Sejak Indonesia merdeka nasib guru (termasuk dosen) sangat memperihatinkan. Kelompok orang-orang terdepan dalam mendidik generasi bangsa ini dibiarkan menjadi pengabdi yang tulus dengan keikhlasan yang tinggi. Menjadi guru seakan dibiarkan menjadi panggilan jiwa seseorang saja. Seseorang yang siap melakoninya dengan hanya berlandaskan semangat idealisme. Itulah sebabnya mereka disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Pahlawan karena berhasil melahirkan orang-orang hebat yang mampu mengubah peradaban. Sementara mereka sendiri tetap bersahaya dalam kehidupan yang serba terbatas. Mereka tak peduli itu. Mereka tetap bahagia karena memang hanya itulah yang menjadi impiannya.
Tahun 2005, tatkala Undang-undang Guru dan Dosen lahir. Tampak negara sudah mulai merasakan perlunya memperhatikan kalangan pendidik bangsa ini. Melalui UU tersebut, Guru dan Dosen sudah dikategorikan sebagai sebuah profesi terhormat. Setara dengan profesi lainnya. Mereka disebut kaum professional. Meski tidak serta merta, setiap pendidik di segala jenjang pendidikan wajib melalui proses sertifikasi untuk memperoleh gelar professional. Guru profesional bagi yang mendidik di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Dosen professional bagi yang mengabdi di lingkungan pendidikan tinggi. Karena menjadi profesi, maka setiap guru dan dosen yang telah tersertifikasi berhak memperoleh tunjangan profesi.
Sejak UU Guru dan Dosen berlaku, tampaknya minat menekuni profesi guru dan dosen terus meningkat. Kebanggaan menekuni profesi ini semakin meningkat. Selain karena pengahargaan atas profesi, juga karena semakin membaiknya tingkat kesejahteraan pendidik. Meskipun bila dibandingkan dengan beberapa negara lain, khususnya negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura tingkat kesejahteraan pendidik kita masih kalah jauh.
Tentu saja -di sisi lain- sejatinya kompetensi dan profesionalisme pendidik terus meningkat seiring makin meningkatnya pengahragaan pemerintah terhadap guru dan dosen. Beban kerja juga terus meningkat. Dan tentu saja harapannya kualitas pendidikan kita juga semakin membaik. Hal ini adalah soal lain. Sebab kualitas pendidikan tidak hanya bergantung pada pendidik. Tapi banyak faktor determinan yang lain.
Namun, hari-hari terakhir nasib para pahlawan tanpa tanda jasa ini kembali mengkhawatirkan. Penyebabnya tidak lain, munculnya draft RUU Sisdiknas yang didalamnya tampak mengembalikan status guru dan dosen sebagai pekerjaan yang berdasar dalam rezim UU Ketenagakerjaan. Anehnya, meskipun dalam batang tubuh RUU masih menyebutkan guru dan dosen sebagai pendidik profesional, namun dalam penjelesan tampak pengaturan mengenai penghargaan dan status guru dan dosen mengacu pada UU ketenagakerjaan. Dengan demikian, guru dan dosen kedepan, khususnya yang diangkat berdasarkan UU Sisdiknas yang baru (bila disahkan seperti itu) tidak memperoleh tunjangan profesi lagi. Wajar kalau semua pihak menolaknya. Baik organisasi Guru (PGRI) maupun organisasi Dosen. (*)