English English Indonesian Indonesian
oleh

Redefinisi Identitas Bugis

OLEH: Nasrullah Mappatang

Diskusi Magister Kajian Budaya FIB UNHAS pada beberapa waktu lalu bertema “Kita dan Kajian Budaya” setidaknya menjadi cermin bahwa anak muda hari ini semakin kritis memandang kebudayaan.

Dalam perspektif cultural studies sebagaimana yang dipelajari oleh mahasiswa – mahasiswa kajian budaya, identitas budaya tidaklah dilihat sebagai sesuatu yang statis dan esensialis. Identitas adalah sesuatu yang bersifat cair, dinamis, konstruktif, ideologis, bahkan politis.

Dalam budaya bugis (Bugis denga huruf “b” kecil) misalnya, cultural studies tidaklah memandang bahwa manusia Bugis itu adalah mereka yang memiliki sifat sulapa Eppa yang dipopulerkan oleh Mattulada ataupun konstruksi – konstruksi lain seperti berjiwa enterpreneur sebagaimana Pelras tuliskan dalam The Bugis hanya karena seorang Jusuf Kalla yang menjadi salah satu rujukannya.

Seorang bugis, juga misalnya adalah seorang konsumen parfum di pasar sentral hampir setiap kota di Sulsel. Atau, seorang pemain bola yang berlaga di Liga tarkam sampai Liga level Asia.

Bahwa seorang Bugis memiliki siri’ na pesse (baca: maruah / harga diri / dignity (bukan ‘malu’) dan empati / solidaritas), iya. Bukankah itu juga dimiliki oleh bangsa – bangsa di dunia ini, khususnya manusia manusia di Nusantara ini?

Bahwa orang bugis adalah pemilik sifat warani na macca (berani dan cerdas), iya. Namun, bukankah itu juga dimiliki oleh etnik – etnik di Malay Archipelago (Kepulauan Melayu – Nusantara) ini? Jika begitu, mengapa orang bugis mengklaim itu sebagai miliknya sekaligus menjadi penanda identitasnya?

Klaim – klaim esensialis atau pelekatan – pelekatan bersifat statis di atas itulah yang dipertanyakan secara kritis oleh cultural studies. Sebagaimana pelekatan imej negatif atau stereotip terhadap orang Bugis seperti bersumbu pendek, suka berkelahi, berwatak keras, suka bikin onar (chaotic), perompak, gila uang dan harta, bahkan dengan nada sedikit bercanda melekatkan Bugis sebagai singkatan dari “Banyak Uang Ganti Istri” atau “Banyak Uang Gandakan (jumlah) Istri.

Tentu, pelekatan – pelekatan imej negatif di atas berikut stereotip yang ditujukan kepada orang Bugis, baik dari sesama etnik di Nusantara ataupun dari penjajah di era kolonialisme dahulu, tidak disukai dan bahkan boleh jadi ditolak secara reaksioner oleh Orang Bugis. Padahal, praktik kultural demikian tak jauh beda dengan sikap esensialis dan bercara pandang statis yang menyatakan bahwa Orang Bugis itu pandai dan berani, bermaruah dan berempati, kaya dan dermawan (masagena na makacoa), dan sebagainya.

Jika demikian, apakah lantas orang Bugis itu tidak bermaruah dan tidak berempati? Serta tidak berani alias penakut serta tidak pandai alias Bodoh? Maupun, orang Bugis tidak berada lagi tak dermawan? Tentu saja tidak demikian juga cara pandangnya yang cenderung menggunakan oposisi biner — jika tidak A maka B.

Orang Bugis ada yang bermuruah dan berempati tinggi, iya. Namun, yang tidak demikian juga tak kalah banyaknya. Bahwa yang pandai dan berani, tentu ada, namun Apakah yang tidak demikian lantas dikatakan bukan orang Bugis sementara unsur – unsur kebudayaan Bugis menubuh dan ada di dalam seorang itu?

Dengan demikian, esensialisme atau standarisasi bahwa orang Bugis itu begini dan begitu, itulah yang dikritisi oleh cultural studies. Tidak semua Manusia Bugis memiliki siri na pesse, warani na macca sebagaimana tidak semua orang Bugis itu perompak dan mengganti Istri jika sudah banyak uang. Olehnya, pelekatan dan klaim demikian adalah praktik budaya bermasalah dan mesti dikoreksi.

