English English Indonesian Indonesian
oleh

Masihkah Kebudayaan Memerlukan Sakralitas?

Oleh: M. Ahnaf Nadewa Biyangsa Ahyar, Alumni Filsafat UGM, Founder Kanal Titik Pikir

“Aku berjalan ke barat dan menemukan Islam tanpa muslim, lalu aku berjalan ke timur dan menemukan muslim tanpa Islam,” begitulah persanksian Muhammad Abduh, filsuf dari Mesir yang memodernisasi pemikiran-pemikiran Islam.

Persanksian yang diutarakan oleh Muhammad Abduh tersebut lahir atas kegelisahannya yang timbul setelah melihat betapa berkembangnya kebudayaan Eropa dan betapa stagnannya kebudayaan Islam pada masa itu. Stagnasi yang dialami oleh kebudayaan Islam pada masa itu disebabkan oleh asumsi-asumsi bahwa pintu ijtihad telah tertutup sehingga seluruh praktik epistemologi keislaman dianggap telah final, dan asumsi-asumsi tersebut mengarah pada runtuhnya peradaban Islam di Eropa dan bahkan dunia. Di masa kini, saya mencium gelagat yang sama, tapi bukan pada ranah agama, tapi pada ranah kebudayaan.

Dalam konsepnya mengenai sakralitas, Mircea Eliade dan Durkheim sama-sama menempatkan sakralitas dalam pandangan dikotomis; dalam ruang yang ditempati manusia, selalu ada ruang; objek; dan ritus yang sakral dan yang profan. Dalam artian ini, sakral dianggap sebagai sesuatu yang mengandung unsur yang transenden; atau tuhan. Selain itu, sakral dalam konsepsi Mircea Eliade dan Durkheim sama-sama mengarah pada sakral sebagai sesuatu yang menggambarkan atau mewakili kesucian, sehingga sesuatu itu kemudian dikeramatkan.

Akan tetapi, sakralitas kebudayaan juga dapat dipandang dalam arti bahwa kebudayaan itu merupakan tradisi turun-temurun dari leluhur yang harus dijaga atau dilestarikan. Dalam konteks macam ini, sakralitas tidak jarang hanyalah mitos yang seolah-olah merepresentasikan kebudayaan sebagai suatu hal yang sakral, padahal ada maksud dan tujuan tertentu yang sama sekali tidak sakral, seperti politik dan ekonomi. Misalnya, sebuah ritual kebudayaan tradisional dari Pekalongan, bernama Brendung. Ritual tersebut merupakan pertunjukan tradisional yang biasa digunakan untuk memanggil hujan atau memanjatkan rasa syukur pasca panen. Dalam pelestarian ritus tersebut, hanya generasi Tawi sebagai pawang yang bisa melanjutkan ritus tersebut. Sabilla Bahana Jagad, peneliti kebudayaan yang pernah meneliti ritus Brendung tersebut menyatakan bahwa terdapat semacam mitos politik dan ekonomi dibalik pewarisan Brendung, sebab tidak hanya menaikkan strata sosial keluarga Tawi, tetapi juga membuat keluarga Tawi dapat memonopoli kebudayaan tersebut.

Dari definisi yang saya tawarkan tersebut, terdapat dua polemik besar dalam kebudayaan kita. Polemik pertama ada pada persoalan konsep sakralitas yang ditawarkan oleh Eliade dan Durkheim hanya berkaitan dengan komunitas yang mempercayainya. Orang-orang di luar Sulawesi Selatan tidak akan memahami betapa sakralnya siri’ na pacce. Orang-orang luar Jawa akan memahami suara gamelan sebagai suatu hal yang mengerikan atau menakutkan alih-alih sebagai suatu hal yang sakral. Perbedaan pengalaman itu jugalah yang mungkin berbeda antara orang-orang di lingkungan urban dan pedesaan. Sebagai orang yang tumbuh di daerah urban, cara saya memandang budaya berbeda dengan orang-orang pedesaan yang saya temui. Saya tidak lagi melihat kebudayaan sebagai suatu hal yang sakral, tetapi hanya sebagai peninggalan leluhur yang berkaitan dengan kebiasaan, pengetahuan, dan corak zaman mereka hidup. Dengan logika demikian, saya merasa bahwa banyak kebudayaan yang tidak lagi relevan dengan kondisi dan corak zaman kini. Akhirnya hanya ada dua pilihan, membunuh kebudayaan yang tidak lagi relevan, atau mengubahnya menjadi relevan, sekalipun harus membunuh beberapa atau seluruh aspek sakral dalam kebudayaan tersebut yang pada akhirnya hanya akan menjadi pengetahuan umum atau seni.

Gejolak stagnasi dalam kebudayaan tradisional saya tangkap dalam suatu webinar nasional yang diadakan oleh Putakaba Book mengenai perantauan. Dalam Webinar tersebut, selalu ada seruan untuk tidak membawa pulang budaya luar ke dalam Sulawesi Selatan ketika pulang dengan tentu saja menghegemoni peserta webinar dengan capaian-capaian leluhur dengan kebudayaannya di masa lalu. Saya membaca seruan tersebut sebagai gejolak awal stagnasi, di mana kita sebagai generasi penerus yang seharusnya menyesuaikan kebudayaan-kebudayaan leluhur dipaksa puas dengan peninggalan kebudayaan yang telah ada.

Hal tersebut sama dengan komunitas Islam di masa Abduh yang terlalu memuja pencapaian orang-orang sebelum mereka. Padahal, jika kita berkaca dengan peradaban yang dihasilkan oleh pemeliharaan kebudayaan-kebudayaan tersebut hanya menghasilkan fenomena sosial yang sakit. Contohnya budaya siri’ na pacce yang diterjemahkan serampangan sebagai dalil untuk membusur dan menikam orang lain.

Untuk itu, kita butuh redefinisi dalam kebudayaan kita. Kita butuh membuka pintu ijtihad. Merevisi kebudayaan kita. Bahkan menciptakan kebudayaan yang baru; kebudayaan yang kembali ikut membincangkan bahkan melampaui apa yang sedang diperbincangkan dunia. Leluhur kita, melalui La Galigo, beratus tahun lebih awal dari feminisme dalam melihat gender dan relasi gender. Sementara feminisme telah menjadi Bahasa dunia dan La Galigo diakui sebagai warisan dunia, generasi kita terlambat ratusan tahun untuk ikut dalam perbincangan dunia dan yang kita wariskan hanyalah kebodohan peradaban. 

Sebagai pemantik untuk membuka pintu ijtihad kebudayaan, saya akan berseru:

“Aku berjalan ke barat dan menemui manusia dan dunia walau tanpa kebudayaan, dan aku berjalan ke timur dan menemui kebudayaan tanpa manusia dan dunia”. (*/)

News Feed