English English Indonesian Indonesian
oleh

Catatan Sepak Bola Akhir Tahun: Kurniawan: “Apa Kareba? Baji’ ji”

Salam hangat pembaca setia Fajar yang budiman. Bertanya kabar dalam bahasa Makassar, itu yang diucapkan Kurniawan Dwi Yulianto atau si kurus saat pertama kali kami bertemu di kampus Loughborough University UK beberapa jam sebelum pertandingan 16 besar piala dunia antara tim Inggris melawan Senegal. Ramah dan rendah hati, adalah kesan awal yang kami tangkap dari seorang legenda hidup sepak bola Indonesia.

Sebagai suporter PSM garis keras, Saya dan Anda tentu akan mudah mengingat kembali bagaimana sepasang sundulan Kurniawan ke jala PKT Bontang menuntaskan tendangan bebas Carlos de Mello dan umpan silang Aji Santoso menjadikan PSM Makassar juara liga Indonesia tahun 2000 silam.

Dari Loughborough University, kami lalu menuju ke kediaman salah seorang warga Indonesia yang bermukim di kota kecil tersebut. Menanti pertandingan malam itu, kami menikmati hidangan tuan rumah dengan berbagai macam masakan khas Indonesia yang jadi penawar rindu bagi perantau. Kehadiran Kurniawan di kota kecil kami merupakan kejutan yang sangat menyenangkan, karena dari berbagai berita yang kami baca, Kurniawan mendapat tugas ‘keren’ di Italia, menjadi asisten pelatih klub serie B, Como, dengan durasi kontrak 5 tahun.

Bertandang ke kota kecil Loughborough, bukan jalan-jalan biasa bagi Kurniawan. Ia diberi amanah untuk berbagi ilmu dengan pemain-pemain muda Garuda Selection yang sedang menimba ilmu di universitas tersebut. Ya, Loughborough University dengan Sport Sience-nya adalah yang terbaik di dunia menjadi tempat yang pas untuk menimba ilmu bagi atlet-atlet dari seluruh dunia, pun beberapa klub elit premier league seperti Chelsea dan Liverpool telah lama menjalin kerjasama dengan kampus ini.

Ada beberapa hal menarik yang diungkapkan Kurniawan terkait perkembangan sepak bola tanah air dan pengembangan bakat pesepakbola mudanya. Ia menilai, bakat yang dimiliki oleh talenta-talenta muda Indonesia, tidak kalah dengan beberapa pemain yang berlaga di piala dunia. Penilaian yang didukung fakta tentu saja.

Ia mencontohkan, beberapa pemain Korea Selatan adalah mereka yang pernah dikalahkan oleh Evan Dimas dkk dalam laga terakhir penyisihan grup kualifikasi piala Asia U-19 beberapa tahun yang lalu. Hanya saja, menurutnya, bakat-bakat cemerlang itu tidak pernah dimaksimalkan saat pemain-pemain muda tersebut berada pada usia emasnya.

Selain persoalan mental dan kedisiplinan, berkubang di zona nyaman dinilainya menjadi wabah baagi sebagian besar pemain muda berbakat Indonesia. “Jika ingin berkembang, mereka harus berani meninggalkan zona nyamannya,” jelasnya. Ya, menjadi pemain bintang dalam usia yang relatif masih muda, memperoleh bayaran yang tinggi pada usia yang masih belia ditambah berbagai kemewahan dan fasilitas sering melenakan banyak talenta-talenta emas Indonesia. Muaranya, mereka hanya mampu memuaskan hasrat penggila bola dalam konteks lokal, namun tak mampu berbuat banyak di level internasional.

Sebelum berpisah dengan kami, Kurniawan memberi beberapa tips. Pemain muda menurutnya harus berani keluar dari zona nyamannya. Bertualang di negara yang sepakbolanya maju akan memaksimalkan potensi yang dimiliki pemain muda Indonesia.

“Jika ingin berbicara pada level internasional, mereka harus mampu mengalahkan kendala bahasa, mengalahkan rasa rindu akan kampung halaman dan berkompetisi di level teratas,” pungkasnya. Tugas yang tidak mudah tentu saja. Tetapi niscaya. Sebagaimana Kurniawan meyakininya, Saya cenderung untuk setuju. Bagaimana dengan Anda? (abbas/*)

News Feed