English English Indonesian Indonesian
oleh

Empati dalam Pelayanan Publik

Meski program reformasi birokrasi telah digulirkan lebih dari sepuluh tahun, kualitas pelayanan publik hingga saat ini masih dinilai sangat buruk. Belum mampu memberikan kepuasan kepada masyarakat. Bahkan tak jarang menimbulkan kekecewaan masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman dan keterampilan aparatur pelayanan publik tentang bagaimana menciptakan konektivitas emosional dalam melayani. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan untuk memahami orang lain.

Kemampuan memahami orang lain merupakan elemen dasar untuk mencapai kesuksesan menjalin dan membangun hubungan manusia (human relationship). Seseorang yang telah mampu memahami orang lain dengan baik setidaknya telah memiliki dasar yang kuat untuk merancang mekanisme dan tatacara berkomunikasi (verbal dan non-verbal) yang tepat menurut suasana psikologis dan psikis orang lain pada saat tertentu. Seperti diketahui, bahwa kondisi psikologis dan psikis seseorang bersifat relatif dan berbentuk kontinum dari yang sangat baik hingga sangat buruk. Kondisi ini sangat ditentukan oleh banyak faktor. Salah satu yang penting diantaranya adalah suasana emosional yang dialami pada waktu tertentu. Penyebabnya bisa bersumber dari internal diri sendiri misalnya kondisi kesehatan, pikiran, dan sebagainya. Atau bersumber dari lingkungan eksternal seperti keluarga, teman, atau lingkungan sosial yang lebih luas.

Kondisi psikologis dan psikis seseorang pada dasarnya selalu dikomunikasikan kepada orang lain, namun umumnya tidak selalu berbentuk komunikasi verbal. Dengan demikian, butuh kemampuan dan keterampilan untuk dapat memahami kondisi psikologis dan psikis seseorang ketika berinteraksi. Kemampuan inilah yang disebut sebagai empati. Seorang yang memiliki empati dengan mudah dapat mengidentifikasi kondisi seseorang melalui bahasa tubuh, ekspresi, atau pandangan mata orang lain (komunikasi non-verbal). Dengan begitu, maka dengan mudah pula ia dapat bersikap atau berprilaku sesuai dengan kebutuhan saat interkasi pelayanan berlangsung. Jika demikian, maka hubungan baik dengan mudah dapat dibangun.

Dalam konteks pelayanan publik, empati sangat menentukan kualitas layanan. Seorang petugas pelayanan dituntut untuk mampu menciptakan konektivitas emosional dengan penerima layanan saat berinteraksi. Kepuasan dalam pelayanan mensyaratkan hubungan atau interaksi yang dibangun dengan konektivitas emosional. Sementara konektivitas emosional itu sendiri mensyaratkan pemahaman dan pengetahuan tentang kondisi psikologis dan psikis orang yang dilayani melalui empati. Dengan demikian, maka empati dalam pelayanan publik merupakan kompetensi mendasar yang perlu dimiliki aparatur, terutama yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. (*)

News Feed