Jika biogas benar-benar dimanfaatkan secara optimal, ketergantungan pada bahan bakar fosil akan berkurang. YHK memulai program CSR-nya dari Maros.
Muhammad Takdir
Maros
AROMA khas kotoran sapi tercium saat memasuki pekarangan rumah Haeruddin (40) di Desa Simbang, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros.
Kandang sapi tepat di belakang rumah Haeruddin. Meski jaraknya dekat dari rumah, aromanya tak terlalu menyengat. Tak seperti kandang pada umumnya. Rumah Haeruddin sangat terjaga kebersihannya, pekarangan rumahnya terawat.
Meski ternak sapi dekat dari rumah Haeruddin, kotorannya tak pernah dibiarkan berlama-lama tinnggal di kandang. Haeruddin langsung memindahkan kotoran sapi ke dalam bak pengaduk. Proses ini disebut slurry biogas. Yaitu mencampurkan kotoran sapi dengan air agar menjadi bubur.
Proses pengadukan tak lama. Hanya 10 menit saja. Setelah itu, kotoran sapi yang menjadi bubur dialirkan ke bak penampung yang disebut digester (pencerna). Bak digester ini berfungsi sebagai reaktor penampung. Ini akan menghasilkan gas metana dari kotoran sapi yang diendapkan.
“Setelah jadi gas, ini langsung dialirkan ke kompor,” katanya.
Dari bak digester, pipa terhubung ke dapur rumah Haeruddin. Proses penyalurannya sama dengan air, saat kompor tidak digunakan, saluran gas bisa dimatikan. Pipa sudah dipasangi kran.
Haeruddin bersyukur, rumahnya bisa dialiri energi biogas. Dia bersama keluarga bisa menghemat pengeluaran rumah tangga. Sebelum ada biogas, keluarga Haeruddin mengeluarkan Rp60 ribu hingga Rp100 ribu per bulan untuk beli gas.