English English Indonesian Indonesian
oleh

Merasakan Kerumitan Kota Lewat Seni Performans

Oleh : Eka Besse Wulandari

“…seni tidak selamanya harus terlihat bagus,

tapi seni seharusnya membuatmu merasakan sesuatu…”

Saya tidak begitu ingat di mana pertama kali membaca kalimat itu, tapi saya selalu setuju. Setiap menikmati karya seni, saya fokus pada perasaanku sendiri. Apakah ada yang berbeda? Apa yang ingin seniman sampaikan pada saya lewat karyanya? Apa yang bisa kupelajari dari sini dan akankah mengubah cara pandangku terhadap kehidupan?

Sama seperti saat menikmati akhir pekan kemarin, dengan menyaksikan seni performans Kala Teater. Saya merasakan banyak hal yang mengaduk-aduk emosi selama itu.

Kala Teater mengadakan Proyek Kota dalam Teater (City in Theatre Project) sebuah proyek pembacaan isu-isu kota melalui riset terhadap warga kota yang dikerjakan telah sejak 2015 hingga nanti 2025. Dalam keterangan posternya, akan ada penampilan seni performans oleh 4 Performer yang telah menjalani Laboratorium Kota dalam Teater sejak April – Oktober.

Yang menarik perhatianku pertama kali adalah lokasinya bukan di panggung, melainkan di beberapa ruang publik. Seingatku, saya belum pernah menyaksikan secara langsung seni performans seperti itu.

Di hari pertama, Sabtu, 5 November 2022, dari rumahku di daerah Daya saya cukup tergesa-gesa menuju lokasi pertama yaitu Terminal Malengkeri. Karena jadwal semestinya pukul 10 pagi namun saya terjebak macet akibat proyek perbaikan jalan di sekitar Antang-Borong. Yang cukup membingungkanku, mengapa harus di musim hujan perbaikan jalan ini dikerjakan? Dan seingatku setiap tahun seperti itu. Lalu di Jalan Syekh Yusuf lagi-lagi saya terjebak macet sekitar 5 menit karena ada keluarga yang sedang berduka tengah sibuk memasang tenda di pinggir jalan. Hingga akhirnya tiba setelah performans sudah berlangsung sekitar 10 menit.

Saya mendapati Mega Herdiyanti tengah menampilkan seni performans-nya berjudul “Yang Kian Ditinggalkan”. Mengenakan kemeja berlengan pendek dan rok putih, Ia membawa 6 buah tas secara bersamaan yang ia taruh di punggung, samping kanan kiri serta di depannya lalu menjinjing dua tas di tangan kanan dan kirinya. Semua tas itu berisi batu-batu sungai dan pecahan batu bata. Bayangkan betapa beratnya ia berjalan dengan bawaan seperti itu sambil mengelilingi Terminal Malengkeri.

Pada beberapa titik, tepatnya di jalanan berlubang yang digenangi air, ia berhenti lalu mengeluarkan beberapa batu dari tasnya dan membuangnya ke lubang jalanan yang dipenuhi genangan air itu. Di beberapa titik iya berhenti cukup lama untuk memecahkan batu bata bekas menjadi lebih kecil menggunakan kedua tangannya. Suara pecahan batu memekik telinga, dengan wajah datar sesekali mengelap keringat yang mengucur dari dahi sang aktor.

Di titik keempat, kulihat jari sang aktor mulai gemetaran menumbuk batu bata untuk menutupi lubang.

Tidak begitu sulit untuk menangkap maksud dari sang aktor, kritikan akan terminal Malengkeri sebagai fasilitas publik Kota Makassar yang semakin ditinggalkan, sepi, dan jalanan berlubang di sana sini. Saya bahkan merinding membayangkan bagaimana jika ada ibu hamil yang melewati jalanan di terminal yang lubang sana sini itu.

