English English Indonesian Indonesian
oleh

Dokter

Menjadi dokter merupakan impian banyak anak. Sebagian besar orang tua bangga kalau anaknya menjadi dokter. Tentu sudah jauh-jauh hari harus menabung, kalau tidak lulus di Perguruan Tinggi Negeri bisa masuk di Perguruan Tinggi Swasta. Jangan heran, anak-anak yang kuliah di FK di PTS kebanyakan adalah orang-orang berkantung tebal.

Ketika mereka sudah kuliah di halaman kampus biasanya berjejer mobil-mobil mewah. Beberapa mahasiswa anak orang kaya sebenarnya tidak ingin jadi dokter. Baginya dokter itu pekerjaan yang serius, harus perhatian, sedang dia mau santai hidupnya. Begitulah sebagian orang kaya bangga kalau anaknya dokter dan terus membiayai anaknya sampai mengambil spesialis. Berlomba-lombalah PTS membuka FK. Mereka mempercantik gedung dan melengkapi semua infrastruktur dan membangun RS. Untuk masuk saja ada yang memasang uang muka ratusan juta hingga satu miliar,  belum termasuk biaya semester, biaya pendidikan, dan biaya hidup.

Belajar di kedokteran sekarang relatif lebih mudah. Kemajuan teknologi digital membantu mereka dapat memahami pelajaran Kedokteran. Berbeda dua-tiga dasawarsa lalu, belajar di kedokteran dibutuhkan semangat, kesabaran, dan ketekunan. Yang namanya belajar anatomi, seluruh diri cadaver (mayat) habis “dikuliti” dipelajari semua, dari ujung kaki sampai ujung rambut. Sekarang, berkat sistem pembelajaran Blok, satu materi dipelajari dari berbagai sudut bagiannya. Berbeda dengan kurikulum lama, semuanya dipelajari satu persatu.

Menjadi dokter memang tidak mudah, waktu menempuh Pendidikan Kedokteran lama. Kalau dulu selesai 7 tahun sudah hebat. Bahkan ada yang sampai lebih 10 tahun dan belajarnya di kampus dari pagi sampai sore. Setelah menjadi dokter, harus lulus ujian kompetensi dokter baru bisa mengabdi dan kerja. Selain itu, mereka harus terus mempertahankan kapasitas keilmuan dan keterampilannya dengan mengikuti berbagai workshop, seminar, dan pendidikan. Karena  tugasnya yang berat dan sungguh mulia, menjadi seorang dokter bukan saja hanya soal bekerja. Mereka berusaha  menjadi tulus, sabar dan ikhlas dalam melayani dan merawat orang sakit. Tidak hanya bagi masyarakat kalangan mampu, tapi juga masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan kesehatan.

Walaupun mereka sadar,  sebagian dari mereka masih digaji sebagai “worker” bukan sebagai tenaga profesi. Terlihat gaji mereka yang mengabdikan dirinya di daerah-daerah terpencil tidak lebih di kisaran Rp3 juta hingga Rp5 juta. Jika mereka punya istri yang tidak bekerja dan anak, bagaimana mereka menabung untuk masa depan. Belum lagi berpikir untuk mengambil spesialis. Bandingkan dokter umum di Malaysia yang mendapatkan gaji sebesar RM 10.000-15.000 atau setara Rp40-60 juta perbulan.

Namun, banyak orang mengeluh, dan membandingkan dokter-dokter dulu yang dianggap setengah dewa dengan dokter sekarang.  Dulu, kata teman saya, dr. Iqbal Muchtar, dokter selalu dituntut bersifat altruisme, dimana dokter mendedikasikan kehidupan untuk orang lain. Bisa  mengorbankan kebutuhan diri sendiri (self-sacrifice), juga bersifat mulia untuk melayani dan memberi secara totalitas tanpa mengharap berlebih (go extra miles without expecting rewards). Di tengah capeknya dalam mengabdi, mereka masih tersenyum pada pasiennya. Sekarang, senyum dokter sudah nyaris hilang. Waktu pun hanya tersisa sedikit untuk menyapa pasien karena kegiatan lain masih menunggu. Entah kegiatan apa. Bahkan ada pasien harus menunggu 1-2 hari di RS untuk VCT dokter. Nyaris roh/jiwa Ibnu Sina dan Hipocrates tidak ada lagi di dada mereka. Semoga  para Dokter selalu dekat di Hati Pasiennya. Wallahu a’lam

News Feed