Sejak Desember 2022, Suku Bajo menjadi sangat terkenal. Kisah hidup mereka diangkat ke layar lebar.
Saenal Masri
Bone
ADEGAN di layar menampakkan rombongan keluarga Jake Sully (Sam Worthington) bersama sang istri Neytiri
tiba di sebuah kerajaan laut yang dihuni Suku Metkayina. Sully baru saja meninggalkan sukunya: Na’vi.
Mereka diterima Suku Metkayina yang dipimpin Tonowari. Sully-Neytiri membawa serta tiga putra mereka: Netayam, Lo’ak, dan Tuk dan satu putri remaja yang mereka adopsi, Kiri. Di sinilah kehidupan Suku Bajo ditampilkan.
Demikianlah sepintas film “Avatar: The Way of Water” yang terdistribusi via 20th Century Studios. Sang sutradara, James Cameron, mengakui, suku Metkayina dalam filmnya itu terinspirasi dari suku Bajo di Indonesia, yang salah satunya ada di Bone, Sulsel.
Box Office Mojo mencatat, gross atau keuntungan film ini di pasar Indonesia telah mencapai USD 400.557.914 atau setara Rp6,2 triliun dengan 4.202 teater pemutaran. Bahkan sejak Desember 2022, telah menjadi box office alias paling banyak ditonton.
Lalu seperti apa suku Bajo itu? Di pengujung Bone bagian timur, sekitar 6 kilometer dari pusat kota, Watampone, suku Bajo ini membangun kehidupan. Suku yang masih sarat akan kebudayaan ini sudah lama mendiami wilayah pesisir Bajoe, Bone.
Jika menelisik tradisi lisan orang Bajo yang menempati Teluk Bone, mereka memiliki keterkaitan asal usul dengan orang Johor, Malaysia.
Orang Bajo juga dikenal dengan sebutan manusia perahu. Mereka dianggap suku dengan limpa terkuat di dunia, sehingga bisa menyelam lebih lama.
Meskipun beradaptasi secara langsung dengan alam dan hidup di laut, mereka memiliki tatanan nilai yang dapat dianggap sebagai modal sosial. Kisah mereka makin mendunia setelah film “Avatar: The Way of Water” mengadopsi cerita realitas suku Bajo ini.
Rasa ingin tahu tentang suku Bajo menghantarkan penulis menjajaki jalan setapak menuju perkampungan orang Bajo di Bone. FAJAR lalu bertemu langsung dengan pemangku adat.
“Saya merupakan keturunan generasi ke empat dari suku Bajo asli dan dulu nenek saya merupakan pemimpin di suku Bajo di Kabupaten Bone,” ujar Deri, sang Pemangku Adat Suku Bajo di Bone, saat menerima FAJAR, pekan lalu.
Sambil tersenyum, Deri menceritakan, saat ini ada masyarakat juga sudah memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Ada sekitar 300 kepala keluarga (KK) yang bermukim di wilayah tersebut yang merupakan asli keturunan suku Bajo.
Saat ini, kebanyakan merupakan generasi kelima yang ada di tempat tersebut. Awal mula suku Bajo bermukim di wilayah Bajoe itu karena masyarakat suku tersebut lari dan berlindung dari penjajahan.
Suku Bajo awalnya berasal dari wilayah Lasareng, sebuah wilayah perkampungan di pinggir laut Pattiro. “Jadi awalnya kita tinggal di sini karena takut sama penjajah jadi kita lari bersembunyi di sini,” terang pria 70 tahun itu.
Ada yang menarik dari cerita lelaki yang telah berumur itu. Suku Bajo selalu dikenal memiliki perkampungan, namun tidak memiliki tanah. Kata dia tanah yang dijadikan permukiman saat ini ada karena masyarakat membagun perkampungan di wilayah tersebut.
Pada 1965, ia membangun rumah di atas air laut. Pada 1975 baru ditimbun, lalu menjadi permukiman seperti saat ini.
“Dahulu itu, kita tidak mau buat rumah, tetapi dipengaruhi teman, makanya ada rumah dibangun. Karena sebenarnya kita ini tidak menetap, sebab kita tidak suka kalau kacau pemerintahan. Jadi biasa kita pindah ketika tidak sepaham dengan pemerintah,” tuturnya.(*/bersambung)