English English Indonesian Indonesian
oleh

Menyoal Keberadaan Tata Kelola Terminal Daya Makassar

OLEH: Dr. HB Nurdin, M.H CPCE., QRMI, Pengamat Tata Kelola Transportasi Darat

Membahas keberadaan sebuah kota besar, maka tentu tidak terlepas dari hiruk pikuk aktivitas masyarakat dari berbagai aspek. Sebut saja kota Metropolitan, begitulah sebutan kota- kota besar di Indonesia dengan ukuran jumlah penduduk dan pertumbuhan  ekonominya. Gelar yang disandang sebagai kota metro atau kota dunia sekelas kota Makassar maka tentu tidak terlepas peran pemerintah dalam menghadirkan tata kelola pemerintahan dan dukungan infrastruktur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. 

Transportasi sebagai  sebuah kebutuhan mendasar, maka tentu tidak terlepas dari konsep  tata kelola trasportasi yg baik.  Olehya mendengar sebutan Makassar Kota Dunia maka tentu yg terbersit di pikiran kita adalah Makassar sebagai sebuah kota terdepan di kawasan Indonesia bagian Timur yg memiliki peradaban transportasi yang maju, sama halnya  kota Bogota, Curitiba atau singapura atau Kota Surabaya atau Kota Metro Jakarta di Indonesia.  

Salah satu tolak ukur kota Dunia atau Kota metro sekelas Kota Makassar adalah keberhasilan Pemkot menghadirkan  layanan angkutan umum yang manusiawi, selamat, aman, nayaman dan teratur tentunya, yang semua ini harus didukung oleh infrastruktur yang mamadai. 

Terminal contohnya tentu menjadi penting sebagai sebuah simpul pergerakan, dan tak jarang terminal di berbagai kota besar tidak hanya menjadi simpul pergerakan orang, kendaraan dan barang, tetapi juga sebagai TOD (transit oriented development) yang menyuguhkan konsep layanan   yg modern dan nyaman. Bahkan di Indonesia melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat telah menata kembali keberadaan  beberapa terminal di Indonesia dengan konsep Mix Use atau tidak hanya berfungsi  sebagai terminal yang menjankan fungsi pemerintahan di bidang perhubungan darat tetapi juga menjadi pusat aktivitas masyarakat dari berbagai kebutuhan (ekonomi, sosial, budaya dan seni dll), sebut saja Terminal Tirtonadi Solo, yg saat ini sudah menjadi puast kegiatan dan ikon kota Solo.

Seiring  pesatnya perkembangan kota Makassar, maka Terminal Daya Makassar dihadirkan sebagai  pengganti Terminal Panaikang  kala itu. Di Kota Makassar ada beberapa terminal  yang beroperasi, mulai termial tipe A (daya), Terminal Tipe B (mallengkeri) dan Terminal Tipe C ( Pasar Sentral, Pannampu) , juga terminal Toddopuli yang saat ini tidak beroperasi. Kehadiran Terminal di Kota Makassar memang lebih identik dengan sumber pendapatan asli daerah (PAD), sehingga sampai  saat ini keberadaan terminal  hanya sebagai tempat perhentian saja atau kalaupun kendaraan masuk hanya untuk membayar retribusi, padahal fungsi terminal sangat penting untuk memastikan angkutan umum memenuhi syarat kelaikan dan syarat kenyamanan pengguna jasa.

Terminal Daya Makassar sampai saat ini masih menuai sorotan. Sebagai sebuah terminal dengan peringkat tipe A tentu harapan masyarakat akan menjadi backbone pergerakan antar provinsi, antar kabupaten dan angkutan perkotaan yang saling terintegrasi dan saling mensupport berbagai pergerakan didalam dan di luar kota Makassar, namun kenyataannya tidak demikian.

Berdasarkan regulasi UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, maka urusan  terminal merupakan salah satu  urusan pemerintahan  dibidang  perhubungan darat dalam menghadirkan tata kelola angkutan umum sebagai supporting dalam mewujudkan tujuan penyelenggaraan transportasi nasional. Berdasarkan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah  Daerah, maka  perhubungan darat menjadi urusan konkuren terhadap penyelenggaraan  terminal  sebagai urusan wajib Pemerintah dalam konteks negara kesatuan yang melaksanakan konsep otonomi daerah melalui asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. 

