English English Indonesian Indonesian
oleh

Lubang Menganga Antikritik di Makassar, Sangat Bahayakan Demokrasi

FAJAR, MAKASSAR–Pemkot Makassar dinilai antikritik pada media tertentu yang kritis. Padahal sebagai lembaga pemerintah, seharusnya terbuka terhadap kritik.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar Didit Hariyadi mengatakan bahwa jurnalis jika melakukan kritik terhadap pemerintah itu merupakan hal yang wajar.

“Sebenarnya sebagai lembaga pemerintah tidak meski takut sama jurnalis karena jurnalis itu kerja sesuai kode etik jurnalistik dan UU Pers. Kalaupun dikritik itu hal wajar sebagai pemerintah, toh kalau tidak ada yang salah kenapa meski takut, harusnya lebih terbuka lagi,” katanya kepada FAJAR, Minggu, 18 September 2022.

Lebih lanjut, Didit menambahkan pejabat dalam berhadapan dengan wartawan untuk memberi komentar, tidak harus memilih-milih karena tujuan jurnalis untuk memberitakan kepada publik.

“Sebagai pejabat, seharusnya tidak memilih-milih jurnalis yang ingin wawancara karena jurnalis melakukan wawancara itu sama tujuannya untuk memberitakan, apalagi jika yang diberitakan itu untuk kepentingan publik,” tambahnya.

Didit Hariyadi menyarankan agar Pemkot Makassar lebih terbuka terhadap semua media dan jangan memilih-milih media. “Pemkot lebih terbuka saja ketika jurnalis ingin mewawancarai dan jangan tebang pilihlah,” saran Didit.

Respons PWI

Senada dengan Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Pembelaan Wartawan PWI Sulsel Usdar Nawawi. Dia mengatakan bahwa Pemkot Makassar yang antikritik tak sejalan dengan pemikiran dan apa yang selama ini disampaikan Wali Kota Makassar yang siap dikritik

“Dan tentunya tak sejalan dengan pemikiran wali kota yang terbuka siap dikritik sepanjang kritiknya objektif dan by data,” katanya.

Menurut Usdar, tugas dari media ialah menyampaikan informasi dan sosial kontrol terhadap apa yang menjadi kebijakan pemerintah.

“Dari kacamata PWI, tugas media ialah informasi, pendidikan, dan sosial kontrol,” tambah Usdar.

Menuju Otoritarianisme

Ketertutupan informasi publik merupakan jalan menuju pemerintahan yang otoritarianisme. Kapan pemerintahan alergi terhadap kritik maka ciri-ciri pemimpin otoriter mulai terlihat.

Analis Pemerintahan dan Kebijakan Publik Unhas Aswar Hasan mengatakan sebuah pemerintahan harus menjunjung tinggi unsur keterbukaan informasi. Karena itu merupakan syarat mendasar dari upaya untuk mencapai cita-cita good governance.

Aparat pemkot, sebut Aswar harus memiliki kewajiban memberikan informasi karena itu menjadi hak publik untuk tahu.

Ia menyarankan agar pemkot harus terbuka terhadap semua media. Tidak boleh ada diskriminasi. Jika melakukan pembedaan-pembedaan maka itu merupakan penghianatan atas amanah demokrasi, mencederai demokrasi.

“Salah satu bentuk pencederaan terhadap demokrasi adalah membedakan-membedakan dalam memberikan informasi tentang pemerintahan. Pemerintah butuh suara kritis, tidak boleh dia memelihara media yang hanya memuja, menyanjung saja. Itu artinya merusak pemerintahan itu dalam jangka panjang,” paparnya.

Jika pun ketika kesalahan dalam pemberitaan, maka ada hak jawab dan koreksi. Tidak boleh di zaman reformasi ada unsur seperti itu. Lantaran, ujungnya hanya mencederai leadership pemimpin itu sendiri di mata masyarakat.

Tutup Informasi

Pakar Komunikasi Politik Unhas Hasrullah mengatakan kebutuhan informasi untuk kepentingan publik tidak boleh ditutupi. Karena kebebasan mendapatkan informasi publik merupakan hak yang hakiki.

