Oleh Sri Rahmi, Anggota DPRD Sulsel
Belum lepas dari trauma pandemi yang meluluhlantakkan sektor ekonomi kita, yang menambah daftar panjang jumlah pengangguran kita, juga meningkatkan prosentase jumlah masyarakat yang berada di level garis kemiskinan.
Dua tahun kita dalam tekanan pandemi, yang membuat banyak buruh kehilangan pekerjaan, toko-toko kehilangan pengunjung, warung kaki lima hingga restoran bintang lima pun tutup, dan deretan kisah pilu masyarakat kita yang sepertinya tidak pernah habis untuk kita tuliskan, kecemasan massif dan ketidakpastian kondisi ekonomi. Kemudian masyarakat dikagetkan dengan kelangkaan minyak goreng yang berdampak pada kenaikan harganya di pasar, gas elpiji yang dalam setahun naik dua kali, kawan-kawan buruh diperlakukan tidak adil dalam UU Omnibuslaw, demikian bertubi-tubi deraan pemerintah kepada rakyat kecil.
Dua tahun pandemi kita “mengurung diri” dari ragam aktivitas, baru tahun ini kita mulai kembali belajar “bersosialisasi”, berkumpul dan beraktivitas, berangsur normal. Pun peringatan hari kemerdekaan kita, baru di tahun ini kembali meriah bersama, kembali panjat pinang, kembali upacara dan gerak jalan, kembali bergembira dengan hamparan hadiah-hadiah 17-an, dengan tema sangat emosional, empati dan membangun rasa optimis kita : Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat.
Tapi, rasa optimis itu tiba-tiba luluh lantak dengan pemberitaan di seluruh media, mendadak pemerintah mengumumkan kenaikan BBM, melalui Menteri ESDM Arifin Tasrif.
“Tanggal 3 September 2022, pukul 13.30 WIB pemerintah memutuskan untuk menyesuaikan harga BBM subsidi,” kata Arifin. Pertalite dari Rp7,650/lt menjadi Rp10,000/ltr kemudian, solar subsidi dari Rp5.150/ltr menjadi Rp6.800/ltr, pertamax non subsidi dari Rp12.500/ltr menjadi Rp14.500/ltr.
“Ini berlaku 1 jam sejak saat diumumkannya penyesuain harga dan akan berlaku pada 14.30 WIB,” ungkap Arifin.yang dikutip dari Sindonews.com (3 September 2022)
Kronologis
Penulis menelusuri informasi tentang isu tersebut melalui berita-berita di media dan informasi langsung dari anggota komisi VII DPR RI yang membidangi ESDM. Dari penelusuran tersebut, penulis mendapatkan informasi bahwa ketika gelar rapat kerja dengan kementrian ESDM, dan Pertamina, mereka selalu menyampaikan keluhan terhadap beratnya subsisdi BBM di APBN ke komisi VII. Demikian juga Presiden Jokowi, menyampaikan keluhan yang sama pada pidato-pidatonya, sehingga muncullah isu usulan kenaikan BBM bersubsidi yang ditolak oleh Fraksi PKS DPR RI.
Peneliti dari Political Economic and Policy Study (PEPS) Anthony Budiawan yang penulis kutip dari media Seputartangsel.com, menyebutkan bahwa Presiden Jokowi berbohong mengenai angka fantastik subsidi untuk BBM yang mencapai Rp502 Triliun. Lebih lanjut, menurut Anthony Budiawan meyampaikan bahwa subsidi yang diberikan untuk BBM hanya dikisaran Rp11 Triliun saja.
Anggota Komisi VII DPR RI menginformasikan bahwa angka Rp502 Triliun itu adalah anggaran subsidi untuk Energi secara keseluruhan, termasuk listrik dan LPG. Angka Rp502 Triliun itupun sudah termasuk angka pembayaran utang pemerintah kepada Pertamina atas biaya kompensasi BBM.
