English English Indonesian Indonesian
oleh

Buku ALDERA: Merekam Dinamika Gerakan dan Budaya Progresif Pemuda

FAJAR, MAKASSAR-Dua agenda diskusi buku  ALDERA di Makassar, Jumat, 11 November. Siang di Hotel Claro dan malam berlanjut reuni Aktivis 98 di Lantai 19 Graha Pena Makassar.

Munculnya buku ALDERA (Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999 ini merupakan gagasan dari Bung Pius Lustrilanang saat tim penulis mengobrol santai di kediamannya sekitar Juni 2020. Ide muncul dengan spontan, sekadar untuk mengenang dan merekatkan kembali perkawanan yang telah lama terjalin. 

Buku ini dengan tim penulis : Teddy Wibisana, Nanang Pujalaksana, Rahadi T. Wiratama. Buku ditulis bukan hanya tentang Aliansi Demokrasi Rakyat (ALDERA), melainkan juga untuk menghimpun dan merekonstruksi kepingan catatan sejarah yang terserak seputar gerakan mahasiswa di era ’90-an di Tanah Air, tempat ALDERA menjadi salah satu pilarnya.

Buku ini terdiri dari 7 (tujuh) bagian. Diawali dengan topik Pius menolak bungkam. ALDERA dan Pius Lustrilanang memang bak dua sisi dari sekeping mata uang. Keduanya sudah seperti kolam dan ikan. Begitu juga Pius dan penculikan.

Pius bersaksi di Komnas HAM, kabar tentang penculikan yang selama ini disembunyikan rapat-rapat di lemari besi kekuasaan menyebar. Kasus penculikan cepat menjadi perhatian dunia internasional.

Tiga bulan menjelang kejatuhan Soeharto, sekjen ALDERA Pius Lustrilanang diculik di pintu keluar RSCM pada Senin 2 Februari 1998. Bekerja sebagai peneliti di ISAI, aktivitas Pius di ALDERA dan Solidaritas Indonesia untuk Amin dan Mega (SIAGA) sudah diintai penguasa Orde Baru.

Meskipun mengalami hal traumatik selama dua  bulan dalam tahanan, Pius sangat optimis angin perubahan sedang bertiup di Indonesia. Topik latar belakang ALDERA dikupas di bagian 2. Berbeda dengan gerakan mahasiswa sebelumnya, ALDERA dan Pius sebagai satu di antara pencetusnya lahir saat gerakan mahasiswa bukan lagi berkiprah di seputaran kampus, melainkan terjun langsung ke daerah-daerah konflik, memobilisasi masyarakat, dan bercita-cita mengepung Istana.

ALDERA lahir dari metamorfosis gerakan mahasiswa sebelumnya. Tonggak awal dimulai sejak 10 Januari 1966 berlanjut ke kongsinya gerakan mahasiswa yang mulai bersikap kritis menolak pembangunan Taman Mini, pembentukan Komite Anti Korupsi, Gerakan Golput, Malari, pendudukan militer ke kampus-kampus perguruan tinggi hingga munculnya NKK/BKK yang dianggap membatasi ruang gerak mahasiswa.

Kemudian muncul kelompok-kelompok lainnya hingga pertengahan 1990-an. Sejak pertengahan 1980-an, puncak metamorfosis gerakan mahasiswa sebenarnya sudah terjadi. Di era inilah muncul gerakan mahasiswa yang berbasis pada kelompok aksi, kelompok studi, dan kelompok pers mahasiswa, ALDERA dan generasi Pius.

Bersenyawa di ALDERA menjadi topik di bagian 3. ALDERA lahir dalam era pergolakan politik, dibagian ini menjelaskan kelompok dan siapa saja pembentuk ALDERA.     Tercatat dua peristiwa penting awal 1990-an yang melatari berdirinya ALDERA yakni demonstrasi di seberang Wisma DPR Kopo pada 12 Januari 1993 dan kedua, demonstrasi Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) yang berujung penangkapan 21 mahasiswa asal Jakarta, Bogor, Cianjur, Yogyakarta, Jombang, Surabaya, Malang, dan Palembang.

Pembahasan ini merupakan Bagian 4 dengan topik Konsolidasi di Tengah Gelombang Perlawanan. Bagian 5 dengan topik Pius disiplinkan ALDERA membahas Rekam Jejak Pius, Membangun Disiplin Organisasi, Pengorganisasian Tersentral dan Implikasinya, Mempertahankan Militansi, Bermarkas di Busas, Propaganda: Tabloid Aliansi, Ideologi Kiri, hingga Revitalisasi Jaringan Dewan Kota.

Gelombang Perlawanan Seputar 27 Juli 1996 dibahas di Bagian 6. Setiap tindakan represi yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru selalu menjadi ajang konsolidasi bagi aktivis—baik dalam bentuk aksi solidaritas, advokasi, maupun pertemuan-pertemuan yang menyebarluaskan perlawanan terhadap pemerintahan Soeharto.

ALDERA yang pertama dimaklumatkan sebagai organ aksi di Kopo 12 Januari 1993, aktif pada hampir semua peristiwa penting perlawanan. ALDERA di sejumlah kota senantiasa hadir bahkan memimpin aksi-aksi yang langsung menggoyang kewibawaan Soeharto.

Topik Sekali Berarti Sudah itu Bubar menjadi penutup buku ini. Golkar memenangkan Pemilu 1997 dan Soeharto melalui Sidang umum MPR 11 Maret 1998 terpilih kembali untuk ke-7 kalinya secara berturut-turut menjadi Presiden RI, mahasiswa dari berbagai kampus perguruan tinggi se-Indonesia mulai melakukan mimbar bebas secara simultan dan berangkai.

Krisis moneter sejak Juli 1997 semakin parah. Kemarau panjang, banyak petani gagal panen. Harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Nilai tukar rupiah anjlok dari sekitar Rp7 ribu menjadi di atas Rp16.650 per 1 dolar AS. Pada 15 Januari 1998, Soeharto menandatangani penandatanganan krisis LoI dengan IMF. Dengan buku ini, pemuda telah menujukkan budaya berlawannya. (win/ham)

News Feed