English English Indonesian Indonesian
oleh

Ketika Ketua DPRD Tak Mau Ditemui Rakyat

Oleh Aswar Hasan, Dosen di Unhas

Ada yang kecewa dan boleh jadi, tak lagi percaya pada tagline Ketua DPRD Kota Makassar Rudianto Lallo yang menyatakan diri sebagai “Anak Rakyat.” Betapa tidak, sejumlah eks RT-RW yang tergabung dalam gerakan Aliansi Bersatu Makassar yang datang  ke DPRD Kota Makassar, hendak menyampaikan aspirasinya, hingga bermalam di pelataran kantor rakyat tersebut, demi menanti untuk bisa bertemu dengan Ketua DPRD, yang katanya “Anak Rakyat” itu, akhirnya tak bisa juga ditemui. Katanya, lagi sibuk (Fajar, 15/11-2022). 

Pertanyaanya sibuk urus tentang apa? Bukankah seorang Wakil Rakyat justru harus sibuk mengurus rakyat? Rakyat yang sudah di depan hidung saja dibiarkan, maka bagaimanakah lagi jika rakyat yang nun jauh di pelupuk mata yang lebih butuh perhatian oleh para wakil rakyat karena aspirasinya, atau janji-janji manis yang dulu diumbar saat Pemilu-pilkada.

Mereka yang tergabung dalam Aliansi Eks RT-RW Bersatu Makassar sudah sekitar 6 (enam) kali demo di jalan, hingga ke Balai Kota untuk menemui Walikota dalam rangka menyatakan keberatannya atas penundaan Pemilu Raya RT-RW dengan sistem e-Voting. Tapi,  tak juga kunjung berhasil. Wali Kota tetap dengan pendiriannya, bahwa Pemilu Raya untuk RT-RW harus dengan sistem e-Voting karena sudah disetujui oleh DPRD terutama anggarannya.

Persetujuan DPRD terkait Pemilu Raya RT-RW dengan sistem e-Voting berikut anggarannya yang lumayan tidak sedikit itu, juga perlu diinvestigasi oleh media atau pun LSM, bahwa apakah di balik mulusnya persetujuan itu tidak mengandung unsur “kolaborasi kepentingan tahu sama tahu”. Betapa tidak, pasca putusan itu, yang kemudian diprotes secara massal oleh Aliansi Eks RT-RW Makassar bersatu, Ketua DPRD dan Wali Kota Makassar kompak memilih untuk tidak menggubris aspirasi yang protes.

Dialog mencari solusi yang win win solution tidak juga diupayakan. Ibaratnya, anjing menggonggong, kapilah tetap berlalu. Seolah komunitas para Eks RT-RW yang demo itu, tidak dianggap rakyat yang punya hak untuk didengarkan aspiranya. Mirisnya, mereka justru dituduh sebagai kelompok yang mengintimidasi Pemerintah. Sementara faktanya, demo mereka aman-aman saja tanpa cacian apalagi merusak. Padahal kalau mau jujur, boleh jadi, justru para Komunitas Eks RT-RW itulah yang terintimidasi oleh kebijakan pemerintah secara sepihak dan “sewenang-wenang” bersama para wakil rakyat yang telah didudukkan oleh rakyat itu sendiri. Seolah wakil rakyat itu, telah lebih berpihak pada Pemerintah Kota Makassar, dibanding dengan Rakyat di Makassar yang telah memilihya itu.

Dalam politik, memang sudah bukan rahasia lagi, bahwa rakyat cuma dibutuhkan saat kekuasaan sedang dikejar. Tapi, ketika kekuasaan sudah di tangan, maka rakyat pelan, tapi pasti mulai ditinggalkan dengan berbagai pembenaran sebagai alibi.

E-voting baik, tapi.

Pemilu Raya dengan e-Voting tentu merupakan sebuah ide yang sophisticated dan merupakan terobosan inovasi Pemilu. Meskipun, belum pernah diuji cobakan dalam bentuk pilot proyek di Makassar dimana hasilnya bisa menjadi dasar referensi untuk meyakinkan dalam penerimaanya. Karenanya, sistem e-Voting itu pun mengundang kekhawatiran hingga kecurigaan massal di tengah masyarakat, sehingga terakumulasi dalam artikulasi demo menolak e-Voting.

Sayang sekali ide inovasi teknologi Pak Wali tersebut tidak berterima dengan baik di tengah masyarakat dan menjadi bumerang yang berujung kecurigaan yang tidak sedap di balik rencana praktik e-Voting tersebut. Sangat boleh jadi, hal itu disebabkan karena mengabaikan komunikasi publik dalam sosialisasi kebijakan e-Voting. Ada adagium yang menyatakan, bahwa tidak semua ide yang baik bisa berterima baik, terutama ketika mengomunikasikannya tidak dengan cara yang tepat dan sesuai. Lebih celaka lagi, jika ide yang baik itu, ditengarai ditumpangi dengan niat tidak baik. Pakar komunikasi dan sosiologi sudah paham akan hal itu, dan tentu juga di Pemkot pasti gudang ahlinya. Tapi entah mengapa hal itu tidak terpahamkan oleh mereka dalam menyelamatkan kebijakan yang baik itu.

Sejatinya, kebijakan e-voting untuk Pemilu RT-RW disosialisasikan secara massif dan terkonsolidasi secara baik sehingga mendapat respons positif yang menghalau kecurigaan karena dianggap ditumpangi kepentingan politik kekuasaan Wali Kota Danny Pomanto yang ingin maju di Pilkada Gubernur. Kecurigaan itu pun telah menjadi bisik-bisik umum di Warung Kopi. Sesuatu yang tentunya tidak elok dibiarkan menyeruak sebagai “ Ghibah Politik” terhadap Wali Kota yang sesungguhnya baik hati itu.

Sikap final Wali Kota tentang Pemilu Raya RT-RW dengan sistem e-Voting itu, yang berhadapan dengan sikap penolakan di masyarakat yang diartikulasikan dalam bentuk protes oleh Aliansi Eks RT-RW yang terlanjur kecewa dan mungkin sudah antipati ( tidak lagi simpati) kepada Walikota, berkemungkinan bisa berefek buruk pada pencitraan Walikota ke depan. Terlebih jika gerakan Aliansi tersebut bergulir terus bagai bola salju.

Tak ketinggalan juga tentunya Ketua DPRD Kota Makassar Rudianto Lallo yang konon tengah mempersiapkan diri untuk maju sebagai calon Wali Kota Makassar yang selama ini mengklaim diri sebagai “Anak Rakyat” itu, akan rentan jatuh kepercayaan di mata rakyat, karena telah “meninggalkan” rakyat pada saat  rakyat membutuhkannya. Wallahu a’lam bishawwabe. (*)

News Feed