English English Indonesian Indonesian
oleh

Santri

Di dunia Pesantren dikenal dua model santri. Ada santri mukim dan ada santri kalong. Santri kalong tidak mondok di Pesantren, tinggalnya di luar pondok. Seperti yang dulu saya lakoni. Usai pulang  sekolah, saya pergi ngaji dan duduk mengaji kitab kuning secara halaqah, dimana Kiai  membaca, menerjemah, dan menerangkannya. Sedangkan kami mendengarkan, menyimak, dan mencatat apa yang disampaikan oleh kiai yang memberi pengajian tersebut. Adapun santri mukim adalah santri yang tinggal di Pesantren.  Ada  yang hanya sebentar, lalu keluar karena berbagai hal. Ada  yang bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun mondok. Ada yang nyantri mulai Ibtidaiyah lanjut Tsanwiyah hingga Aliyah. Ada yang meneruskan hingga  di Perguruan Tinggi Pondok namun tetap ngaji kitab kuning. Jika  beruntung menjadi mantu Kiai, terus mendampingi Kiai dan akan lanjut terus ngajinya.

Anak saya di Pondok Pesantren Gontor 6 usai tamat Aliyah lalu mengabdi setahun jadi guru. Saya jadi lega setelah menyelesaikan masa pengabdiannya akan berkumpul kembali dengan keluarga. Ternyata pikiran saya meleset. Tiba-tiba dia minta izin sama Uminya ingin jadi guru dan mengabdikan dirinya di Gontor sambil kuliah. Langsung lemas perasaan saya bersama ibunya. Padahal saya ingin dia menjadi Dokter seperti ayah-ibunya. Bertahun-tahun dia mondok kami kadang diliputi kecemasan di balik kegembiraan dan rasa bangga anak menjadi santri dan jauh dari kampung halamanya menuntut ilmu agama. Di awal-awal tahun perasaan cemas dan was-was anak yang baru lepas SD sudah harus mandiri dan itu dirasakan hampir semua orang tua yang mengirim anaknya di Pondok untuk sekolah dan belajar agama.

Sabar, itulah kata yang paling pas untuk orang tua yang tega melepas anaknya untuk mondok. Ketika semua harta habis berpuluh juta bahkan beratus juta untuk membiayai kehidupan dan pendidikan anak di pesantren demi investasi akhirat dari anak saleh. Sabar juga harus menghiasi hati orang tua tatkala ramainya rumah kini berganti sepi, sebab para penenang jiwa, penghibur lara jauh dalam dekapan sedang berjuang di pesantren.

Dalam tiap malam air mata kadang tak mampu tertahan mengalir, merindukan putra-putri kesayangan yang tak mampu dipeluk dan dikecup kepalanya. Ketika rindu menderu paling tidak, akhir pekan pertemuan sebentar sudah begitu menenangkan jiwa. Bagaimana yang memondokkan anaknya di luar kota hingga luar pulau bahkan ada  di luar negeri. Rindu begitu menyayat-nyayat hati di tiap keadaan seraya hanya pelukan doa yang dapat terucap lirih dalam lisan agar putra-putri yang jauh senantiasa dalam lindungan Allah Ta’ala.

Tanpa sadar, orang tua yang mengirim anaknya mondok, mereka adalah  rahmat dari Allah yang tidak diberikan pada semua orang tua. Para santri tak hanya menuntut ilmu, sebagian besar santri juga diajari bagaimana cara menjalani hidup. Kehidupan pondok membuat anak-anak santri mandiri, tidak kalah gaul dibanding dengan anak-anak yang lainnya.

Di sisi lain, padatnya kegiatan dan relasi yang besar, membuat para santri sering berdiskusi atau bertukar pikiran. Apalagi jika mereka sudah menggunakan Bahasa Arab atau Bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Mereka tidak hanya bergelut dengan ilmu agama, juga ilmu-ilmu umum, bahkan ada yang sampai menghafal al-Qur’an (Hafidz) serta disempurnakan dengan adab dan akhlak mulia. Di hari Santri (22 Oktober) banggalah menjadi santri karena kalian dapat memadukan ilmu dan agama dalam satu jiwa. Wallahu a’lam

News Feed