Bahwa sepatutnya orang Bugis itu bermuruah dan berempati tinggi serta pandai dan berani, itu baik. Namun, tidaklah lantas yang tidak atau belum demikian lantas dikata bukan Orang Bugis atau belum Bugis seutuhnya. Sama halnya, jika satu dua orang Bugis dijumpai sebagai perompak dan gila harta maupun takhta sampai senang menambah jumlah istri, tidaklah lantas orang Bugis lain yang tidak demikian dianggap sama dan dicurigai bahkan dianggap menyimpang atau lain sendiri jika tak berjiwa perompak lagi tak menambah istri jika sudah kaya. Pikiran – pikiran demikian mesti berani untuk dikoreksi dan dikritik.


Pada hari Kamis (8/9/2022) bertempat di salah satu ruangan Perpustakaan Akademi Pengajian Melayu, Universiti Malaya (APM UM) Malaysia, diskusi mengenai “Kehidupan sebagai Manusia Bugis” terselenggara.

Diskusi yang mengulik kehidupan orang – orang Bugis dan peneliti Bugis di Dunia Melayu ini menghadirkan Alwi Bin Daud, seorang peneliti Sejarah Bugis-Makassar dari Jabatan Sejarah Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Universiti Malaya, sebagai pembicara dengan dipandu oleh Encik Haslan Bin Tamjehi selaku Ketua Perpustakaan Pengajian Melayu, UM.

Encik Alwi dan Encik Haslan untuk diketahui, keduanya berasal dari Sabah. Encik Alwi adalah Orang Bugis dari Sandakan, sementara Encik Aslan adalah seorang Bajau dari Tawau yang ramai berjiran dengan orang – orang Bugis di kampung halamannya.

Diskusi ini banyak mendiskusikan Bagaimana “identitas Bugis” di Dunia Melayu (sebutan lain dari Nusantara) ini. Siapakah Bugis itu? Bagaimana identitas Bugis atau ke-Bugis-an itu diartikulasikan, diidentifikasi, dan dirayakan?

Selain itu, bagaimanakah seseorang dikatakan dan menyatakan diri sebagai Bugis? Terakhir barangkali, Bagaimana orang Bugis dan ke-Bugis-an itu memandang keberagaman di dalam dan di luar komunitasnya?

Lalu, yang tak kalah pentingnya, bagaimanakah orang Bugis dipandang di Dunia Melayu, pasca- seorang mantan PM Malaysia dinyatakan bersalah dan di penjara karena rasuah (korupsi)? Sementara, politisi Bugis lainnya yang juga mantan PM Malaysia adalah penentangnya.

Bagaimanakah itu semua dimaknai sebagai keragaman dan kepelbagaian Bugis dan ke-bugis-an?


Dari diskusi tersebut dan dari hasil refleksi sebelum – sebelumnya, atas pengaruh cara pandang cultural studies (Kajian – kajian budaya) penulis menyimpulkan bahwa identitas Bugis adalah identitas yang cair. Bahkan, di rantau jiran Dunia Melayu, identitas Bugis diklaim atau dilekatkan tidak seperti di daerah asalnya.

Di jiran Dunia Melayu, orang tak harus fasih berbahasa Bugis untuk menyebut diri atau dianggap oleh orang lain sebagai Orang Bugis. Dengan identitas songko’ recca’ ataupun menghidangkan burasa’ dikala hari Raya Idulfitri, sudah cukup untuk menganggap dan dianggap sebagai pemilik identitas Bugis. Atau, dengan memiliki keturunan dan dapat sapa menyapa menggunakan kata sappo’, sudah cukup mendeklarasikan diri sebagai orang Bugis dan dianggap sebagai orang Bugis. Sesederhana itu.

Dari semua pengamatan dan refleksi itu, penulis bersimpul bahwa identitas Bugis hari ini, baik di tanah leluhur maupun di tanah rantau adalah identitas yang dirayakan dan didefinisikan secara cair.

Di Tiktok bahkan ada konten yang menguji secara lucu orang – orang yang mengaku Bugis atau dianggap Bugis dengan tajuk “Seberapa Bugis ki’? “.

Itu artinya, semakin teknologi informasi berkembang pesat, semakin identitas Bugis juga turut didefinisikan secara cair, bahkan dirayakan, ketimbang didefinisikan secara sempit dan hanya diklaim oleh segelintir orang yang mengaku “paling Bugis” dari yang lain.

Olehnya, menjadi bugis dangan ke-bugis-an yang menubuh dan melekat pada diri seorang Bugis adalah sesuatu yang fleksibel, cair, dinamis, bahkan mungkin kontekstual. (*)

Oleh: Nasrullah Mappatang
Alumni Sastra Inggris Unhas, Magister UGM, dan Mahasiswa Doktoral di Universiti Malaya. Saat ini menjadi Dosen di FIB Unmul
email: [email protected]

News Feed