English English Indonesian Indonesian
oleh

Judicial Activism sebagai Jalan Mengubah Ambang Batas Pencalonan Presiden menjadi Ambang Batas Maksimal

OLEH: Dian Fitri Sabrina, Dosen Ilmu Hukum

Konsep ambang batas (threshold) dan UU Pemilu

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden merupakan pesta politik dan bentuk demokrasi di Indonesia. Pemilihan Presiden dan wakil Presiden tidak terlepas dari syarat yang ditentukan dalam UU Pemilu. Syarat tersebut merupakan ambang batas partai politik dalam pengusungan calon Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan jumlah kursi dan suara sah nasional berdasarkan pemilu sebelumnya. UU pemilu Presiden dan Wakil Presiden telah mengalami 3 kali perubahan. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Jika dilihat dari UU sekarang dengan UU sebelumnya terdapat perbedaan yaitu pemilu dilaksanakan secara serentak dan menaikkan jumlah ambang batas minimum dalam pengusungan calon Presiden dan Wakil Presiden. Jika kita kembali pada konsep ambang batas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ambang batas sebagai tingkatan batas yang masih dapat diterima atau ditoleransi. Ambang batas ini diadopsi dalam sistem Pemilu, sebagai formulasi perhitungan suara dan kursi pada sistem perwakilan proporsional.

Sedangkan menurut black’s law dictionary, konsep threshold jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah batasan yang jika dilewati memiliki keadaan yang berbeda dan nilai maksimum atau minimum berfungsi sebagai tolok ukur untuk membandingkan atau memandu setiap pelanggaran yang dapat menyebabkan peninjauan situasi atau desain ulang suatu sistem. Desain ulang suatu sistem dalam pemilu seperti yang disyaratkan dalam kerangka hukum Pemilu menurut Karen Fogg (Secretary General), IDEA (International Institute for Democracy and Electoral Assistance) kerangka hukum harus terstruktur sedemikian rupa sehingga tidak ambigu, dapat dipahami dan transparan, dan harus menangani semua komponen sistem Pemilu yang diperlukan untuk memastikan Pemilu yang demokratis.

Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terkait Ambang Batas Pencalonan Presiden

Mengenai ambang batas yang diatur dalam UU Pemilu sulit untuk dikabulkan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi ( Hakim MK), berdasarkan 67 kelompok masyarakat yang mengajukan permohonan judicial review terkait pasal 222 dengan putusan tidak dapat diterima. Penolakan dari putusan Hakim MK terkait permohonan judicial review Pasal 222 UU Pemilu tentang syarat ambang batas pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden tidak pernah mempersoalkan hal-hal yang bersifat substabtial, yang dipersoalkan adalah alasan prosedural yaitu kedudukan hukum pemohon (legal standing) artinya hak pemohon tidak dirugikan secara konstitusional terkait ketentuan Pasal 222 UU Pemilu dan UU Pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka (legal policy) DPR dalam membentuk UU.

Judicial Activism dalam Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi

Pandangan Montesqueiu terkait pentingnya penemuan hukum oleh hakim bukan hanya sekadar sebagai corong undang-undang tetapi dapat lebih berkreasi terhadap hukum dengan tujuan demi terpenuhinya perlindungan terhadap hak warga negara dan hak asasi manusia, mewujudkan keadilan substantif, dan manfaat yang luas bagi rakyat.

Dalam proses peradilan, Hakim MK tidak hanya menemukan hukum tetapi juga membentuk hukum. Mengutip tulisan Zaka Firma aditya dalam bukunya yang berjudul Asas Retroaktif Putusan MK, Hakim MK patut melakukan terobosan dengan menggunakan judicial activism agar perkara-perkara yang ditangani tidak membatasi dirinya terhadap pembatasan konstitusional, pembatasan kebijakan, dan pembatasan pendapat-pendapat para ahli yang berkembang dibidangnya. Hakim MK sebelum memutus perkara terhadap UU yang dimohonkan dapat melihat kembali original intens meskipun dalam aturan tersebut tidak menjelaskan.

Original Intens Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 terkait pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden melalui partai politik atau gabungan partai politik tidak mensyaratkan ambang batas. Ketentuan syarat personal dan syarat pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik adalah berbeda. Apabila dicermati secara seksama, ketika berbicara perihal syarat personal calon Presiden maupun Wakil Presiden, pendelegasian pengaturan berbunyi “Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” sementara itu terkait Syarat Pencalonan dinyatakan bahwa “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang”.

Dalam artian bahwa ketentuan syarat personal seseorang untuk menjadi calon Presiden maupun Wakilnya bersifat open policy, sementara terkait pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik bersifat closed policy. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam kebijakan hukum (legal policy) yang membatasi legislator dalam membentuk Undang-Undang tersebut. Lain halnya dengan pengaturan tata cara pencalonan, frasa “tata cara” dan “dalam undang- undang” memiliki konsekuensi bahwa ketentuan Undang-Undang hanya sekadar bersifat teknis dan tertutup kemungkinan untuk menambahkan syarat lain selain yag telah ditentukan oleh UUD NRI 1945.

Terkait hal tersebut hakim MK tentunya dapat melihat bahwa permohonan yang diajukan kelompok masyarakat terkait ambang batas pencalonan Presiden merupakan bentuk ketidaksesuaian antara UU terhadap UUD NRI 1945 sehingga lahir ketidakadilan, ketidaksetaraan hak, dan kerugian secara luas bagi rakyat.

Ambang Batas Maksimum dalam Pengajuan Calon Presiden dan Wakil Presiden

Ambang batas maksimum muncul karena dianggap bahwa ambang batas minimum seringkali merugikan hak Partai Politik, polarisasi warga negara terhadap calon Presiden yang diusulkan oleh partai politik, cenderung mengabaikan hak suara warga negara, dan membatasi munculnya calon Presiden yang ideal.

Hal inilah yang membuat hak warga negara dalam menentukan pilihan tidak tersalurkan. Salah satu bentuk keadilan dalam pemilu tercermin dari syarat ambang batas pencalonan Presiden. Ambang batas minimum yang masih dipertahankan sekarang dianggap tidak sesuai dengan prinsip keadilan karena menimbulkan koalisi Partai Politik yang menumpuk pada Partai Politik penguasa sehingga memungkinkan terbatasnya calon Presiden dan Wakil Presiden dan lahirnya calon tunggal.

Konsep ambang batas maksimum sesuai makna yang diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945, artinya perolehan persentase suara maksimum Partai Politik yang dijadikan dasar patokan. Partai Politik yang telah memperoleh ambang batas maksimum tidak dapat melakukan koalisi Partai Politik akan tetapi memiliki hak untuk mencalonkan Presiden. Sedangkan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas maksimum dan lolos verifikasi partai politik peserta pemilu tetap memperoleh hak melakukan koalisi atau mandiri untuk pencalonan Presiden.

Jika Hakim MK dalam putusannya menggunakan judicial activism dengan mengubah ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dengan model ambang batas maksimum dapat dipastikan bahwa hakim MK membuat sebuah terobosan baru dalam mewujudkan keadilan substantif, kesetaraan hak partai politik dan warga negara dalam menentukan calon Presidennya ke depan dan sesuai dengan makna yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945.

News Feed