FAJAR, MAKASSAR-Sidang perdana terdakwa kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu akhirnya digelar. Dalam dakwaan JPU menjerat terdakwa dengan pasal berlapis.
Dakwaan pertama yakni pasal 42 ayat 1 huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf a, pasal 37 UU no 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Dakwaan kedua yakni pasal 42 ayat 1 huruf a dan huruf b Jis pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, pasal 40 UU no 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Penasihat Hukum terdakwa Isak Sattu, Syahrir Cakkari mengatakan, uraian dakwaan yang dibacakan oleh JPU cukup jelas. Sehingga pihaknya tidak perlu mengajukan eksepsi.
Namun pihaknya melihat ada beberapa hal yang dianggap ada kejanggalan saat dilakukan penyelidikan perkara. Akan tetapi hal tersebut sudah masuk dalam pembuktian perkara. Sehingga akan dibuktikan dalam pembuktian perkara.
“Dalam uraian dakwaan JPU tidak ada menyebutkan peristiwa penembakan tersebut dilakukan atau diperintahkan terdakwa. Dakwaan juga tadi menyebutkan tiga lokasi kejadian yang berbeda, namun disemakan pada satu orang,” kata Syahrilr, Rabu, 21 September.
JPU Kejagung RI, Erryl Prima Putera Agoes mengatakan dalam rangkaian aksi yang terjadi pada tanggal 7 hingga 8 Desember 2014 menyebabkan aksi penganiayaan. Dimana terdakwa Isak Sattu seharusnya menghentikan aksi tersebut. Pasalnya dia mempunyai kewenangan secara efektif bertindak sebagai komandan militer dalam hubungannya dengan bawahannya tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasannya. Baik untuk mencegah atau menghentikan tindakan anggota yang melakukan penembakan dan kekerasan sehingga mengakibatkan empat orang meninggal.
Mereka adalah Alpius Youw (luka tembak pada punggung belakang sebelah kiri). Alpius Gobay (luka tembak masuk ke perut kiri dan luka dipinggang kanan sehingga peluru dipastikan tembus). Yulian Yeimo (luka tembak diperut sebelah kiri dan keluar dari pinggang sebelah kanan). Serta Simon Degel (luka tusuk pada dada kanan).
“Dalam BAP (berita acara peneriksaan) ada 52 saksi dari pihak TNI, Polri, dan warga, sedangkan ahli ada enam orang. Saksi yang keterangannya sama akan rangkum, contoh dari enam hanya dua yang dihadirkan,” ucapnya.
Ketua majelis hakim persidangan, Sutisna Sawati mengatakan sidang lanjutan akan digelar pada Rabu, 28 September. Agendanya adalah mendengarkan keterangan saksi.
“Sidang kita gelar pagi yah. JPU dan PH segera melapor setelah sampai di PN, kita mulai sidang pukul 09.00 Wita,” bebernya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, dia beberapa kali mengikuti sidang pelangaran HAM di Indonesia. Diantaranya sidang pelanggaran HAM Tanjung Periuk, Timor-timor, dan perkara Abupura.
Dari pengalaman tersebut ada beberapa catatan dakwaan, pembuktian yang lemah. Selain itu ada juga perlindungan saksi dan korban yang lemah. Semuanya itu tidak memuaskan rasa keadilan korban dan masyarakat.
Selain itu yang menjadi pertanyaan lain adalah tidak dilakukannya penahanan terhadap terdakwa? Pasalnya dalam hukum Indonesia ancaman hukuman pelanggaran HAM adalah hukuman mati. Lantas kenapa tidakl ditahan.
“Hukuman di atas lima tahun itu biasanya ditahan, tetapi majelis hakim tadi menyatakan selama terdakwa bersikap koperatif tidak akan ditahan. Namun jika tidak koperatif diawal persidangan sudah dikatakan akan ditahan,” akunya.
Usman menambahkan dalam perkara ini masih ada pertanyaan yang belum terjawab. Diantaranya apakah terdakwa adalah orang yang paling bertanggujawab dalam kasus tersebut. Pihaknya juga tidak bisa menafikan adanya dugaan persidangan pelanggaran HAM yang digelar adalah gimik semata.
Hal ini tidak terlepas dari pengalaman sidang terdahulu, selalu berujung pada nol penghukuman. Banyak putusan bebas pada semua tingkatan. Semuanya dikarena persiapan tidak matang.
“Seharusnya yang utuh dibuktikan terlebih dahulu adalah siapa yang melakukan penganiayan tersebut. Namun kenyataanya tidak. Namun nanti kita lihat dalam persidangan,” tambahnya.
Sekadar informasi tersangka Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu adalah mantan perwira penghubung pada Komando Distrik Militer (Kodim) Paniai, yang pada peristiwa Paniai 7-8 Desember 2014 itu, mengakibatkan empat orang anak meninggal dunia dan 17 orang lainnya luka-luka.
Untuk kasus tersebut, Jajaran JAM-Pidsus Kejagung menyusun surat dakwaan Isak secara kumulatif. IS didakwa melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf a dan b jo Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Pengadilan HAM dan Pasal 42 ayat (1) huruf a dan b jo Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Pengadilan HAM. (edo/*)