English English Indonesian Indonesian
oleh

Jebakan Psikologis dalam KDRT

OLEH: Muhrajan Piara, Dosen Fakultas Psikologi UNM dan Peneliti Isu Sosial

Pencabutan laporan polisi yang dilakukan Lesti atas penganiayaan yang dilakukan oleh suaminya Rizky Billar, membuat netizen geram. Hujatan pun datang dari mereka yang merasa kesal dengan keputusan tersebut.

Lesti dianggap bucin (budak cinta) dan bodoh karena masih bertahan pada hubungan yang toxic meskipun telah dianiaya berkali-kali. Fenomena yang terjadi antara Lesti dan Rizki Billar di mata orang awam adalah sesederhana kasus kekerasan biasa yang bisa dihentikan kapan saja dengan melaporkan pelakunya ke Polisi. Pelaku ditangkap, cerai, kemudian korban menikah lagi dan hidup bahagia dengan pasangan barunya. Kenyataannya, domestic violence atau biasa disebut kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak sesederhana itu.

Dalam banyak kasus KDRT, korban tidak menyadari bahwa mereka mengalami kekerasan dalam hubungan mereka. Korban merasa keluarga adalah tempat pulang paling hangat yang memulihkan mereka dari segala penatnya rutinitas kehidupan. Pun, jika terjadi kekrasan, mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah “bumbu” yang selalu ada dalam kehidupan rumah tangga. Pada tahap ini, sebenarnya korban sudah masuk dalam jebakan psikologis KDRT.

Jebakan ini biasanya sengaja diisetting dalam beberapa fase oleh pelaku untuk menyamarkan aktivitas kekerasan yang lakukannya. Fase pertama, pelaku akan menunjukan pesonanya dengan berbagai cara untuk menarik perhatian korban dan membuat korban jatuh cinta. Kemudian pelaku akan menunjukan cinta dan kasih sayang yang luar biasa pada pasangannya agar pasangannya mersa sangat dicintai. Pelaku juga akan menunjukan pada korban bahwa seolah-olah si korbanlah yang memegang kendali dan dominasi dalam hubungan mereka.

Fase kedua, pelaku akan menceritakan kisah sedih dan pahit tentang masa lalu mereka, misalnya bahwa mereka pernah mengalami kekerasan oleh orang tua mereka (menurut developmental study, besar kemungkinan pelaku KDRT ternyata pernah mengalami kekerasan oleh orang tuanya pada masa anak-anak) atau tentang pengalaman sedih lainnya.

Tahap ketriga, pelaku pun akan mulai melakukan tindakan kekerasan dengan memukul bagian tubuh korban pada area yang tertutup pakaian agar bekasnya tidak mencolok. Penyebab kemarahan pelaku biasanya berupa hal-hal yang sepele. Pada tahap ini korban tidak menyadari bahwa dirinya berada dalam masalah yang serius. Kekerasan yang menimpa mereka dianggap sebagai hal yang lumrah sebagai ganjaran atas keselahan yang mereka buat.

Jebakan tahap pertama telah diterapkan. Pelaku dengan sikap manipulatifnya menempatkan korban sebagai pihak bersalah yang memberikan andil besar terhadap terjadinya kekerasan tersebut. Karena sebelumnya pelaku telah menyugesti bahwa korbanlah yang mendominasi dan memegang kendali atas hubungan mereka, pelaku dengan mudahnya mengambinghitamkan korban sebagai pihak yang paling berandil atas terpicunya sikap kasar si pelaku.

Setalah mengalami kekerasan berkali-kali, korban mungkin merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan hubungan mereka. Beberapa kali mungkin terbesit keinginan untuk meninggalkan si pelaku tapi korban terlanjur terjerat dalam jebakan psikologi tersebut. Karena di awal, si pelaku sudah menceritakan hal-hal pahit dimasa lalunya, korban merasa punya tanggung jawab untuk tetap bersama pelaku. Korban tidak tega meninggalkan pelaku karena merasa bahwa hanya dirinya yang bisa memahami seluruh “sakit” si pelaku.

Pada tahap ini korban melihat dirinya sebagai seorang “hero” yang harus berperan sebagai wanita tegar, mandiri dan kuat yang punya kewajiban untuk menyembuhkan segala luka si pelaku di masa lalu. Kenyataannya, pelaku semakin beringas dan ekskalasi kekerasannya mulai meningkat ke arah vital seperti muka, kepala dan bagian perut.

Pertanyaan yang selalu muncul adalah “kenapa korban tidak meninggalkan pelaku?” Tahap terakhir dari jebakan ini adalah ancaman si pelaku kepada korban apabila korban memutuskan hubungan mereka. Ancaman tersebut biasanya berupa ancaman pembunuhan dimana secara statistik KDRT yang berakhir pembunuhan 70% dilakukan setelah korban mengakhiri hubungan. Ancaman lain yang dilancarkan oleh pelaku bisa berupa ancaman finansial dan hak asuh anak. Pada tahap ini korban dilanda rasa bimbang antara mengakhiri hubungan dan menerima segala konsekuensinya atau bertahan dalam hubungan yang terasa seperti di neraka.

Hal yang paling mungkin bisa dilakukan dalam kondisi ini adalah speak up. Ceritakan kepada keluarga, teman, rekan kerja, polisi atau kepada siapapun yang kamu percaya tentang kekerasan yang kamu alami. Semakin banyak kamu bercerita, semakin banyak kamu akan mendapatkan dukungan sosial dan alternatif solusi yang tepat. Sebab, dalam diam kekerasan akan tumbuh subur. (*)

News Feed