Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin, Pemerhati Sejarah
“Pelabuhan Paotere pada abad 14 silam pernah mencatat sejarah baru, ketika salah seorang putra pangerang kerajaan Tallo bernama Karaeng Samarluka pada tahun 1420 memimpin pasukan sebanyak 200 kapal perahu pinisi untuk berangkat ke Melayu dengan maksud menyerang Selat Malaka, namun karena mendapat perlawanan dari pasukan Malaka yang sangat hebat. Akhirnya, Karaeng Samarluka mengalihkan perhatian untuk menduduki Samudera Pasai Aceh.”
Deskripsi tentang Paotere di ensiklopedia online Wikipedia. Sangat singkat untuk sebuah bersejarah. Ironisnya, ada informasi yang keliru. Paragraf yang nyaris sama juga terdapat dalam buku “Makassar Tempo Doeloe“ karya Zainuddin (2011) dan karya Abdul Rasyid Idris“Anging Mamiri: Jejak Makassar Tempo Dulu“ (2016).
Teks di atas dikonfirmasi ke dua karya klasik. Tulisan Stapel (1922) merujuk karya Valentjin (1858), “Dat de koningen van Macasar van oudsher al bekend, vermogend en als zoodanige vorsten onder de koningen van’t Oosten beroemd waren, blijkt ons in 1420 daar Crain Samarloeka, koning van Macasar, voorkomt, met 200 vaartuigen naar Malakka gaande, om dien koning te beoorlogen; doch hij werd door den Lacsamana of zeevoogd, des konings van Malakka zoo dapper aangetast, dat hij genoodzaakt was naar de stad Pasi, op’t eiland Sumatra, te wijken, waar hij de stad geen kleine schade, door’t verwoesten van hunne landerijen, toebragt.”
Tak ada kata”Paotere“ dan “pinisi“. Paotere tak bisa dilepaskan dari perkembangan Kota Makassar. Pelabuhan Paotere muncul pada 1909. Disebut pelabuhan rakyat karena kapal yang datang hanya kapal dari pedagang kecil yang menggunakan kapal atau perahu dari kayu, yang dimiliki pedagang kecil, pedagang antar pulau yang menggunakannya berdagang antar pulau. Awal munculnya, Paotere belum ramai. Selama masa pemerintah Hindia Belanda, Paotere tidak dikunjungi oleh kapal asing.
Meski istilah Makassar telah ditemukan sejak abad ke-14 di dalam Kitab Negarakertagama, tapi belum ada keterangan mutlak sejak kapan istilah Makassar dipakai untuk nama tempat atau sebagai nama suku bangsa, kata Daud Limbugau lewat tulisan “Sejarah Kota Maritim Makassar Abad 19 – 20“ (1989). Menurutnya, “tidak benar kalau pada abad ke-17 atau sebelumnya ibukota Kerajaan Gowa adalah Makassar. Demikian juga belum dapat dikatakan pada masa itu pelabuhan Makassar ada pula yang dinamakan Kerajaan Gowa dengan ibukota Somba Opu. Kota dan pelabuhan Makassar atau yang sekarang lebih dikenal dengan Ujung Pandang belum ada apa-apa.”
Informasi di atas bisa menjadi alasan untuk menyanggah salah satu versi tentang asal usul penamaan Paotere. Dalam buku “Makassar Tempo Doeloe“ karya Zainuddin Tika (2011). Tulisnya, ketika pertama kali memasuki pelabuhan Paotere, bangsa Portugis memberi nama pelabuhan dengan nama “PORTO ENTRE” dalam bahasa Portugis berarti pelabuhan masuk. “Porto Entre” kemudian didengar oleh nelayan Makassar yang disebut dengan lidah mereka dengan Paotere.
Versi di atas lemah sebab masa ketika Portugis ke Makassar, pelabuhan utama Kerajaan Gowa-Tallo adalah muara Sungai Jeneberang atau sekitar Benteng Somba Opu, jarak keduanya sekitar 12 km. Kecil kemungkinan armada Portugis berlabuh begitu jauh dari lokasi berdagang. Dalam peta-peta klasik buatan Eropa pun belum ditemukan ada toponimi Paotere.
Peta 1894, di depan Benteng Rotterdam ada simbol jangkar, sedangkan di Paotere tidak ada. Artinya, Paotere sebagai pelabuhan ‘besar’ masa itu belum dikenal. Meski sudah mulai difungsikan sebagai pelabuhan alternatif pada 1909, di peta 1923, pantai Paotere belum ada informasi sebagai tempat berlabuh perahu. Beda dengan depan Benteng Rotterdam ada tulisan “Prauwen haven” (pelabuhan perahu).
“Ada laki-laki yang memperbaiki jaring, di tempat lain layar dianyam, serta perahu yang belum selesai dikerja di pantai. Paotéré, desa pembuat tali, …,” terjemahan salah satu paragraf di artikel berjudul “Reizen door den Indischen Archipel Naar Celebes” koran De Locomotief terbit 18 Maret 1907.
Di situ disebutkan bahwa Paotere adalah desa pembuat tali. Ini senada dengan tradisi lisan di penduduk Paotere dewasa ini yang menyampaikan bahwa nama tempat mereka berasal dari kata “otereq” yang berarti tali. Dahulu di Kawasan tersebut banyak orang Mandar yang membuat tali, yang kemudian disebut “paqotere”. Informasi ini juga dituliskan Horst Liebner dalam tulisannya berjudul “Paotere“ (2000) dan oleh Abdul Rasyid Idris dalam buku “Anging Mamiri: Jejak Makassar Tempo Dulu”. (*)