Ironis memang jika sebuah kota berjuluk kota dunia tapi supporting angkutan umum dan terminal sebagai simpul pergerakan tidak dapat berjalan dan berfungsi secara baik dan benar (lihat potret perlalulintasan kota Makassar saat ini).  Keberadaan pemerintah daerah dalam negara kesatuan adalah menjadi bagian dari pemerintah pusat, namun bukan berarti bahwa kewenangan yang diletakkan di pemerintah daerah  berdasarkan peraturan perundang-undanganan dilaksanakan hanya sesuai keinginan  pemda  itu sendiri tanpa menghiraukan regulasi yang ada.

Tentu tidak demikian melainkan harus berjalan sesuai regulasi, NSPK dan standar minimum urusan teknis dari kementerian perhubungan sebagai penanggung jawab akhir urusan transportasi di Indonesia agar tetap berjalan sesuai tujuannya.

Penulis tentu sangat menyayangkan sikap Pemkot  yg seolah tidak serius  menangani permasalahan terminal Daya.  Terminal Daya yg berdasarkan Keputusan Menhub No. 109 tahun 2019 tentang Penetapan Terminal Tipe A di Seluruh Wilayah Indonesia, menjadi salah satu dari 126 Terminal Tipe A dan menjadi domain pemerintah pusat. 

Sejak revisi UU 32 Tahun 2004 ke UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka beberapa urusan dibidang Perhubungan darat ditarik kembali ke pemerintah pusat termasuk penyelenggaraan  Terminal tipe A dan berdasarkan PM 154 Tahun 2006 dibawah Balai Pengelola Transportasin Darat Wilayah XIX Sulselbar., termasuk Terminal Lumpue Kota Parepare, Terminal Latenri Sessu Kab.Barru dan Terminal Petta Punggawai Kab. Bone Bone melalui mekanisme P3D.  Hampir semua Terminal Tipe A di Indonesia  sudah dilakukan  pembangunan dan pemeliharaan yg jauh lebih baik dari sebelumnya.  

Tentu menjadi pertanyaan besar ada apa pemerintah kota Makassar hingga saat ini belum mau menyerahkan Terminal Daya ke Pemerintah Pusat?  termasuk terminal tipe B Mallengkeri  yg menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. Bahkan penulis pernah membaca di Media harian Fajar tanggal 12 Desember 2022 ”Pemkot Turunkan Status Terminal Daya”  dimana pemkot (walikota)  akan menurunkan tipe terminal tsb agar tidak beralih ke pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. 

Hal ini tentu patut dipertanyakan termasuk sikap pemerintah pusat dalam hal ini Kemenhub dan Kemendagri yang seolah tak berdaya. Padahal secara regulasi urusan terminal ini menjadi supporting dalam menghadirkan tata kelola perhubungan darat yang lebih baik, yang inline  tujuan transportasi dan tujuan otonomi daerah dalam  menghadirkan pelayanan yg baik dan benar untuk kesejahteraaan masyarakat sebagai sebuah negara kesejahteraan (walfare state),.  Bukankah tugas pemerintahan menghadirkan pelayanan yang baik  berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku? Artinya kepala Negara atau Kepala Daerah dalam menjalankan tugas sebagai kepala pemerintahan wajib tunduk dan taat dengan  Undang-undang? Karena pelanggaran terhadap UU oleh kepala daerah  adalah salah satu dasar Menteri Dalam Negeri untuk melakukan evaluasi termasuk unsur legislatif juga berwewenang melakukan evaluasi.  

Apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat sebagai amanah dari UU adalah untuk kepentingan pemerintah daerah dan apa yg dilakukan oleh pemerintah daerah adalah penguatan dari pemerintah pusat, atau dengan kata lain pusat adalah pusatnya daerah dan daerah adalah daerahnya pusat.

Inilah yang menjadi manifestasi dari sebuah konsep negara kesatuan yang menjalankan pemerintahan dengan sistem otonomi daerah. Keberadaan daerah otonom adalah sebagai wujud hadirnya  pendekatan  pelayanan dan pemberdayaan daerah untuk menjalankan fungsi fungsi pemerintahan dalam menghadirkan  kesejahteraan masyarakat.

