English English Indonesian Indonesian
oleh

Kritik Yang Hampa Kearifan

Teman saya meradang di medsos, gara-gara ada pejabat elite yang membuat pernyataan lunak di dalam menyikapi korupsi. Teman itu meminta agar pejabat yang demikian supaya mundur. Bagi saya, pejabat itu berpendapat. Karena itu, jawablah dengan pendapat pula. Bukan dengan kemarahan.

Ada disertasi di Pascasarjana Alauddin yang isinya tentang lembaga Hisbah. Yaitu, lembaga yang mempunyai wewenang untuk menegakkan amar makruf nahi munkar yang bukan termasuk umara (penguasa) atau eksekutif, bukan pula yudikatif. Dan, mendamaikan di antara manusia yang berselisih. Lembaga ini juga bertugas untuk mengawasi takaran dan timbangan, mengawasi pasar dari kecurangan dan tipuan. Disertasi yang disebut di atas, menyebut lembaga hisbah merupakan lembaga pemaafan terhadap kejahatan yang dilakukan, tapi dengan catatan-catatan yang penting yang berfungsi sebagai sanksi.

Di saat Cak Nur (Nurcholish Madjid) hidup, ada pendapat untuk memberi kebijakan pemaafan terhadap kasus Tanjung Priok (TP), tetapi dengan catatan-catatan. Kasus TP dan yang serupa terus di”waris”kan dari satu presiden ke presiden berikutnya. Kasus tidak selesai. Keluarga, pelaku dan bahkan presiden/pejabat yang berkaitan  sudah banyak yang meninggal. Presiden/pejabat yang “mewarisi” kasus sudah bukan pelaku. Sangat mungkin kurang memahami kasus yang sudah lama itu, tapi selalu dihebohkan khususnya pada saat memperingatinya.

Saya berpendapat, kejahatan berat boleh dimaafkan, tidak dipenjara, tetapi dengan catatan-catatan penting yang menjadi hukuman bagi pelaku kejahatan tersebut. Misalnya, penyitaan harta, dipecat dan dicabut haknya untuk menduduki jabatan publik (negara/pemerintahan dan swasta/parpol), dll. Pendapat saya dibantah seorang kawan. Menilai pendapat saya itu lembek.

Belajarlah menjadi bangsa yang memiliki “kekuatan sabar dan pemaaf”, atau “sabar dan pemaaf menjadi kekuatan”, jawab saya.

Kalau satu bangsa warganya adalah pemarah, maka bangsa itu tidak akan maju, karena pemerintahannya terganggu terus oleh kemarahan warganya. Kapan bisa bekerja dengan tenang kalau tidak ada hari tanpa demo.

Paseng to-riolo (enrengnge AqurangE/Alquran): de-gaga caui sa’barae. Pesan orang Bugis: “sabar itu tak terkalahkan!”

Seorang kawan mengirimkan video yang memperlihatkan seorang remaja putri mengeritik keras presiden. Lalu, meminta pendapatku tentang video itu. Jawaban saya: “remaja putri itu sangat cerdas. Tuturnya dituntun oleh kecerdasannya. Namun sayang, tak dituntun oleh kebijaklestarian. Maka tuturnya berlebihan”.

Di negara kita, orang cerdas sudah sangat banyak. Yang kurang adalah orang arif bijaksana. Akibatnya, kritik yang dilakukan dengan kecerdasan yang penuh, tapi tak disertai dengan kearifan, menjadi tidak efektif. Kritik berlalu tanpa respons yang positif. Demikian pula sikap sabar tidak mengontrol kritik. Padahal, menurut hemat saya, kalau kesabaran dan kearifan menuntun kritik, tentu pesan kritik itu akan dipertimbangkan. Sayangnya, kritik sering disampaikan dari ketidaksabaran; terlebih pula bila kritik itu hampa dari kearifan! (*)

News Feed