Oleh: Moch Hasymi Ibrahim, Budayawan
Seperti kota-kota lain di Indonesia, Makassar selalu diasumsikan sebagai kota yang tumbuh dan berkembang menjadi kota dunia.
Asumsi tersebut kemudian dijadikan sebagai tujuan yang dalam praktik pemerintahan kota berubah menjadi slogan, tagline. Seolah, menjadi kota dunia adalah satu-satunya arah yang baik dan benar dan karena itu, seluruh sumber daya, program dan kegiatan pemerintah harus dikerahkan untuk itu. Lantas di mana posisi warga kota dalam seluruh gerak tersebut?
Pada paruh pertama dekade 90-an, sekelompok anak muda yang tergabung dalam Musik Trotoar Makassar (MTM) mencipta dan mempopulerkan lagu berjudul “Kotaku Tak Pakai Baju”. Mereka adalah pengamen jalanan yang menyeruak menjadi semacam gerakan sub-kultur. Lirik lagu-lagu yang mereka nyanyikan sepanjang Losari adalah lanjutan dari teriakan para troubadour abad pertengahan yang memperoleh penegasan dalam kultur pop abad 20 melalui, antara lain, Joan Baez dan Bob Daylan.
Narasi MTM yang bernuansa balada kala itu ternyata makin menemukan relevansi pada masa kini ketika suara publik dari pinggir habis tersedot dalam bauran anomali dunia digital, teknologi informasi dan sosial media. MTM sebagai subkultur kota Makassar kini lebur dalam rimba noising, kebisingan, tak berujung. Berita baiknya, judul-judul lagu mereka masih berdaya guna untuk bertanding sebagai slogan, tag-line, yang sesekali hadir di time-line platform media sosial.
Pertanyaannya, seperti apa kita memandang slogan, tag-line, justru ketika kita tengah terseret banjir bandang kata-kata tentang kota kita? Masihkah relevankah suara dari pinggir yang diperankan para troubadour masa lalu pada masa kini?
**
Secara ideal, warga harus senantiasa diletakkan sebagai subyek sehingga pemerintah kota harus menempatkan mereka sebagai alasan dan landasan utama dalam setiap geraknya. Pemerintah kota tidak hanya wajib mendengar suara warga, melainkan harus dengan rendah hati menjadi fasilitator sekaligus pelindung tumbuh berkembangnya kemandirian warga dalam mengolah kehidupannya.
Persoalan pokok pengelolaan kota saat ini ialah paradigma kuasa yang dianut pemerintah kota. Pandangan bahwa seorang wali kota adalah penguasa dan karena itu berhak melalukan apa saja atas nama dan demi warga adalah pandangan usang, warisan kolonial, sehebat apapun leadership-ability dan pukauan personanya. Keadaan ini tentu timbul karena berbagai aspek fundamental yang terkait dengan politik elektoral dalam sistim demokrasi kita. Seorang walikota adalah pemenang pemilu dan fatsun umum dalam politik yang berlaku adalah the winner takes all. Sementara pada saat lembaga kontrol DPRD belum efektif menjalankan fungsi check and balances.
Wali Kota kita kemudian menjulang menjadi super-person, dengan ide dan gagasan gigantiknya, sementara tuntutan manajemen masa kini lebih memerlukan super-team yang akan harus bekerja adaptif, kolaboratif dan antisipatif di hadapan aneka disrupsi dan akselerasi perubahan. Kultur birokrasi dan organisasi pemerintahan yang lamban memang amat menjengkelkan, tetapi itu adalah instrumen utama seorang kepala pemerintahan dalam bekerja. Terutama tentu untuk membumikan gagasan dan impian-impian besar, termasuk membawa kota ini menjadi kota dunia dan seterusnya.
**
Penting kiranya disadari bahwa leadership-ability tidak sekadar terkait dengan kemampuan menyusun impian dan merumuskan tujuan. Makassar kota dunia, misalnya. Tetapi lebih dari itu, terkait dengan kesanggupan untuk memahami keterbatasan sumberdaya dan mendayagunakannya, serta menyadari bahwa ide-ide yang dilahirkan tidak akan pernah jatuh di ruang kosong. Ibaratnya, ide-ide besar yang akan diwujudkan harus berangkat dari kebutuhan nyata masyarakat. Kecuali mungkin kalau walikota kita bekerja ketika bumi baru diciptakan dan benda-benda belum dinamai.
Kita semua sedang berada pada kegamangan karena percepatan perubahan. Dalam perubahan, kota ini jangan dibiarkan telanjang tak pakai baju agar dia tidak masuk angin didera badai dan banjir bandang informasi dan tsunami dunia digital. Pada situasi ini, adaptasi saja sudah tidak cukup dan karena itu kita perlu instrumen antisipasi. Dalam pengelolaan kita perlu mengubah paradigma kuasa menjadi partisipatif dan kolaboratif dengan basis kebutuhan warga. Dan tentu saja kita butuh para troubadour yang akan terus melantunkan balada dari apa yang disebut pada masa lalu sebagai amanat penderitaan rakyat.
Lalu dimana posisi warga dalam seluruh gerak itu?
Di kota dunia yang diimpikan pasti hadir kesetaraan, keadilan dan keindahan. (*)