OLEH: Dr Abdul Rahman Nur SH MH,
Dosen Hukum Tata Negara Unversitas Andi Djemma Palopo
Mahkamah Konstitusi pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum yang berasal dari Austria yaitu Hans Kelsen 1919, dimana pandangan ahli hukum yang menganut teori hukum murni bahwa selain lembaga legislatif yang memproduk hukum atau UU, juga dibutuhkan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap produk hukum atau UU yang dibuat oleh legislative, sehingga terbangun mekanisme kontrol terhadap produk hukum yang dihasilkan oleh DPR.
Polemik pemecatan salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi perdebatan para ahli, ada yang menganggap sikap DPR tidak konstitusional (tidak berdasarkan aturan hukum yang berlaku) sesuai mekanisme pengangkatan dan pemberhentian seorang Hakim MK, sebagaimana termaktub dalam peraturan MK 4/2012 tentang tata cara pemberhentian hakim MK, dimana pemberhentian Hakim MK terdiri atas, pertama, pemberhentian dengan hormat, kedua, pemberhentian tidak dengan hormat, dan ketiga, pemberhentian sementara. Jika mencermati secara mendalam peraturan ini, dengan mencermati informasi media terkait pemecetan salah seorang hakim MK, tentu sangat tidak berdasar dan memenuhi syarat untuk dilakukan pergantian atau pemberhentian seoarang hakim, maka bisa dianggap perbuatan yang dilakukan oleh DPR adalah inskonstitusional.
Menurut hemat penulis, tindakan yang dilakukan oleh DPR adalah tindakan secara politis saja, dengan alasan jika ada beberapa produk hukum yang dihasilkan oleh DPR yang dibatalkan oleh hakim MK, sehingga inilah yang menjadi alasan kenapa DPR memecat seoarang Hakim MK, sebagaimana disampaikan salah seorang anggota DPR, disalah satu media yang mengatakan “banyak produk undang-undang yang dibuat DPR, dibatalkan oleh seorang hakim MK, tentu mengecewakan, ibarat direksi yang mengusulkan pada sebuah perusahaan, pasti akan mengambil kebijakan sesuai arahan owener, jika tidak maka yang bersangkutan akan dicopot”. Pendapat seorang anggota DPR ini sangat keliru, karena mahkamah konstitusi adalah lembaga hukum yang independen, jadi sangat keliru jika dianggap DPR bisa mengatur atau mengintervensi kewenangan hakim MK.
Sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dan juga diatur bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi diatur dengan undang-undang, sebagaimana diatur dalam UU 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi, dijelaskan dalam Pasal 23. Dalam aturan ini juga tidak dijelaskan seorang hakim MK dapat diberhetikan karena dianggap tidak menyetujui produk hukum yang dihasilkan oleh DPR, ini membuktikan bahwa pemberhentian seorang hakim yang dialami oleh Prof Aswanto adalah inkonstitusional dan tak berdasar. Pemberhentian seorang hakim MK dengan hormat, jika a.meninggal dunia; mengundurkan diri atas yang diajukan kepada Konstitusi; c. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; d. dihapus; atau e. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Kemudian jika dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat pada bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Jadi pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi. Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Presiden menerima permintaan pemberhentian.
Penulis menganggap Prof Aswanto sebagai seorang hakim telah menjalankan fungsi dan kewenangannya dengan baik, dimana MK berfungsi sebagai Negatif Legislator dan Positif Legislator, yang artinya bahwa MK dapat membatalkan norma atau dikenal dengan istilah judicial review, bila ditemukan ada UU yang bertentangan dengan konstitusi atau UUD 45, dan juga kemudian MK dapat berfungsi sebagai positif legislator adalah kewenangan MK dalam membentuk norma.
Lembaga legislatif atau DPR sebaiknya membangun harmoni dengan lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi, sehingga dapat melahirkan produk hukum yang berkualitas dan dapat memberikan rasa keadilan hukum pada masyarakat. Sehingga pelaksanaan pemerintahan dapat berjalan sesuai dengan amanah konstitusi, dan tidak membuat kegaduhan dalam tata kelola pemerintahan yang baik.
Sebaiknya lembaga pemerintahan memahami dengan baik fungsi dan kewenangannya masing-masing, agar tidak terjadi perbuatan yang dapat mencederai lembaga publik, sehingga dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga pembentuk undang-undang. (*)