Oleh : Hasrullah, Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unhas
Menyikapi polemik tentang “polisi sampah” yang diwacana media publik yang berasal dari “Mulut Wali Kota” Makassar, ada baiknya kita kaji dari perspektif teori komunkasi dari sudut pandang tradisi Sibernetika. Di awal tulisan ini, alangkah fenomena komunikasi yang cukup memusingkan pihak kepolisian yang sementara ini penilaian publik yang diterjemahkan Presiden Jokowi dalam pengarahan di depan pimpinan polisi berkesimpulan bahwa institusi polisi kini harus berbenah diri terhadap opini publik berada dikepercayaan terendah di linkungan institusi penegak hukum.
Adanya kontestasi wacana yang coba dibangun secara instan dan tanpa terencana dengan baik, bahkan cenderung tidak mengabaikan perasaan penegaka hukum institusi Polri, melontarkan diksi yang kurang pantas disampaikan seorang pemimpin sekaliber Wali Kota Makassar yang “mendunia itu”, “musibah image” yang selayak sebagai pemimpin pandai dan cerdas membaca diksi yang ada di ranah publik. Pemimpin yang bijak dalam dan mempunyai talenta komunikasi publik perlu cermat dan “tidak patal” pada setiap ucapan di depan publik.
Sementara itu, untuk membahas secara perspektif teori teks atau wacana publik, salah satu pisau analisis yang digunakan membedah “Polisi Sampah”, kita mengutip teori yang diperkenalkan W. Barnet Pearce dan Vernon Cronen dkk, 2005 dalam Littlejohn 2009, bahwa sebuah pendekatan komprehensif terhadap interaksi sosial memakai makna, tata cara, dan tindakan yang selaras dalam komunikasi.
Ada kata kunci dari teori ini adalah makna atau ucapan di depan publik perlu hati-hati sebelum keluar dari “mulut” pemimpin. Ketika makna itu ditembakan di kepala khalayak perlu dipikir berkali-kali lipat apakah makna itu mempunyai arti yang sama antara pemimpin dengan penerima pesan. Jangan sampai terjadi komunikator ini mau cepat menyampaikan tanpa memperhatikan dan mengatur keselarasan makna. Dan itu terjadi ketika ada diksi: “Polisi Sampah” atau “Wali Kota Sampah” meluncur dan “ditembakkan” ke khalayah terjadi inkonsistensi pesan sehingga meaning tidak selaras sehingga “menyakitkan” institusi penegak hukum.
Bahkan dalam teori sibernetika klasik dan ini masih terjadi di masyarakat kita, ketika pesan itu disampaikan ke khalayak, maka meaningnya tidak lagi di pemimpin itu tapi ada di khalayak. Karena pemimpin hanya “tdak cerdas” atau Bahasa Makassar (“dongo”) yang tidak dapat mengendalikan pesan yang ingin disampaikan. Pemimpin publik sekaliber : Bupati, Wali Kota, Gubernur, Menteri, dan Presiden perlu ada konsep pidato dan perlu konsisten dan taat teks pada konsep ketika berbicara di pubik.
Kecuali pemimpin itu mempunyai IQ yang tinggi dan mengandalkan kekuatan rekaman otak berkelas dunia serta penuh percaya diri melemparkan program dan konsep belum teruji dapat menimbulkan “kecelakaan fatal” yang biasa disebut Slip of The tonge menyebabkan pembicara tidak berdaya menghadapi pesan balik dari publik. Kehebatan dan kesombongan serta keconkakan di depan publik dapat merobohkan karakter seorang pemimpin.
Keselarasan otak pikir dan emosional tentu harus dijaga ketika kita berbicara di publik. Pilihan kata atau diksi yang baik tidak hanya mengangkat wibawa dan karakter berbicara tapi pemimpin menjaga muruah berpikir antara kecerdasan ikir dan kecerdasan emosional. Jangan sampai terjadi membenarkan grand teori keselarasan berbicara yang disampaikan W. Baret dkk membenarkan peribahasa “ MulutMU adalah Harimau-MU” yang dapat diartikan perkataan memukul balik kepada pemimpin itu. Itulah realitas makna yang dihadapi Wali Kota yang terkadang tidak mampu mengontrol pikiran “cerdasnya”. Pilihan diksi yang sopan dan saling menghargai menjadi kunci serang pemimpin. Walaupun pemimpin itu sudah melakukan permintaan maaf namun jejak digital tidak bisa dihapus.
Maka pelajaran yang dapat diambil dari teks publik yang disampaikan Wali Kota, mengapa harus menggunakan diksi : Polisi Sampah, mengapa tidak menggunakan kalimat, elegan positif dan motivasi, semisal; Satgas Sampah, Gerakan Kebersihan, Peduli Kebersihan. Atau jangan juga menggunakan kata-kata negatif yang menganggap masyarakat perlu dikerasi dengan kata “Pakkadanto” diksi ini mengandung kekerasan. Semoga tulisan ini menyadarkan pemerintah kota agar komunikasi publik perlu dibenahi dan menganggap dirinya paling pintar dan jago. Bravo Wali Kota Makassar? (*)