011) sebagai “Machiavellian Democracy.” Meski diadakan pemilu, tetapi dalam struktur sosial dan politik yang lebih luas tetap didominasi oleh kekuatan ekstrem dari oligarki dan elite.
Itulah mengapa, Winters, yang juga Seorang profesor sekaligus Direktur dari the Equality Development and Globalization Studies Program (EDGs), Northwestern University, Amerika, dalam Kuliah yang disampaikan pada ulang tahun ke 75 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), 17 Februari 2021, mengajukan proposisi buram mengenai supremasi hukum. Menurutnya supremasi hukum dapat dikatakan bekerja bila berhasil menjinakkan oligarki dan elite negara. Karena ini belum terjadi di Indonesia, maka dapat disimpulkan supremasi hukum belumlah ada.
Dalam kaitan itu, maka dapat dikatakan bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh Presiden Jokowi dapat dimaknai sebagai melayani kepentingan elite dan oligarki.
Karenanya tidak berlebihan untuk menyebut produk Perppu Cipta Kerja sebagai “musuh rakyat” atau dalam istilahnya Jerry Nadler (politikus Amerika), “a totalitarian tool of dictators” yang tidak cocok dikeluarkan oleh seorang presiden yang terpilih secara demokratis.
Jika Jokowi tidak ingin dicap sebagai presiden yang mencacatkan demokrasi dan meninggalkan legacy buruk di akhir masa pemerintahannya, maka ia perlu menjalankan apa yang diserukan oleh Kontras: membatalkan Perppu No. 2 Tahun 2022 terkait UU Cipta Kerja dan tunduk pada Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020. (*)