Pengelolaan terminal Daya dibawah Perusahaan Daerah jangan diartikan sebagai sebuah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang otonom atau berdiri sendiri. Kalau konsep penyelenggaraan Terminal Daya demikian, maka hal ini  perlu dilakukan evaluasi, sebab urusan terminal sebagai tupoksi perhubungan darat  disamping sebagai simpul transportasi  juga memiliki fungsi utamanya adalah keselamatan, keamanan dan kenyamanan pengguna jasa angkutan umun, untuk itu dalam penyelenggaraan terminal wajib dilaksanakan oleh unsur pemerintahan (BPTD atau Dishub) sebagai regulator. 

Memang ada yang menarik dan perlu dicermati terkait keberadaan terminal Tipe A Daya Makassar yg pengelolaannya dibawah Perusahaan Daerah (satu satunya terminal tipe A di Indonesia yg dikelola Perusahaan Daerah).  Secara core bisnis tentu tidak tabuh menjadikan urusan wajib menjadi sumber untuk pendapatan (PAD), karena salah satu tujuan otonomi daerah adalah melakukan fungsi pendapatan dari berbagai sumber melalui Perda yg tidak bertentangan dengan UU (hirarki perundang-undangan). (Lihat makna otonom yang  bersal dari bahasa Yunani,  auto artinya sendiri, nomos berarti hukum atau peraturan, jadi otonom  berarti peraturan sendiri), inilah makanya setiap tindakan pemerintah daerah yang sifatnya menjalankan fungsi pengawasan dan penerimaan harus didasarkan  Peratuan Daerah.  Namun demikian dalam tata kelola pemerintahan (good governace) tentu semua harus berjalan sesuai rules yg berlaku dalam sebuah negara hukum.  

Terkait mekanisme pemanfataan Barang  milik negara/daerah guna peningkatan pendapatan negara atau daerah,  harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku  sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2020 tentang Pembiayaan Infrastruktur melalui Hak Pengelolaan Terbatas, dan termasuk turunannya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara.  

Artinya BMN boleh saja dilaksanakan  oleh pihak ketiga sebagai fungsi pedapatan tapi fungsi pemerintahan harus tetap jalan. Hal ini tentu berlaku sama di sektor transportasi darat, laut dan udara. Dimana kalau urusan pelabuhan dan bandara ada unsur bisnis melalui Pelindo, ASDP, Angkaspura (syarat komersil), namun tetap unsur pemerintahan hadir selaku regulator yg mengampuh fungsi pembinaan, pengaturan, pengawasan dan penindakan terhadap penyelenggaraan simpul transportasi yang dilakukan oleh pihak ketiga.

Sama halnya di Terminal maka pihak PD tidak boleh alergi apalagi menghalangi keberadaan unsur  pemerintahan  di Terminal, karena di terminal ada fungsi yang harus dijalankan oleh unsur pemrintah yang tidak dapat dilaksanakan oleh perusahaan Daerah. (fungsi pengawasan izin trayek, kartu pengawasan, STNK, SIM dan kartu uji terkait pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan angkutan umum yang masuk di terminal). 

Jika upaya Direksi PD Terminal Daya demikian maka saya pikir ini suatu kekeliruan dan harus dilakukan penataan terhadap tatakelola pemerintahan di bidang perhubungan di Pemkot Makassar.  Negara kita adalah negara kesatuan yg menganut sistem dan asas otonomi daerah. Artinya urusan konkuren yg diletakkan di pemda adalah hakikatnya kewenangan pemerintah pusat yang didelegasikan ke pemerintah daerah melalui asas otonomi daerah.  Artinya tanggung jawab akhir dari terwujudnya pelaksanaan transportasi  adalah pemerintah pusat.

Olehnya, ironis jika pemkot hanya dengan alasan PAD  lalu mengorbankan tupoksi perhubungan darat yg lebih besar, apalagi  transportasi darat  sebagai urat nadi kehidupan masyarakat. Penulis berharap pemkot harus lebih bijak dalam memahami konteks penyelenggaraan pemerintahan di bidang perhubungan darat untuk tata kelola pehubungan darat yang lebih baik ke depan dalam mewujudkan tujuan transportasi nasional. Mari bergandeng tangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah  untuk  memajukan Kota Makassar yang lebih baik kedepaan sebagai sebuah kota metro atau Makassar kota dunia. Mari kita mengakhiri ego yang akan menghambat kemajuan transportasi darat  sebagai supporting kota Metropolitan dan kemajuan provinsi Sulawesi Selatan. (*)

News Feed