“Kalau ada blokade informasi publik, maka melanggar UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kalau tidak mau dikritik, ya, suruh berhenti saja jadi pejabat publik. Masalahnya, Anda, kan, dipilih oleh publik. Tetapi, kayaknya sudah bebal dikritik,” kata Hasrullah.

Dosen Fisip Unhas ini mengaku heran. Padahal banyak sekali pemimpin yang dikritik, tetapi beda dengan satu ini. “Kalau ada sesuatu yang dianggap tidak sesuai, ya, ada hak jawab. Fungsikan itu humas,” akunya.

Ia juga menyinggung rencana study tour ke Bali, Malaysia. Justru, lanjut dia publik harus tahu. “Nah, itu jawab, jawab itu. Media juga harus memuat jawabannya ketika ada jawabannya. Kalau dia makin menghindari, maka saya kira tidak cocok hidup di negara demokrasi,” sindirnya.

Ia memaparkan, UU KIP, atau UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan hak setiap orang untuk memperoleh Informasi.

Juga, kewajiban badan publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan atau proporsional, dan cara sederhana. Lalu, kewajiban badan publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi.

Pasalnya, aspek ini adalah salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka.

Sebaliknya, sambung dia, ancaman pidana bagi pimpinan badan pemerintah yang melanggar UU KIP diatur dalam Pasal 52 UU 14/2008. Menurut pasal itu, jika badan publik yang sengaja tidak menyediakan informasi akan dikenai pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda Rp5 juta.

Langgar Keterbukaan

Keberadaan pemerintah sebagai instansi yang mengatur kehidupan bernegara semestinya menganut sistem demokrasi, tak melulu hanya menerima sanjungan melainkan kritik dari masyarakat. Terutama dari instansi pers sebagai salah satu pilar demokrasi.

Ini agar pemerintah tak buta arah, merasa seluruh persoalan sudah terselesaikan atau menganggap pemerintahan baik-baik saja.

Sayangnya dalam praktiknya di Kota Makassar, pers yang secara aktif mengkirik, atau sekadar menampilkan kekurangan dalam satu pemerintahan justru ditolak keberadaannya.

Koordinator Bidang Advokasi, Sosialisasi, dan Edukasi Komisi Informasi Provinsi Sulsel, Fauziah Erwin, menekankan peran pers sangat penting dalam demokrasi.

“Itu untuk menciptakan kehidupan yang demokratis, bagi badan publik pers ini sebagai wahana untuk menyebarluaskan informasi, apa yang dikerjakan, pertanggungjawabannya,” terangnya.

Pemerintah, kata dia, tidak bisa berhadap-hadapan dengan pers, menjadikan pers sebagai momok menakutkan, sehingga pemerintahnya tidak mau berbicara dengan pers hingga tidak mau dikonformasi.

Telah runut diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pun dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, mengenai hak dari pers itu telah diatur.

Selain itu dalam regulasi itu juga telah diatur mengenai hak jawab dan hak koreksi dari semua pihak.

“Makanya ini kemudian mengherankan kalau saat ini masih ada pejabat pemerintah yang alergi (dikirtik) pemerintah butuh pers, siapa kemudian diharapkan menyebar luaskan pertanggungjawaban pemerintah, apakah cukup dengan lewat website dan sosmed pemerintah?,” jelasnya.

Dia melanjutkan tidak boleh juga ada diskriminasi terhadap satu lembaga pers tertentu. Utamanya media yang legal atau secara hukum sah tercatat di Dewan Pers.

“Kalau memang itu betul dari pemerintah bersangkutan, saya pikir itu salah kalau ada diskriminasi,” jelasnya.

Makanya, kata dia, ini perlu dipertanyakan. Saat ini posisi pemerintah ibarat berada di Akuarium sehingga semua informasi itu seharusnya bisa terbuka.

Tidak mudah untuk menutup informasi saat ini di tengah hadirnya UU Keterbukaan Informasi Publik.

“Ada proses panjang yang ketat dan terbatas dengan berbagai pertimbangan regulasi sehingga sebuah informasi atau dokumen publik menjadi informasi yang tidak bisa dibuka,” ujarnya.

Sikap seperti ini dianggap bisa menjadi pola berbahaya jika dibiarkan, sehingga pemerintah dianggap perlu menyadari kekurangan ini.

