OLEH: Fitrinela Patonangi, Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Barat/ Alumni Doktor Ilmu Hukum Unhas
Kilas balik sejarah kepemiluan di Indonesia, telah menunjukkan adanya transisi demokrasi terhadap artikulasi kepentingan masyarakat yang diwujudkan dalam sistem multipartai yang mulai diterapkan sejak masa reformasi.
Apabila dibandingkan dengan masa orde baru yang menyempitkan artikulasi kepentingan dalam tiga partai besar, tentu mengakibatkan banyak ditemukan permasalahan dikarenakan kepentingan yang tidak dapat terwadahi dengan keikutsertaan sebagai peserta pemilu,. Namun, saat ini paradigma dari regulasi kepemiluan telah memberi kebebasan dalam mendirikan partai politik, tentu dengan catatan penegakan aturan tentang persyaratan peserta pemilu. Terhitung sejak 15 Oktober 2022 tahapan pemilu telah memasuki tahapan verifikasi faktual dengan menetapkan 18 partai yang sebelumnya telah lolos dari tahapan verifikasi Administrasi. terdapat 9 partai politik yang dilakukan verifikasi faktual.
PKPU 4 Tahun 2022 pada dasarnya telah memberikan mekanisme pengaturan secara bertahap terhadap pemenuhan persyaratan partai politik sehingga dapat menghasilkan peserta pemilu yang memenuhi syarat secara prosedural terhadap peraturan perundangan tersebut. Partai politik harus menghadapi proses verifikasi administrasi dan faktual yang relatif ketat untuk menjamin akuntabilitasnya dalam mengikuti kontestasi elektoral di tahun 2024. Pada titik ini, regulasi prosedur tahapan verifikasi faktual sejatinya hadir untuk memvalidasi pertanggungjawab partai terhadap administrasi yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya.
Konsep electoral governance dalam proses verifikasi faktual
Dalam melihat fenomena tahapan verifikasi adminsitrasi dan verifikasi faktual yang sedang berjalan saat ini, penulis menggunakan paradigma dari konsep electoral governance yang dikemukakan oleh Mozzafar dan Schedler. Menurut Mozzafar dan Schedlerkonsep electoral governance terdiri atas tiga tahap yakni rule of of making (pembuatan peraturan), rule of of application (pelaksanaan aturan) dan rule of of adjudication (upaya penyelesaian dalam tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik).
Pada tahap pertama, yaitu rule of making dalam masa tahapan proses verifikasi terhadap partai politik peserta pemilu, sejatinya harus memenuhi asas keadilan dan perlakuan yang sama terhadap semua partai peserta pemilu yang dijamin Berdasarkan pasal 28 UUD NRI 1945. Bahwa dalam tahap rule of making ini pihak pembuat kebijakan (Policy Making) terlebih dahulu memperhatikan mengenai norma / nilai keadilan dari pemilu itu sendiri, artinya secara aspek sosiologis proses dalam pembuatan kebijakan sepatutnya mewujudkan norma pemilu yang memuat perlakuan berbeda kepada peserta pemilu. Pada tahap ini, pihak yang berperan adalah penyelenggara pemilu di tingkat pusat, dikarenakan kebijakan dan regulasi pemilu bersifat hirarkis vertikal sehingga pengimplementasian pada tataran di daerah, bersifat mutatis mutandis dengan memperhatikan beberapa mekanisme yang berkesesuaian di tiap sektor dalam tataran vertikal.
Sementara pada tahap rule of aplication dalam proses verifikasi terhadap partai politik peserta pemilu merupakan manifestasi untuk mewujudkan indikator tahapan pemilu yang berlandaskan atas prinsip keadilan dan perlakuan yang sama. Mengawali dengan sosialisasi, berlanjut ke tahapan pendaftaran, hingga pada tahapan pelaksanaan proses verifikasi partai politik peserta pemilu. Pada tahap ini, penyelenggara pemilu di tingkat Kabupaten merupakan pelaksana dalam proses verifikasi administrasi yang menjalankan proses tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa mekanisme dalam proses verifikasi faktual merupakan ketentuan yang telah diatur mekanismenya berdasarkan PKPU 4 2022, yang secara rigid dijelaskan dalam pasal Pasal 74 dan Pasal 79 yang dilakukan untuk membuktikan pemenuhan persyaratankepengurusan Partai Politik calon peserta Pemilu tingkat provinisi dan tingkat kabupaten/kota, kepengurusan Partai Politik calon peserta Pemilu tingkat provinisi dan tingkat kabuaten/kota, memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) pada susunan Pengurus Partai Politik Tingkat Provinsi dan Tingkat Kabupaten/Kota; dan domisili Kantor Tetap pada kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu.
Sedangkan Tahapan rule of adjudication merupakan tahapan yang tak kalah pentingnya dengan kedua level diatas. Tahapan ini merupakan penyelesaian masalah yang terjadi pada proses di tahapan pemilu. Dalam hal ini secara filosofis berusaha untuk mewujudkan proses keadilan untuk semua partai peserta pemilu. Untuk mendukung pelaksanaan verifikasi partai politik calon peserta Pemilu terkhusus Verifikasi Kepengurusan (Ketua, Sekretaris, Bendahara atau sebutan lain dalam ketentuan AD/ART Partai) jika berhalangan untuk hadir di lokasi kantor kepengurusan Partai Politik tingkat kabupaten/kota dapat dilakukan melalui sarana teknologi informasi dengan memperhatikan transparansi serta akuntabilitas dalam proses verifikasinya, sesuai dengan pasal 77 ayat (4) dan pasal 82 ayat (4). Disisi lain, terkhusus Keterwakilan Perempuan dalam kepengurusan Partai Politik tingkat kabupaten/kota , berdasarkan pasal 77 ayat (5) dan pasal 82 ayat 5 bahwa apabila keterwakilan perempuan Pengurus Partai Politik Tingkat Kabupaten/Kota tidak memenuhi paling sedikit 30% (tiga puluh persen), status keterwakilan perempuan dinyatakan memenuhi syarat, sehingga dapat disimpulkan bahwa keterwakilan perempuan dalam verifikasi di tingkat kepengurusan partai hanya menjadi himbauan dan tidak bersifat menggugurkan persyaratan verifikasi partai politik.
Pada titik ini, sejatinya rule of making, rule of aplication rule of adjudication dalam proses verifikasi faktual yang termanifestasikan dalam PKPU 4 Tahun 2004 dapat dikatakan sebagai tools of Social engineering dalam mewujudkan tata kelola pemilu dari segi kepastian secara yuridis dan adil dari segi filosofis untuk membentuk desain lembaga yang menentukan kerangka dasar pemilu yang demokratis. Harapannya dalam menyukseskan tahapan verifikasi yang saat ini berjalan, tanggungjawab tidak hanya dibebankan terhadap penyelenggara pemilu dalam mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis. Tentu setiap pihak yang terlibat dalam proses penyelenggaraan ini, penting untuk mendukung kebenaran dan kejujuran untuk pemilu yang demokratis dan berintegritas, penting kesadaran dari masyarakat baik itu kesadaran hukum maupun kesadaran politik agar proses pelaksanaan disetiap tahapan dapat berjalan secara transparan, adil, dan tentunya demokratis. (*)