Pada titik kesekian, saya bahkan mendengar salah seorang ibu yang mengenakan daster motif bunga, sepertinya ia adalah pedagang makanan di terminal, ia berkata “Harus ki begitu, karena kalau tidak, pemerintah anui juga…” Entah mengapa ia tidak melanjutkan kalimatnya, tapi kupikir apa yang ingin dikatakan sang ibu sama dengan apa yang kupikirkan saat itu. Jika tidak dikritik, pemerintah mungkin tidak lagi peduli dengan kondisi terminal. Sedangkan mereka dengan bangga mengatakan kota ini terus bergerak maju, jumlah mall semakin bertambah. Sebagian warga kota bahkan bangga memiliki mall dengan konsep Green Building yang dirancang jauh-jauh oleh Gubernur Jawa Barat. Namun merawat fasilitas publik seperti terminal seakan terlupakan.

Sang aktor terus berjalan dan melakukan gerakan yang sama, memecah batu lalu menaburnya di lubang jalanan hingga mencapai 12 titik, di luar yang kulewatkan tentu saja. Setiap ia berpindah, kami para penonton berjumlah 32 orang termasuk anak-anak kecil yang bermain di sana juga ikut, sedangkan penghuni terminal lainnya seperti penumpang, pedagang, dan para sopir serta keneknya hanya mengikuti dari kejauhan lewat sorotan mata. Di titik akhir, dekat jalan keluar terminal, sang aktor pun mengakhiri performans-nya dengan mengucapkan terima kasih sembari membungkuk tepat pukul 11.10.

Saya baru sadar, memang sudah cukup lama tidak menginjakkan kaki di Terminal Malengkeri ini. Dari sini saya baru tahu kalau ada tiga Bus Wisata Metro yang sempat diluncurkan akhir tahun 2020 lalu, parkir di sana. Katanya bus wisata ini hasil daur ulang mobil sampah Tangkasaki yang akan menjadi angkutan gratis untuk warga kota. Namun setelah diluncurkan, malah tidak mendapat  izin beroperasi karena tidak sesuai dengan standar Kemenhub. Sebagai warga, saya hanya bisa mengurut dada memikirkan dana untuk mengadakan angkutan itu pasti dari hasil pajak kami dan berakhir sia-sia seperti itu.

Saat di perantauan, kita selalu membanggakan kota Makassar. Kita akan tersinggung jika ada yang berkata buruk tentang Makassar. Tapi lantas apakah kita diam saja ketika semua fasilitas publik tidak dibangun semestinya untuk kepentingan kita sendiri?

Selanjutnya performans kedua berjudul “Halang Jalan” yang dipertunjukkan oleh Sabri Sahafuddin berlangsung pukul 2 siang di sepanjang Jalan A.P Pettarani hingga Jalan Urip Sumoharjo. Sang aktor mengenakan kemeja dan celana kain berwarna putih dengan topi menyerupai sirine ambulans, ia berjalan membawa bendera putih sambil membunyikan sirine dari speaker portable yang menggantung di pinggangnya. Namun baru beberapa langkah, hujan turun. Ia terus berjalan dengan memasang ekspresi wajah datar meski kehujanan. Kami para penonton memutuskan untuk berteduh sebentar lalu mengikutinya berjalan setelah hujan mulai reda.

Melelahkan memang. Ini pertama kalinya saya berjalan kaki dari ujung Jalan A.P Pettarani menuju ujung Jalan Urip Sumoharjo tepat di bawah jalan layang. Dalam keterangannya, performans ini sebagai bentuk kritik atas terjadinya arogansi para rombongan pengantar jenazah yang seringkali ugal-ugalan menyebabkan kemacetan, berteriak, hingga memukul kendaraan warga lain. Tapi saat itu pikiran saya fokus pada keselamatan diri saya sendiri, yang cukup kesulitan berjalan kaki karena tidak menemukan trotoar jalan yang aman. Rasa takut diserempet kendaraan menghantui. Dan sepertinya jalanan ini memang tidak ditujukan bagi pejalan kaki, di sepanjang jalan saya bahkan tidak menemukan satupun pedagang payung.

