English English Indonesian Indonesian
oleh

Buku Cerita Anak yang Masih Bias Gender

OLEH: Khairil Anwar, Penggiat Kajian Budaya dan Media

Perempuan seringkali dikesampingkan dalam karya sastra, tidak terkecuali pada buku cerita anak. Sekalinya ditampilkan, seringkali hanya sebagai figuran. Kalau pun jadi karakter utama, ia acapkali dijadikan objek atau terdominasi oleh karakter laki-laki. 

Buku cerita merupakan salah satu media informasi anak mengenai identitas gender, peran gender hingga pembentukan karakter. Pada usia ini sangat krusial karena akan membentuk pola pikirnya di masa mendatang.  Misalnya buku cerita anak seri pahlawan nasinonal seri Cut Nyak Dien dan R.A. Kartini terbitan Bhuana Ilmu Populer. Kedua buku ini menceritakan kisah kepahlawanan keduanya. 

Sayangnya, hasil penelitian yang saya lakukan bersama ke dua rekan menemukan kenyataan bahwa narasi kedua buku itu cenderung masih bias gender. Di buku tersebut mengasosiasikan kegiatan domestik pada kedua tokohnya. Memasak, menjahit dan membatik bahkan diberi porsi narasi yang cukup besar kendati tidak memengaruhi kepahlawanannya.  

Selain itu, penelitian lainnya yang dilakukan oleh Linda Yuswara menemukan bahwa buku kumpulan cerpen yang berjudul 20 Cerita Manis Diambil dari majalah Bobo terbitan PT. Gramedia. Hasil analisinya menemukan bahwa cerpen dalam buku tersebut tak terlepas dari wacana bias gender dan citra perempuan. Ada dua penggambaran perempuan yaitu sebagai sosok yang irasional dan penegasan peran figur ibu. Sedangkan bias gender yang ditemukan yaitu toxic maskulinitas dan subordinasi perempuan.

Kenapa seperti itu?

Pola pikir masyarakat Indonesia masih bias gender disinyalir menjadi sebab narasi yang bias gender. Pola pikir ini terbentuk karena sistem patriarki yang masih terawat. Patriarki menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan dalam masyarakat. Sistem tersebut secara sadar (lebih banyak yang tidak sadar) membentuk pola pikir masyarakat. 

Ringkasnya, masyarakat mewajarkan peran gender, laki-laki bekerja dan perempuan jaga rumah. Masyarakat akhirnya menganggap peran gender sebagai sesuatu yang natural bukan kultural. Realita sosial yang dominan inilah yang ditangkap dan diceritakan di dalam buku tersebut. Padahal dalam proses representasi (penghadirkan ulang) kalau kata Stuart Hall selalu politis. Sifat politis ini memungkinkan ada bagian yang dihadirkan dan diabsenkan dalam proses represetansi. 

Representasi bukanlah refleksi  murni tapi konstruksi kultural. Artinya, baik penulis maupun desainer punya kebebasan untuk memilih dan memilah apa yang ingin ditayangkan dalam karyanya. Pada titik inilah penulis atau desainer membutuhkan kepekaan gender dalam produksi karyanya.

Apa yang akan terjadi?       

Jika anak-anak sudah kadung terpapar peran gender tradisional dari lingkungan yang patriarki maka adanya buku bacaan ini bisa menjadi legitimasi. Jika buku bacaan serta merta mengikuti arus utama perihal peran gender yang ada di masyarakat maka buku bacaan berpotensi menjadi salah satu media yang mereproduksi peran gender tradisional. 

Buku bacaan tersebut dapat ditangkap oleh anak sebagai penegasan atau legitimasi akademis mengenai peran gender yang mereka ketahui selama ini. Mereka akan memandang biner oposisi terhadap peran gender, hanya ada laki-laki dan perempuan. 

