Ketika saya sedang menyaksikan proses persidangan kasus Sambo yang di tayangkan berbagai stasiun TV, Senin 21 November 2022, tiba tiba tempat tinggal saya di Bogor mengalami getaran hebat kurang lebih 10 detik. Saya dan keluarga tersadar kalau getaran tersebut ternyata adalah gempa, namun belum tahu dimana pusat episentrumnya dan berapa skala seismiknya. Menariknya karena presenter TV yang sejak tadi mengulas prosesi persidangan Sambo, tiba-tiba mengalihkan perhatian dengan mengumumkan bahwa pada pukul 13:21 WIB, telah terjadi gempa bumi yang berpusat di Cianjur dengan kekuatan sesmik 5,6 S.R.
Sejak BMKG merilis peristiwa tersebut, sontak semua stasiun TV yang menayangkan proses persidangan Sambo maupun euforia Piala Dunia, serentak menayangkan bencana alam di Cianjur. Hebatnya karena beberapa stasiun TV malah menggelar Breaking News non stop mengenai hal tersebut. Kontrasnya stasiun TV lain sama sekali tak bergeming dan tetap melanjutkan program siaran regulernya seakan tak peduli dengan jeritan dan rintihan para korban bencana di Cianjur. Ironisnya TVRI sebagai TV Negara yang menggunakan uang rakyat, bersikap pasif, dan autis serta kehilangan sensitivitas terhadap bencana.
Setelah menyimak informasi yang ditayangkan media secara kontinyu mengenai gempa Cianjur, saya sungguh tidak menyangka gempa yang saya nilai relatif kecil, ternyata berdampak sangat serius. Sampai tulisan disusun, bencana itu telah menelan 271 korban jiwa, 2.043 orang terluka, 151 hilang, dan 58.362 mengungsi di sekitar Cianjur. Suasana keceriaan warga yang mendiami hamparan perbukitan Kabupaten Cianjur yang asri dan hijau, mendadak berubah menjadi tumpukan reruntuhan puing-puing bangunan akibat pergeseran sesar aktif Cimandiri.
Banyak pihak mulai mengutak-atik persoalan kebijakan pemerintah mis-management dalam pengelolaan tata ruang sebagai biang kerok masifnya tingkat kerusakan yang ditimbulkan gempa. Pemerintah dituding tidak konsisten menerapkan persyaratan standar bangunan rumah tinggal dengan desain arsitektur tahan gempa, padahal salah satu bentuk mitigasi bencana yang sudah lama menjadi paket kebijakan pemerintah adalah mengadaptasikan lingkungan hidup dengan kondisi biografis dan geologis Indonesia yang berada di sekeliling cincin api (fire ring).
Hal yang sangat disesalkan adalah pelaksanaan tanggap darurat yang berbasis pada golden time selama 3 x 24 jam pasca gempa untuk langkah penyelamatan para korban, ternyata kurang efektif karena masih menggunakan peralatan sederhana. Parahnya karena meski negara telah mengerahkan seluruh potensi untuk turun tangan menanggulangi kerawanan dan kerentanan para korban, namun tim liputan media justru lebih mampu melakukan aksi cepat tanggap berhasil menemukan dan menayangkan banyaknya warga yang menjadi korban bencana, sama sekali belum tersentuh layanan evakuasi maupun distribusi logistik.
Herannya karena semua potensi bencana telah dipetakan, strategi penanggulangan bencana telah disusun, bahkan UU No 24/2007 tentang penanggulangan bencana, telah mengatur secara sistematis dan lengkap semua strategi yang perlu dan harus dilakukan baik oleh pemerintah bersama tim penanggulangan, maupun warga yang menjadi korban bencana. Tragisnya karena semua itu hanyalah indah kata dari rupa, sebab setiap kali terjadi bencana alam seperti gempa, semua malah larut dalam kepanikan dan kegamangan sehingga strategi penanggulangan bencana selalu terlambat dan berantakan. (*)