English English Indonesian Indonesian
oleh

Virtual Paspor, Masa Depan Paspor Indonesia?

Oleh: Irwan Sahabuddin, Mahasiswa Magister Manajemen Sumber Daya Manusia Aparatur STIA LAN

Wajahmu adalah Paspormu! Virtual Paspor, begitulah masa depan Paspor di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Siapkah SDM Indonesia tergantikan oleh mesin?

Pemerintah baru-baru ini memperpanjang masa berlaku paspor, yang semula lima tahun menjadi sepuluh tahun. Seiring dengan itu, terobosan terus dibuat dalam bidang keimigrasian. Peluncuran Paspor Biasa Elektronik (e-paspor), Polikarbonat, hingga M-Paspor. Tujuannya adalah untuk mempermudah masyarakat dalam membuat hingga mempergunakan paspor. Apakah hal tersebut pertanda kita harus siap menggunakan virtual paspor?

Mengaplikasikan Internet of Things salah satu terobosan pemerintah di bidang keimigrasian, dengan membuat Aplikasi M-Paspor, yang launching awal 2022 lalu. Sebuah aplikasi dengan konsep paperless dan memudahkan masyarakat untuk pengajuan permohonan paspor baru dan penggantian paspor secara online tanpa antre berjam-jam di kantor Imigrasi. Aplikasi M-Paspor ini kemudian membuat pekerjaan petugas imigrasi yang awalnya menerima, memeriksa, dan menyortir kelengkapan dokumen pengajuan paspor digantikan oleh mesin.

Sebelumnya pemerintah telah memperkenalkan e-paspor dan e-paspor polikarbonat. E-paspor ialah jenis paspor yang memiliki data biometrik tersimpan dalam bentuk chip dan tertanam dalam buku paspor. Begitupun dengan e-paspor polikarbonat, yang hanya berbeda pada jenis bahan dasar tempat tertanamnya chip. E-paspor polikarbonat menggunakan bahan keras seperti KTP yang tidak dapat dilipat.

Dengan menggunakan e-paspor ini kita dapat menggunakan autogate imigrasi dan tidak perlu repot untuk antre di booth imigrasi. Kita hanya perlu melakukan scan e-paspor. Jika scan berhasil, maka gate akan terbuka otomatis. Saat ini, autogate hanya tersedia di dua bandara internasional, yaitu Soekarno-Hatta dan I Gusti Ngurah Rai.

Di beberapa negara, seperti Singapura telah menggunakan alat pemindai mata untuk memeriksa orang yang akan masuk dan keluar dari Singapura. Sementara di Australia telah menerapkan smart gate yang melakukan pemindai wajah dan saat ini sedang menyiapkan teknologi terbaru agar penumpang tidak perlu lagi membawa paspor dan harus antre di booth pemeriksaan. Cukup dengan melakukan scan wajah. Penerapan hal serupa juga terjadi di berbagai negara.

Penggunaan teknologi di negara tetangga Singapura dan Australia tersebut, berbeda jauh dengan Indonesia yang saat ini masih menggunakan e-paspor dalam bentuk buku “berchip”. Muncul pertanyaan, apakah SDM di Indonesia bisa sukses di revolusi industri 4.0?

Menurut beberapa ahli, SDM Indonesia saat ini masih terpaku sebagai user dan bukan creator. Jika ini terus dibiarkan maka cita-cita untuk menyambut revolusi industri 4.0 hanya menjadi mimpi belaka. Sudah saatnya Indonesia mengejar ketertinggalan dengan melakukan transformasi digital.

Salah satu kunci utama penerapan industri 4.0 adalah pengembangan kompetensi SDM. Kompetensi yang dimaksud adalah gabungan antara keahlian, sikap, dan pengetahuan diri seseorang sesuai dengan standardisasi yang diharapkan.

Mau tidak mau, kelak, pekerjaan keimigrasian dalam hal pembuatan maupun penggunaan paspor akan tergantikan oleh kecerdasan buatan atau Artifical Intelegent dan cloud computing. Meskipun pengambilan keputusan saat proses pemeriksaan di booth keimigrasian tidak dapat digantikan oleh mesin.

Jika tidak mau dikendalikan oleh teknologi, maka SDM keimigrasian harus bisa beradaptasi dengan digitalisasi perkembangan teknologi yang semakin maju, agar tetap relevan dan tidak ketinggalan. SDM Keimigrasian perlu dibekali dengan kompetensi digital, baik hard skill (kecakapan teknis)maupun soft skill (kecakapan mental). Khususnya terkait dengan revolusi industry 4.0, yaitu big data analytics, artificial intelligence, cybersecurity, cloud computing, internet of things, machine learning, dan sebagainya.

Pengembangan SDM yang bertalenta dan berdaya saing harus seiring dengan pengembangan dunia yang berbasis teknologi. Dibutuhkan SDM yang kompeten, professional, dan melek teknologi agar kita mampu menerapkan revolusi Industri 4.0. Tanpa SDM tersebut, maka transformasi digital di bidang keimigrasian Indonesia tidak akan terjadi. Atau bahkan akan terjadi namun hanya menjadi penonton semata.

Dibalik pengembangan SDM ada harapan besar bahwa kitalah yang mengendalikan teknologi bukan teknologi yang mengendalikan kita. Sehingga dengan bangga kita mengatakan bahwa kita adalah creator Virtual Paspor di masa depan. Bukan hanya teknologi telepon genggam yang mampu meng-unlock dengan menscan wajah. Kelak kita akan mampu membuat aplikasi serupa, dimana wajahmu adalah Paspormu! (*)

News Feed