Satu hal yang baru kusadari, sepanjang jalan, saya menemukan banyak coretan cat semprot di tembok dan di pot-pot tanaman berukuran besar, berisi umpatan yang ditujukan ke pemerintah dan aparat, mulai dari ACAB hingga k*nt*l. Sebagai warga yang merasakan betapa semrawutnya kota ini, tidak heran jika menemukan ekspresi kemarahan seperti itu.

Keesokan hari, jadwal performans “Perempuan Bangunan” oleh Nurul Inayah dan “Belanja Citra” oleh Dwi Lestari Johan berlangsung di Taman Macan. Saya semakin menyadari bahwa performans ini tengah menyasar soal kesadaran individu di tengah lingkungan sosialnya.

Saat tiba di Taman Macan saya baru menyadari kalau bangunan Balai Metrologi di bawah Dinas Perindustrian dan Perdagangan sudah tidak ada di sana. Bangunan yang dulunya berdiri di sebelah kiri Taman Macan kini rata dengan tanah dan menyisakan puing-puing bangunan. Saya tidak tahu bangunan apa yang akan menggantikannya, yang pasti melihat pemandangan itu membuat saya cukup khawatir. Sebab sejak bulan September kemarin saya mendengar kabar akan pembangunan Makassar Government Center and Services yang mungkin saja akan memangkas ruang terbuka hijau di kota ini. Apakah merobohkan bangunan kantor Balai Metrologi ini ada hubungannya dengan rencana pembangunan itu?

Performans “Perempuan Bangunan” dimulai tepat pukul 11. Nurul Inayah sang performans mengenakan kemeja dan rok putih mulai mengangkut batu bata dari pinggir jalan ke tengah taman dengan menggunakan kedua tangannya. Butuh sekitar 80 langkah untuk bolak balik mengangkut 7 buah batu bata sekali angkat. Ekspresi wajahnya terus datar. Kemeja putihnya mulai berubah warna kemerahan akibat batu bata yang menempel di dadanya saat diangkat.

Setelah 44 menit berlalu, ia sudah 32 kali mengangkut bata seorang diri dan kuperkirakan ada sekitar 500 bata yang akan ia angkut. Alhasil butuh waktu 1 jam 53 menit untuk memindahkan semua batu bata itu. Sang performans mulai menyusun satu per satu batu bata membentuk persegi.

Bunyi serangga pohon beradu suara adzan dhuhur, kami para penonton menyantap makan siang sembari menunggu bangunan itu selesai dan menerka-nerka akan bagaimana hasil akhir performans ini.

Dari keterangan yang kudapat, performans ini berangkat dari hasil riset tentang ekosistem pekerja bangunan yang menyisakan kontestasi antar gender, komentar, dan stigma tentang perempuan pekerja bangunan. Kesempatan yang terbatas dan upah yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan juga masih terjadi.

Saya sempat mengobrol dengan Irwan AR, penulis puisi yang kukenal tahun 2015 lalu. Melihat performans ini membuat kami mengenang pembangunan kota ini dari memori masa kecil masing-masing.

Kami bercerita tentang strategi penggusuran pemukiman warga untuk diubah jadi real estate di kota Makassar. Saya sendiri pernah mengalami dua kali penggusuran saat masih kecil dan saat dewasa baru tahu kalau dua kawasan rumah kami dulu itu ternyata dibangun perumahan elit. Pengalaman itu cukup membuat saya kecewa atas realita adanya kelas ekonomi yang berlaku di kehidupan ini. Dan beginilah dampak buruk kapitalisme. Menghasilkan banyak penderitaan bagi orang-orang yang terlahir dari keluarga miskin seperti saya yang tidak memiliki modal. Pasrah menerima tergusur. Saking melekatnya corak ekonomi ini, sampai lupa jika umurnya baru dua abad lebih. Padahal sebelumnya nenek moyang kita mengenal corak ekonomi yang lebih mampu meredam hasrat rakus manusia dan hanya berdasarkan kebutuhan komunitas saja. Namun saya merasa tidak bisa berbuat apa-apa juga saat ini.

