English English Indonesian Indonesian
oleh

Ayo Makan Ikan

OLEH: Andi Iqbal Burhanuddin, Peserta Prog  SAME (Scheme for Academic Mobility and Exchange) Jepang

Jejak karbon atau food’s carbon footprint  adalah jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia pada kurun waktu tertentu dan  akan memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan kita di bumi.

The New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) Jepang kini mulai mengembangkan fotosisntesis buatan, sebuah teknologi baru yang dibuat untuk memerangi pertambahan jejak karbon dan adaptasi perubahan iklim. Teknologi tersebut meniru proses alami melalui penggunaan energi matahari. Proses ini akan menghasilkan hidrogen yang terbakar bersih atau dikombinasikan dengan karbon dioksida untuk menghasilkan bahan kimia industri seperti prekursor plastik untuk menghilangkan kebutuhan akan produk berbasis minyak bumi.

Pada jurnal Nature food 2021 oleh tim kajian Xiaoming Xu dari Univ. of Illionis dilaporkan bahwa jejak karbon makanan menyumbang sekitar 17 miliar metrik ton emisi gas rumah kaca (GRC) per tahun atau telah menyumbang sekitar sepertiga dari GRC emisi global. Data pada laporan tersebut menunjukkan bahwa 57 persen penyumbang berasal dari peternakan, sementara dari makanan nabati menyumbang sekitar 29 persen, sebagian besar dari itu adalah metana dan karbon dioksida.

Pola makanan nabati yang menawarkan dampak iklim lebih rendah dari makan daging sehingga beberapa negara di Eropa mulai gencar mengampanyekan pengurangan konsumsi daging.  Haarlem misalnya, sebuah kota di Belanda yang menjadi kota pertama akan mengumumkan pelarangan iklan daging di area publik untuk mengurangi konsumsi daging dan sebagai upaya mengurangi emisi gas rumah kaca.

Dalam konteks Indonesia, konsumsi pangan hewani masyarakat kita masih sangat rendah. Berdasarkan data Global Food Security Index (2021), stunting yaitu kondisi pertumbuhan badan tidak normal sekarang masih tergolong tinggi.  Penyebabnya adalah rendahnya kualitas konsumsi pangan masyarakat utamanya defisit asupan protein hewani yang dibutuhkan di masa pertumbuhannya.

Sebenarnya, protein hewani tidak hanya berasal dari daging sapi, kerbau ayam, kambing dan babi. Berbagai jenis biota hasil perairan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Negeri kita ini dianugerahi potensi sumber daya alam kelautan luar biasa kaya, bisa ditangkap di alam maupun organisme air yang dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani berbasis makanan laut.

Ikan merupakan salah satu komoditas sumber daya alam laut yang banyak dikonsumsi penduduk dunia. Secara umum daging ikan mengandung 18 % protein terdiri dari asam-asam amino esensial yang tidak rusak pada waktu pemasakan lemak yang mudah dicerna serta langsung dapat digunakan oleh jaringan tubuh. Kandungan lemak yang dimiliki berkisar 1-20 %, kandungan lemaknya sebagian besar adalah asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan dapat menurunkan kolesterol darah. Ikan juga diketahui mengandung mineral yang kurang lebih sama  dengan mineral yang ada dalam susu seperti kalsium, phosphor.

Berdasarkan laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi – OECD, angka   konsumsi ikan  secara global sebanyak 180,07 juta metrik ton pada 2021. Angka tersebut meningkat 1,02% dibandingkan rata-rata konsumsi tahun 2018-2020 yang sebesar 178,3 juta metrik ton. OECD menyebut bahwa sebagian besar pertumbuhan produksi ikan berada di negara berkembang, khususnya Asia, Asia juga akan menjadi konsumen ikan terbesar (72%) di dunia pada 2030. Namun, secara lebih spesifik, rerata konsumsi masyarakat Indonesia terhadap protein hewani berupa ikan masih terbilang rendah. Konsumsi ikan nasional tahun 2021 menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)  yaitu 55,37 kg per kapita per tahun. Tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih kalah jauh dibandingkan negara tetangga Malaysia (rerata konsumsi 70 kg/kapita/tahun) dan Singapura (dengan rerata konsumsi sebesar 80 kg/kapita/tahun), lebih lagi jika dibandingkan dengan Jepang yang jumlahnya berkisar pada 100 kg per kapita per tahun.

Ilmuan ekonom ekologi di univ Dalhousie di Halifax, Kanada, Peter Tyedmers melaporkan hasil studinya di Communications Earth and Environment September baru-baru ini bahwa mengganti konsumsi daging dengan beberapa jenis makanan laut dapat membantu kita mengurangi jejak karbon tanpa mengorbankan  nutrisi. Setengah dari spesies makanan laut hasil kajiannya adalah sumber makanan yang berdampak relatif rendah pada iklim dengan menghasilkan emisi gas rumah kaca sekaligus mengandung gizi tinggi, padat nutrisi dibanding daging sapi, ayam dan babi  yang dibutuhkan oleh tubuh kita. 

Luas laut kita lima belas kali luas laut Thailand, meski demikian hasil lautnya baru seperlima dari yang dihasilkan oleh negeri tetangga kita tersebut. Perairan di negeri kita ini ibarat denyut nadi yang teramat penting setiap geraknya. Masih banyak potensi sumber daya dan kehidupan menakjubkan yang ada namun belum termanfaatkan secara optimal untuk mengejar ketinggalan kita pada Negara lain dalam hal pemanfatannya. (*)

News Feed