Bias gender dalam buku cerita akhirnya  diwajarkan oleh masyarakat. Padahal buku cerita sama seperti buku pelajaran memegang peranan dalam mentrasfer nilai ke masyarakat. Di dalam sebuah penelitian lain menyebutkan anak-anak terpapar perbedaan gender sejak lahir. Dan pemahaman dini akan perbedaan gender itu muncul sejak usia 3 tahun. Bahkan, di usia 6 atau 7 tahun pemahamannya akan terbentuk lengkap secara mapan. 

Anak-anak akan belajar cepat bahkan tanpa disadari oleh orang sekitarnya. Ia akan belajar melihat bahwa sehebat apapun seorang perempuan, semuanya tidak terlepas atas campur tangan laki-laki. Sejago apapun, perempuan tetap harus melakukan aktivitas domestik bahkan sehebat pahlawan nasional pun.  

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Magdalene, Susan Wilbraham dan Elizabeth Caldwell dalam penelitiannya di Inggris menyoroti, buku-buku sains bergambar untuk anak di dua perpustakaan publik. Gambaran laki-laki dan perempuan di dalam buku cerita bisa berpotensi  memengaruhi harapan anak-anak terhadap apa  yang akan mereka dapatkan dan jalani di masa mendatang. Penggambaran dalam buku cerita akan mengajarkan mereka “aturan” mengenai pekerjaan yang cocok untuk tiap gender. Jadi, mereka akan mengikuti stereotip gender yang telah mapan di masyarakat.

Lalu apa yang bisa dilakukan? 

Berharap ada sistem atau kebijakan dari pemerintah untuk mengubah atau setidaknya menggerus sistem patriarki mungkin terlalu utopis. Paradigma dan pola pikir yang sensitif gender harus diajarkan di lembaga pendidikan, penerbitan, dan komunitas—terutama komunitas literasi. Pembelajaran ini penting karena mereka berpotensi menjadi aktor yang akan menjadi idola publik. 

Sekolah dan kampus sebagai ruang akademik penting memahamkan kepekaan gender. Saat ini, di banyak komunitas peneliti termasuk kampus masih menganut norma-norma patriarki. Hal ini akan memengaruhi cara berpikir dan bertindak mereka. Padahal pemikiran dan gagasan mereka akan memenuhi ruang hidup bernegara di masa depan.

Bagi penulis dan penerbitan tentunya tidak jauh kalah penting. Ide yang disampaikan dalam tulisan dapat memengaruhi cara pandang pembacanya. Editor penerbitan penting menerapkan kepekaan gender pada buku-buku terbitannya, tidak hanya buku cerita anak. Pun dengan penulis atau pun desainer yang melakukan proses representasi ke dalam tulisan. Mereka perlu tahu bahwa karyanya akan berimplikasi besar pada tatanan hidup dan cara pandang pembacanya.   

Namun, satu hal yang paling penting yaitu keterlibatan aktif orang tua dalam tumbuh kembang pola pikir anak. Orang tua yang peka terhadap gender harus bisa memilih dan memilah bahan bacaan yang akan dibaca anaknya. Pun jika ia memberikan asupan mainan, sebaiknya yang netral gender. Orang tua harus menyaring setiap informasi atau sumber pengetahuan agar anaknya tidak besar sebagai diri yang seksis. 

Anak kecil adalah seorang pencontoh yang ulung. Untuk itu orang tua  juga perlu menunjukkan contoh betapa dinamisnya peran gender. Bapak bisa melakukan aktivitas memasak, menyapu, mengepel dan aktivitas  domestik lainnya. Di lain sisi, Ibu melakukan kerjaan yang biasanya dilakukan laki-laki seperti bekerja, mengajak anaknya jalan-jalan, atau menyetir kendaraan. Aktivitas seperti ini secara tidak sadar akan ditangkap dan dipahami oleh anak bahwa tidak ada peran yang natural antara laki-laki dan perempuan. 

News Feed