Kita sering mendengar kata ego yang berkonotasi jelek. Secara definisi ego adalah “Diri/Saya”. Jadi, ego bisa dikatakan sebagai persepsi seseorang tentang harga dirinya yang seterusnya memengaruhi keyakinan dirinya dan setiap orang memilikinya. Ego tidak selalu berarti negatif karena ego bisa saja mengarahkan seseorang padahal yang bersifat positif. Namun, ketika seseorang tidak dapat mengendalikan egonya dengan baik dalam realitasnya seseorang tersebut dapat bersikap egois. Seorang disebut egois ketika orang tersebut suka mengutamakan (menonjolkan) diri, selalu merasa keinginannya adalah hal yang penting. Jika dia sering mementingkan diri sedniri maka dia disebut egoistik.
Fenomena egoistik mewarnai kehidupan kita sehari-hari. Tanpa disadari, egoistik lebih sering ditonjolkan ketimbang logik, entah itu di rumah, di kantor, di kampus, di sekolah, apalagi di jalanan. Egoistik ditampilkan sebagai cerminan masyarakat metropolitan. Di rumah, egoistik tampil dengan wajah garang dari seorang suami pada istri dan anaknya. Inilah salah satu pemicu munculnya KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Istri bak pembantu dimarahi habis-habisan ketika keinginannya ditantang sama istri. Anak menjadi korban Bapak yang menganggap anaknya seperti budak. Egoistik Bos di kantor memuncak dengan cacian pada anak buah yang menganggap hidup anak buah ada ditangan Bos. Dosen menjadi egoistik pada mahasisnya letika dibantah tentang materi kuliah yang ditanyakan mahasiswanya, dimana dicecar dengan argumen referensi terbaru, namun dosen merasa lebih tahu dari mahasiswa.
Di jalanan, sifat egoistik lebih menonjol lagi dipertontonkan pengguna jalan terhadap pengguna jalan lain. Sifat tidak sabar, terburu-buru, cuek, dan mementingkan diri sendiri adalah tontonan sehari-hari yang melengkapi asesoris jalan yang padat, macet, dan semrawut. Ritme hidup di jalan adalah siapa yang menguasai jalan dia adalah penguasa rimba aspal. Lihatlah ketika menanti lampu traffic light hijau menyala sering ada yang meloloskan diri seperti buru-buru mau ke toilet. Di tengah tertibnya kendaraan jalan merayap karena padat, ada saja yang nyalip, menerobos jalan ke arah lawan jalan dan melanggar rambu lalu lintas. Selain itu, di tengah banyaknya kendaraan yang melaju cepat, pejalan kaki yang mau menyeberang melihat jalanan sebagai tempat yang ngeri. Penguasa rimba aspal jalan tanpa hati nurani sering mengabaikan keselamatan sang penyeberang.
Yang menambah stres bagi pengendara mobil adalah jalan dijalanan sempit. Banyak pemilik mobil yang tidak punya garasi mengabaikan tata krama dengan memarkir di pinggir jalan sempit atau lorong. Begitupun rumah-rumah yang enggan dilewati kendaraan depan rumahnya memasang penghalang, entah itu batu besar atau memasang pot, padahal dia lupa depan rumahnya yang merupakan jalan itu bukan tanahnya. Egoistik juga muncul ditengah anak muda intelektual, sang perlemen jalanan ketika dengan seenaknya memblokir jalan dalam menyuarakan aspirasi mereka kepada sang Egoistik yang maha Berkuasa.
Gambaran egoistik di atas hanyalah sebagian kecil yang sering kita lihat. Egoistik bisa muncul pada kondisi ketika perasaan tidak stabil dan keegoan menguasai diri kita. Hal ini diperburuk oleh ketidak(ingin)tahuan kita pada situasi dan keadaan orang lain. Bila terhenti pada keadaan diri sendiri, tanpa mau mencari tahu bagaimana keadaan orang lain, maka sikap egoislah yang muncul. Semakin sedikit yang kita tahu, semakin kita merasa paling tahu, dan celakanya merasa paling benar. Belajar berempati pada orang akan menyadarkan kita adalah bagian dari mereka, dan mereka adalah kita sehingga melahirkan rasa peduli dan tidak mementingkan diri sendiri. Wallahu a’lam. (*)