Solusi
F raksi PKS adalah fraksi yang paling vokal menyuarakan penolakan atas isu kenaikan BBM bersubsidi, solar, dan premium. Penolakan itu tentu saja bukan tanpa argumen, bahwa beban APBN berat bukan berarti rakyat yang harus menanggungnya. Pemerintah harus cerdas dan cermat mengambil sikap dalam menghadapi situasi ekonomi saat ini.
Presiden dan menterinya berkeluh kesah atas besarnya pengeluaran pemerintah saat ini, dan memilih subsidi BBM sebagai nomenklatur yang harus dikoreksi nilainya untuk mengurangi beban APBN. Padahal jika Pemerintah serius ingin menyehatkan neraca keuangan negara, banyak cara yang bisa dilakukan tanpa harus menjadikan masyarakat sebagai korban kebijakan.
Harga BBM tidak harus dinaikkan tapi pemerintah yang justru harus melakukan pembatasan pengguna solar dan premium, karena banyak sekali terjadi kebocoran BBM bersubsidi di lapangan. Bukan lagi rahasia, berbagai modus ‘pencurian’ subsidi oleh pihak yang tidak berhak. Truk yang mondar-mandir beli BBM bersubsidi bukan untuk kebutuhan bahan bakar kendaraannya tapi untuk dijual ke industri-industri, atau BBM bersubsidi yang dijual keluar negeri dengan berbagai modus, yang semuanya menunjukkan kelemahan Pemeritah dalam mengontrol penggunaan BBM bersubsidi, sehingga tidak tepat sasaran. Untuk itu yang diperlukan adalah intrumen kebijakan berupa Perubahan Perpres Nomor 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, agar lebih tegas tentang kendaraan jenis apa saja yang boleh mengkonsumsi BBM bersubsidi, termasuk konsep pengawasannya yang diperketat.
Ketika Presiden dan menteri-menterinya menyadari bahwa pendapatan nasional kita tidak bertambah sementara kebutuhan pengeluaran semakin besar, maka yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan skoring prioritas program. Mana yang paling penting sekaligus paling mendesak, mana yang penting tapi tidak mendesak, mana yang mendesak tapi tidak penting, dan mana yang tidak penting dan tidak juga mendesak. Toolsnya sudah ada, tinggal keseriusan pemerintah untuk mengambil sebuah kebijakan yang berpihak pada rakyat. Masih banyak pos-pos anggaran yang bisa dilakukan efesiensi, misalnya, memperketat pengawasan penggunaan anggaran untuk mengurangi jumlah kebocoran anggaran, menunda proyek-proyek besar yang tidak berdampak langsung pada masyarakat umum, misalnya proyek IKN dengan anggaran Rp502,4 T dan juga proyek Kereta Cepat Bandung-Jakarta dengan anggaran Rp114,24 T. Pemerintah harus memprioritaskan pemulihan ekonomi nasional jika ingin segera bangkit dari keterpurukan pasca pandemi.
Sebenarnya, cukup sederhana langkah yang harus diambil oleh pemerintah jika memang berniat mengayomi rakyatnya.
BLT yang digemborkan presiden itu bukan solusi permanen, itu hanya pil penenang. Tidakkah pemerintah berpikir bahwa dengan mencabut subsidi BBM maka akan terjadi efek domino yang berdampak pada semua sektor, harga pokok produksi pasti naik, otomatis semua harga-harga akan naik. Semua sektor terdampak, baik langsung maupun tidak langsung. Dengan memberi Bantuan Langsung Tunai atau Bantuan Pangan Non Tunai yang nilainya sebesar Rp100-150 ribu per bulan per keluarga, itu terlalu jauh untuk bisa dikatakan sebagai konversi dari dampak kenaikan BBM. Sementara ibu kota negara tidak mendesak untuk dipindah sebagaimana juga kereta cepat Bandung-Jakarta pun tak berdampak luas bila ditunda. (*)