Irwan juga memberitahu tentang istilah tukar guling yaitu menukar aset pemerintah dengan milik pengusaha yang sebenarnya nilainya lebih besar walaupun lahan yang diberikan lebih luas.

Tanpa sadar batu bata yang disusun sang performans sudah selesai. Kami menyudahi obrolan dan kembali menyaksikan bangunan yang bentuknya menyerupai ka’bah itu. Sang performans ternyata berada di dalamnya, tidak ada pintu, seakan terjebak dan tidak bisa keluar. Dan begitulah yang kebanyakan dialami oleh perempuan.

Menyaksikan performans ini membuat saya teringat dengan tulisan jurnalis dan feminis Amerika Serikat, Naomi Wolf :

“Perempuan tidak akan pernah puas. Kami memang serakah. Kami akan meminta lebih banyak cinta, lebih banyak seks, lebih banyak uang, lebih banyak komitmen untuk anak-anak, lebih banyak makanan, lebih banyak perhatian. Tuntutan seksual, emosional, dan fisik ini akan mulai meluas ke tuntutan sosial: biaya untuk perawatan orang tua, perawatan dan perlindungan anak, cuti haid, dana pensiun, ruang yang aman, dan lain-lain. Kekuatan hasrat perempuan akan begitu besar sehingga masyarakat benar-benar harus memperhitungkan apa yang diinginkan perempuan, di tempat tidur dan di dunia.”

Ya, kita semua, laki-laki dan perempuan, harus berupaya menghapuskan ketimpangan perempuan di dunia kerja yang tentu memiliki peran membangun kota ini.

Performans “Perempuan Bangunan” ini adalah yang terpanjang, menghabiskan waktu 2 jam 47 menit. Sedangkan performans terakhir dimulai pukul 4 sore saat hujan kembali turun.

Dwi Lestari Johan memulai performans nya berjudul “Belanja Citra” dengan mengeluarkan uang koin dari celengan plastik biru berbentuk kotak telepon. Lalu mulai menempelkan satu per satu koin ke tubuhnya menggunakan lem putih. Ia dibantu oleh beberapa kawan. Ia juga mengenakan mahkota pengantin perempuan khas adat Bugis Makassar, bando patteppo. Sehingga jelas performans ini sebagai bentuk kritikan terhadap tradisi “uang panaik” dalam pernikahan suku Bugis Makassar.

Uang panaik memang seringkali jadi pemicu konflik keluarga karena besaran nominalnya yang memberatkan pihak calon pengantin pria. Sebab upacara perkawinan menjadi ‘jantung kehidupan’ masyarakat Bugis Makassar. Namun tradisi ini dianggap sudah tidak relevan lagi sebab dilatari oleh gengsi dan status sosial belaka. Tak sedikit yang harus berhutang demi membawa uang panaik tinggi agar upacara perkawinan bisa dilangsungkan secara meriah. Ini menjadi sisi kelam yang entah sampai kapan akan berakhir.

Pukul 5 sore lewat 29 menit, performans ini pun berakhir, ditutup dengan tepuk tangan penonton yang menggigil karena kehujanan. Saya pulang dengan banyak pikiran mengenai masa depan kota ini. Apakah ada jalan keluar untuk semua kerumitan ini? (*)

Eka Besse Wulandari lahir di Wajo, Sulawesi Selatan. Menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Budaya, Unhas tahun 2014. Saat ini bekerja sebagai penulis skrip, artisan sabun, dan relawan di beberapa komunitas. Pernah mengikuti lokakarya menulis fiksi di House of the Unsilenced, 2018. Membuat karya bertajuk “Tragedi Meja Makan” di Makassar Biennale 2021 : Sekapur Sirih. Baru-baru ini mengikuti Lokakarya Penulisan Cerpen Ekofeminisme dan Kota yang diadakan oleh Jakarta International Literary Festival dan Katakerja yang menghasilkan buku antologi cerpen “Makassar yang hilang : Perempuan, Kota, Cerita.

News Feed