English English Indonesian Indonesian
oleh

Kaleidoskop Ekonomi 2022

Oleh: Ilyas Alimuddin, Alumni Pasca Sarjana EPP Unhas

Senja terakhir tahun 2022 tak lama lagi terbenam, fajar baru tahun 2023 segera menyingsing.
Eloklah kiranya, bila sejenak meluangkan waktu, berkontemplasi, introspeksi diri, mencari ilham suci sebagai inspirasi menata diri untuk hidup yang lebih baik di kemudian hari. Dalam konteks kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Lebih khusus mencermati catatan-catatan ekonomi negeri ini.
Tak bisa dipungkiri bahwa berbagai presestasi positif telah dicapai oleh negeri ini. Misalnya saja pertumbuhan ekonomi yang mulai tumbuh positif. Setelah terjungkal begitu dalam akibat Pandemi Covid 19. Geliat pertumbuhan ekonomi mulai menemukan titik cerah. Bila ini bisa dipertahankan, maka sangat wajar muncul rasa optimis bahwa dalam waktu dekat angka pertumbuhan ekonomi 5 persen (seperti prapandemi) dapat tercapai.

Prestasi lainnya yang patut diapresiasi adalah Indeks Pembangunan Manusia yang masih meningkat. Tahun 2022, IPM Indonesia mencapai 72,91. Meningkat dibanding tahun sebelumnya yang masih berada pada posisi 72,29. Meski peningkatannya masih lambat, hanya 0,86 persen, namun di masa sulit seperti ini, maka capaian tersebut patut untuk diapresiasi.

Selanjutnya adalah keberhasilan pemerintah mencatatkan rekor surplus neraca perdagangan US$ 5,67 milar pada Oktober 2022. Berhasil mempertahankan tren positif tahun 2020 dan 2021. Masih segar dalam ingatan bagaimana pada tahun 2018 neraca perdagangan defisit sampai US$ 8,57 miliar. Dalam waktu singkat Indonesia bisa mencapai surplus. Apalagi jika mengingat kelesuan ekonomi dunia akibat pandemi Covid 19, maka prestasi adalah sesuatu yang sangat luar biasa.

Selain menampilkan capaian-capaian positif yang telah dicapai, maka sangat bijak dan penting untuk memaparkan pula capaian-capaian yang masih negatif. Memaparkan capaian-capaian negatif bukanlah untuk menampilkan borok, meraupkan abu ke muka sendiri. Tapi lebih dari itu, dengan mengetahui kekurangan diri maka ada ruang dan peluang untuk memperbaiki diri di kemudian hari. Seperti kekata petuah seorang penulis Rusia yang mengatakan pesan yang begitu indah: “Bila Aku menulis yang gelap-gelap tentang negeriku, itu bukan berarti betapa bencinya Aku terhadap negeriku, akan tetapi ini karena betapa rindunya Aku akan adanya cahaya terang menerangi negeriku”.

Problem paling utama adalah kemiskinan. Persentase kemiskinan tahun 2022 kembali turun ke posisi single digit (9,54 persen) atau sebanyak 26,16 juta jiwa. Menurun tipis dibanding tahun 2021 yang jumlahnya sekitar 27,54 juta jiwa (10,14 %). Setelah sebelumnya angka kemiskinan berada pada posisi single digit pada tahun 2018 (9,82 persen), tahun ini kembali pada posisi yang sama. Keberhasilan menurungkan angka kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari berbagai kebijakan pemerintah yang terbukti efektif meredam peningkatan kemiskinan di masa sulit ekonomi saat ini.

Namun demikian, angka kemiskinan ini masih cukup tinggi. Masih ada 26,16 juta jiwa penduduk negeri ini yang masih terkategori miskin. Ini adalah tantangan besar yang dihadapi negeri ini. Persoalan kemiskinan urgen untuk dientaskan, karena beberapa alasan. Seperti kata Mahatma Gandhi “Kemiskinan adalah bentuk paling buruk dari kekerasaan”. Sementara itu dalam konstitusi, tetapnya pembukaan UUD 1945 termaktub jelas bahwa salah satu cita-cita terbentuknya negeri ini adalah menciptakan kesejahteraan umum. Selaras dengan tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGS) yang telah diratifikasi negeri ini dimana bangsa ini memimpikan negeri bebas dari kemiskinan.

Apalagi Presiden RI pada 4 Maret 2020 telah menyampaikan arahan untuk mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem (US$1,9 PPP) hingga nol persen tercapai pada 2024, lebih cepat enam tahun dari target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Keseriusan pemerintah untuk mereduksi kemiskinan perlu mendaptakan respons positif dari seluruh komponen negeri ini.

Kedua problem korupsi. Korupsi masih menjadi momok yang belum tuntas terselesaikan. Fakta ini bisa dicermati dari publikasi dari Transparency International tahun 2022 dimana dalam rilis tersebut memperlihatkan di tahun 2021 Indonesia masih menjadi salah satu negara terkorup diantara negara G20 lainnya. Dengan mendapatkan skor 38 pada skala 0-100.

Sebagaimana diketahui bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) menilai negara dari nilai 0-100 berdasarkan tingkat penilaian ahli dan pelaku bisnis. Skor nol (0) atau mendekatinya berarti negara tersebut semakin korup sebaliknya nilai 100 atau semakin mendekatinya berarti negara tersebut semakin bersih.
Publikasi dari Transparency International ini begitu mudah dikonfirmasi dengan fakta kehidupan di negeri ini. Bila saja dulu di masa Orde Baru, korupsi tersentralisasi atau terpusat di Ibukota Negara saja, maka di era desentralisasi fiskal pasca reformasi, korupsi pun seakan ikut terdesentralisasi ke daerah, bahkan ke desa-desa. Hampir setiap saat kita disuguhi berita korupsi, entah itu pejabat di pusat, pejabat di daerah termasuk di desa sekalipun.

Gurita korupsi yang masih menjerat negeri ini harus segera diselesaikan. Mengingat efek destruktif korupsi yang menggerogoti seluruh sendi kehidupan bernegara. Beberapa efek negatif korupsi dapat dipahami dari temuan Vishny (1991), Mauro (1997), Hellman, Jones dan Kaufman (2000) serta Bank Dunia (2000) yang kesemuanya bermuara pada simpul yang sama bahwa korupsi meronrog pertumbuan dan pembangunan. Karena itu, segenap energi mesti dicurahkan untuk membasmi perilaku korupsi di negeri ini.

Semoga semangat tahun baru 2022 menjadi pemantik semangat, bertransformasi menjadi suluh di kegelapan menjadi kompas penentu arah untuk membawa negeri ini ke arah yang lebih baik. (*)

News Feed