Salah satu bentuk keterbukaan itu kata dia semestinya dengan mudahnya para pers memperoleh informasi, dan tidak ditutup-tutupi.

“Nah salah satu keterbukaan itu misalnya pejabat jangan susah dihubungi,” tandasnya.

Kecaman Dewan

Anggota DPRD Makassar Syamsuddin Raga menyebut sikap Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto yang menutup pintu bagi wartawan adalah bentuk mematikan demokrasi. Pemerintah seharusnya tidak boleh bawa perasaan (baper).

Ketika ada media kritis, maka itu harus diterima sebagai masukan. “Apalah gunanya media kalau tidak bisa meliput sesuatu berita. Tanpa adanya berita, maka tidak ada konsumsi masyarakat untuk mengetahui persoalan di Kota Makassar. Baik di pemerintah, maupun eksternal,” katanya.

Akan tetapi, kalau media diblok dan hanya mau berita baik, maka itu namanya mematikan demokrasi. “Media ini bukan untuk menelan korban, tetapi media kritik itu wajib hukumnya bagi pemerintah,” tegasnya.

Politisi Perindo ini mengatakan kalau kebijakan itu dianggap tidak benar, maka media wajar mengkritik. Sebagai pemerintah, harus merespons dengan cara membenahi dan memperbaiki.

Termasuk soal pemberitaan Batalyon 120. Menurutnya, Pemkot tidak boleh baper hanya karena sorotan pers. Sebab, baginya, kehadiran Batalyon 120 ini memang salah.

Pada tujuannya, kata dia, pembentukan Batalyon 120 ini baik. Namun, kalau di perjalanan tidak seperti yang diharapkan, maka yang rusak sendiri adalah Wali Kota Makassar sebagai inisiator.

“Jadi biar kalangan masyarakat hingga kalangan akademisi itu memang tidak membenarkan adanya Batalyon 120 ini,” katanya.

Sebab pembentukan seperti ini harus berbadan hukum dan pertanyaannya apakah badan hukum itu ada? Kalau tidak ada, kan, melanggar. Kedua, selelah ada badan hukum terbentuk, juga bagaimana pengawasannya.

“Jadi tidak mudah membalikkan telapak tangan. Memang niatnya Pak Wali bagus, tapi perjalanan B 120 ini secara fakta bahwa keinginan dari Pak Wali itu tidak semudah yang diharapkan karena ada beberapa yang didapati di Jalan Nusantara itu 14 orang itu salah satu anggota B120 bawa busur dan badik,” bebernya.

“Jadi tidak boleh baper. Pemerintah kota itu dengan adanya berita seperti ini secepatnya perbaiki sistem. Artinya, boleh tersinggung, tapi itu diterima dengan lapang dada. Apa yang menjadi kekurangan itu segera diperbaiki. Karena orang bijak itu tidak seperti itu,” sambungnya.

Jawaban Humas

Meski banyak menuai keluhan dari para kuli tinta, Kepala Subbagian Pengaturan Acara Bagian Protokol, Kesekretariatan Daerah Pemkot Makassar, Isnainah Nurdin menekankan tak pernah ada instruksi Wali Kota Makassar ke OPD untuk tidak berkomentar atau pun mendiskreditkan media tertentu.

“Instruksi Wali Kota, itu tidak ada, tidak ada instruksi wali kota seperti itu. Yang seperti itu, kan, urusan teknis, SKPD teknis. Untuk apa wali kota punya kepala dinas SKPD kalau urusan seperti itu, harus wali kota lagi yang harus turun tangan,” terang Isnainah, Minggu, 18 September.

Dia menjelaskan, penyataan Wali Kota Makassar yang enggan menjawab pertanyaan tersebut, bukan karena enggan berkomentar.

“Mungkin karena timing-nya saja yang tidak pas. Barangkali pada saat itu, Pak Wali sedang ditunggu juga dengan kegiatan lainnya. Sudah lama mungkin dia buru-buru mau bergeser, Pak Wali itu sangat terbuka ke media,” jelasnya.

Bahkan, kata dia, wali kota sendiri yang bertanya hal apa yang akan ditanyakan wartawan. “Dia selalu kasi ingat ke saya, ingat mediamu, ingat wartawanmu,” lanjutnya.

