English English Indonesian Indonesian
oleh

Pilkada 2024: Antara Modal Sosial dan Modal Uang

OLEH: Sukardi Weda, Guru Besar Universitas Negeri Makassar

Hiruk pikuk tentang pilpres, pileg, dan pilkada 2024 sudah di depan mata dan 17 partai politik dan para calon anggota legislatif telah memasang kuda-kuda untuk meraih tampuk kekuasaan, yakni menjadi anggota DPRD, DPR, dan DPD.

Di tahun yang sama, hanya berselang sekitar 7 bulan, Pilkada 2024 untuk memilih gubernur, wali kota, dan bupati beserta wakilnya juga akan digelar. Pilkada 2024 menyisakan waktu 1 tahun 11 bulan yang akan dihelat pada November 2024. Namun, para figur bakal kandidat gubernur, wali kota, dan bupati telah melakukan berbagai upaya untuk memikat calon pemilih, ada yang memasang baliho di beberapa tempat strategis, ada yang telah melakukan sosialisasi, ada yang telah dengan rajin menghadiri hajatan, seperti pernikahan, kedukaan, ada yang telah membentuk tim media, ada juga yang telah membentuk tim sukses dan tim keluarga, ada pula yang melakukan kerja-kerja sosial, seperti bersih-bersih masjid, cetak kalender, dan beragam aksesoris pilkada lainnya. Semua ini dilakukan untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas calon.

Berlaga di ajang pileg dan pilkada bukanlah perkara mudah, tetapi memerlukan trik, intrik, strategi, dan modal besar, yaitu modal uang dan modal sosial (social capital). Untuk memperoleh dukungan partai politik, diperlukan modal yang cukup besar, yang acapkali disebut dengan istilah gizi yang memadai bila ingin bertarung di ajang pilkada. Setelah calon memperoleh dukungan partai politik, belum tentu memperoleh dukungan publik. Seringkali parpol memberikan dukungan kepada figur atau tokoh yang tidak hanya memiliki popularitas, tetapi yang paling penting adalah memiliki elektabilitas tinggi dan tentu berkantong tebal.

Elektabilitas calon tentu diperoleh bukan dengan cara instant, melainkan diperoleh dengan upaya yang telah dibangun selama bertahun-tahun, tentu dengan tujuan bukan untuk meningkatkan popularitas dan elektabiltas semata tetapi tujuan utamanya adalah untuk membangun komunitasnya, bukan untuk tujuan politik sesaat, bukan pula untuk meraih kekuasaan yang meskipun dengan cara – cara yang tidak santun dan dengan cara – cara yang barbar, menghalalkan segala cara.

Contoh orang yang telah membangun komunitasnya tanpa pamrih adalah para penerima kalpataru, yaitu penghargaan yang diberikan kepada perorangan atau kelompok atas jasanya dalam melestarikan lingkungan atau melakukan pemberdayaan kepada masyarakatnya, yang telah berjuang untuk membangun desanya, membuat irigasi, melakukan penghijauan, membuat akses jalan desa, dan beragam kegiatan pemberdayaan lainnya. Inilah contoh modal sosial sesungguhnya yang dapat dipastikan akan mengantarkan orang tersebut untuk meraih jabatan politik dengan mudah, hanya saja mereka biasanya enggan untuk berlaga di dunia politik, karena itu bukan tujuan utama mereka, tujuan utama mereka adalah bagaimana membangun desanya, dan bagaimana pula mereka bermanfaat untuk orang – orang yang ada di sekitarnya. Itulah modal sosial, yang laku keras dijual dalam ranah politik, andaikata mereka mau ikut berlaga di dunia politik, semisal mencalonkan diri menjadi anggota DPRD, DPR, dan menjadi kepala daerah, dapat dipastikan mereka dengan mudah akan terpilih.

Tanpa modal sosial, meskipun calon memiliki uang dalam jumlah besar dan uang tersebut akan dihambur-hamburkan untuk menyogok pemilik suara atau melakukan politik uang atau politik perut. Melakukan politik uang belum tentu pemilik suara memilih si calon, dan dalam era demokrasi di negeri yang masih mencari bentuk ini, para pemilih juga masih saja cerdik, memanfaatkan si calon, tidak sedikit juga tim sukses, dengan tanpa ibah menggerus pundi – pundi calon untuk keuntungan pribadinya.

Menjelang pileg dan pilkada, tidak sedikit pemilik suara yang telah menerima uang dari beberapa calon tetapi enggan datang ke TPS untuk menyalurkan aspirasinya. Meskipun praktik politik uang dilarang, tetap saja terjadi menjelang pencoblosan.

Kepala daerah yang terpilih melalui politik uang, niscaya akan menjadikan kepemimpinannya sebagai beban dan sulit untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang pro publik, terutama kepada masyarakat miskin. Yang ada dalam pikiran mereka adalah bagaimana mengembalikan uang yang telah ia keluarkan, bagaimana pula ia mengembalikan uang para bandar atau sponsor, yang jumlahnya tidak sedikit.

Berlaga di dunia politik, perlu kemampuan tentang literasi politik. Publik juga harus memiliki literasi politik untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Baik calon anggota legislatif, calon kepala daerah maupun pemilik suara harus melek politik sehingga melahirkan elite yang berkinerja unggul. (*)

News Feed