English English Indonesian Indonesian
oleh

Kebudayaan di Tikungan Jalan

Catatan atas Buku Pakarena karya Moch Hasymi Ibrahim

Oleh: Andi Yahyatullah Muzakkir, Ketua BEM FEB Unismuh Makassar 2021-2022

di tikungan jalan yang kau lalui, manis

telah kugali kuburku sendiri

sembari ku kenang renda gaunmu

dan kucicil sia-siaku

yang terpaku di pasak waktu

Salah satu sajak yang termuat dalam buku Pakarena karya Moch Hasymi Ibrahim yang belum lama ini diluncurkan, agaknya dapat menggambarkan situasi kesenian dan kebudayaan kita hari ini. Terutama mungkin bila dilihat dari sisi penciptaan. Seakan perjalanan para seniman dan budayawan kita tak mampu menjadikan ruang kebebasan yang kita rasakan pada masa kini, sebagai peluang yang luas untuk berkarya. Kita tahu, di dunia seni dan budaya, karya adalah salah ukuran pencapaian dari apa yang disebut daya cipta sebuah masyakarat dengan daya gugah untuk perubahan. 

Ungkapan “telah kugali kuburku sendiri,” bisa diartikan bahwa para seniman dan budayawan seperti kehilangan rasa dan mati suri ketika tak ada lagi karya yang mampu diciptakannya. Dan “sembari kukenang renda gaunmu,” ibarat mengenang keemasan para seniman dan budayawan pada masa lalu saat sangat intens berkarya. Sementara “kucicil sia-siaku yang terpaku di pasak waktu,” mendorong kita menganggap bahwa ada kesia-siaan para seniman dan budayawan hari ini ketika sudah tak mampu menghasilkan karya yang berarti. 

Agaknya sepotong sajak Hasymi Ibrahim di atas seakan kembali mengetuk hati para seniman dan budayawan agar segera bangkit kembali, mengukuhkan kehadiran, berbuat dan tetap menjalankan tugas-tugasnya terutama untuk daerah ini. 

***

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan menjadi salah seorang pembahas pada diskusi dan peluncuran buku Pakarena – Esai, Testimoni dan Kritik Kesenian Sulawesi Selatan Suatu Masa, karya Moch Hasymi Ibrahim. Saya sangat bahagia dan merasa terhormat atas kesempatan menjadi salah satu pembahas dari launching buku tersebut. 

Bagi saya di era yang sangat kompleks dan penuh tantangan seperti saat ini buku Pakarena ini sangat menarik. Kita bisa membaca ulasan dan analisis sejarah kesenian dan kebudayaan Sulsel hingga tahu bahwa para seniman dan budayawan pada masa itu mampu hadir dan berkarya di bawah kekangan Orde Baru. Kita juga membaca siasat, strategi dan taktik yang digunakan agar bisa menyiasati tekanan pemerintah kala itu, hingga tetap bisa produktif dan intens. Seperti kita ketahui bersama untuk perizinan saja sudah sangat ketat, juga adanya sensor dan pelarangan sehingga kebebasan adalah sesuatu yang sangat sulit dan mahal. 

Hal menarik lainnya, Pakarena menawarkan wawasan luas yang tentang sejarah kesenian dan kebudayaan Sulsel. Gaya penulisannya pun menarik karena diselingi pula dengan sajak atau penggalan sajak yang bakal membuat kita mampu menyeimbangkan antara perasaan dan pikiran, antara estetika, etika dan logika. 

***

Dari yang dapat saya lacak, buku Pakarena ini adalah buku keempat dari Mochammad Hasymi Ibrahim. Tiga buku lainnya adalah Gong – Esai-Esai dari Kampus, Anatomi Sang Kursi dan Metamorfosis. Seluruhnya adalah kumpulan esai dan telah saya baca juga. 

Kesan pembacaan saya, tulisan-tulisan Hasymi Ibrahim mudah di pahami, karena kalimat dan susunan katanya yang ringan meski mengungkapkan hal yang berat, dalam, dan penuh makna. 

Hasymi Ibrahim menurut saya salah seorang tokoh pemikir Sulawesi Selatan dan kiprah intelektualitasnya menginsipirasi saya di dalam belajar menulis. Dalam perjalanan beliau, ternyata sejak mahasiswa dia telah menulis dan bekerja untuk kesenian. Dia juga salah seorang yang aktif sebagai pekerja seni kampus di Universitas Hasanuddin, bahkan menjadi Ketua Teater Kampus Unhas, dan juga banyak menyutradarai teater. Ia adalah seorang yang sangat aktif menulis esai, opini, puisi dan cerita pendek hingga saat ini. 

Sebagai kalangan muda saya menganggap bahwa beliau memiliki semangat berkarya yang tak usang sehingga saya dapat menyebut beliau tidak hanya sebagai intelektual yang memahami banyak teori, tetapi tulisannya seperti Pakarena ini menjadi representasi jaman, hingga bisa juga kita katakan bahwa ia adalah budayawan sekaligus penyair. 

***

Menjadi pembahas dalam launching buku Pakarena ini membuat saya seakan memasuki gerbang utama dalam mempelajari kesenian dan kebudayaan Sulawesi Selatan terutama kaitannya dengan dialog keindonesiaan. Dan mengambil banyak pelajaran tentang bagaimana memanfaatkan ruang kebebasan dalam berkarya, mencipta dan berkiprah pada masa kini.

Nyatanya hari ini, era kebebasan terbuka luas, ibarat menggenggam bara di tangan kita, karena seakan kita tak mampu berbuat apa-apa, tak mampu menghasilkan karya, gagap dalam kebebasan adalah tantangan tersendiri bagi para budayawan dan seniman terutama generasi baru. Terutama generasi millenial dan gen Z.

Beberapa puisi yang ada di dalam buku ini seakan memberi kita isyarat bahwa karya erat kaitannya dengan penciptaan, sesuatu yang merupakan kemuliaan yang di miliki manusia. Kita bisa membayangkan bagaimana kata cipta itu identik dengan Tuhan sebagai pencipta semesta ini. Maka, salah satu potensi terbaik manusia ketika ia mampu mencipta. Buku Pakarena ini adalah ciptaan Hasymi Ibrahim yang mulai digelutinya sejak menjadi siswa SMA. Kita bisa menyadari bahwa mencipta adalah proses kita mengerahkan jiwa, raga, pikiran kita sebagai manusia yang tentu sangat membedakan dengan makhluk lainnya. 

Tak sadar, menjadi pembahas pada peluncuran dan diskusi Pakarena ini, diskusi yang dihadiri seniman dan budayawan senior, dengan usia yang masih seumur jagung ini di antara banyaknya seniman dan budayawan yang sudah memiliki banyak karya, membuat saya merasa nervous dan berkeringat dingin. Tetapi karena sadar bahwa Gen Z adalah pelanjut maka harus berani dalam menghadapi tiap tantangan. Apalagi kebudayaan dan kesenian adalah tanggung jawab tiap generasi. 

di tikungan jalan, manis

aku tidur bersama bulan.

Demikian akhir sajak Tikungan Jalan sebagaimana yang dikutip di awal tulisan ini. Sebuah isyarat yang penting bagi generasi masa kini.***

News Feed