Ditolak Wawancara

Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto belakangan ini mulai menutup diri pada media yang selalu menelaah kritis kebijakannya. Juga terkhusus pada wartawan yang dianggap terlalu kritis.

Jumat, 16 September, misalnya. Seorang wartawan FAJAR mendatangi kediaman pribadi pria yang akrab disapa Danny itu di Jl Amirullah. Pukul 09.00 Wita, empat jam sebelum ia berhasil temui Danny, sebab hari itu sangat ramai tamu berkunjung di sana.

Seperti biasa, setiap tamu akan terlebih dahulu menemui protokol untuk menyampaikan maksud dan tujuan bertamu. Itu adalah Jumat kesekian, wartawan FAJAR hendak wawancara, namun baru kali ini ditolak secara terang-terangan.

Kala itu, selepas salat Jumat di masjid sekitar rumah Danny, ketika hendak dikonfirmasi FAJAR mengenai potensi Silpa Pemkot, ia menolak. Ia cenderung mengarahkan wartawan tersebut ke DPRD saja.

“Saya tidak mau komentar kalau FAJAR sekarang,” ujar Danny.

Ia menuding pernyataannya selalu dipelesetkan, namun dalam kejadian itu ia tidak menyampaikan bagian berita spesifik yang dimaksud.

“Kasih tahu sama teman-teman di redaksi, susah mau komentar karena dipelintir semua,” imbuh Danny. Lagi-lagi, dia tak menyebut berita yang dimaksud.

Di hadapan banyak petugas keamanan dan para petugas protokol, Danny mengaku saat ini memilah pada media mana ia akan berucap. Meskipun, ia juga mengakui dirinya terbuka pada pers.

“Saya ini orang terbuka untuk pers, tapi untuk FAJAR tidak-mi,” cetus Danny.

Ia menuding media (FAJAR) memutus hubungan persahabatan dengannya. Melalui, pemberitaan-pemberitaan kritis yang menurutnya tidak sesuai.

“Biar komentar saya tidak mau. Komentar pasti dipelintir. Sampaikan mamiko sama teman-teman di sana. Saya ini orang selalu terbuka, baik sama orang, tapi kalau begini caranya ndak mi,” beber DP.

Tutup Mulut

Kesan “menutup diri” dari jajaran pemerintah kota (pemkot) dalam hal ini Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto kepada media turut merambat pada bawahannya.

Terkesan satu suara, penolakan berbicara juga dilakukan pada Satuan Kerja Pengkat daerah (SKPD).

Sewaktu ingin mewawancarai salah seorang Kepala Dinas (Kadis) SKPD usai acara yang dilaksanakan pada Senin, 12 September, wartawan FAJAR sempat mengalami penolakan.

Waktu itu, wartawan ingin menanyakan beberapa hal yang tidak jauh menyangkut tema kegiatan yang dilaksanakan. Sayangnya, pada percobaan pertama saat sang wartawan mendatangi narasumber seorang diri, narasumber langsung menutup kesempatan.

“Ah, dari FAJAR, saya tidak mau lagi bicara. Sudah diperintahkan,” singkatnya sembari jalan menjauh. Belum sempat rekaman suara dilakukan, narasumber langsung masuk ke dalam ruang istirahat untuk VIP.

Wartawan langsung kembali kepada beberapa rekan media yang turut hadir di lokasi dan menceritakan kejadian yang dialami.

Setelah menyelesaikan makan, salah satu rekan media memanggil Kadis tersebut guna melakukan wawancara, wartawan pun berhasil melontarkan pertanyannya pada kesempatan kedua bersama rekan media yang lain.

Tak berhenti di situ, usai wawancara, sang Kadis sempat berbicara lepas dengan rekan-rekan media, termasuk wartawan FAJAR.

Ia pun sempat menyindir kekecewaannya terhadap pemberitaan-pemberitaan FAJAR. Ia menyayangkan jenis pemberitaan yang diterbitkan.

“Lima tahun kita anak-emaskan (FAJAR), masa sekarang begini karena hal kecil, harusnya ke kantor bicara baik-baik,” ucapnya turut disaksikan rekan media lainnya. (an-ams-bus-mum-fni-uca)

News Feed