Oleh: Aswar Hasan, Dosen Fisip Unhas
Tulisan saya berjudul: “Kereta Api Makassar Antara “Idealita” VS “Realita” (Fajar,29/8-2022). Ditanggapi dengan sangat kritis konstruktif oleh kolega saya di Fisip Unhas dengan tulisan berjudul: “Kereta Api dan Siri’nya Masyarakat Sulsel”.
Pada intinya tulisan Dr. Iqbal Latif tersebut merupakan warning bagi semua pihak, agar jangan sampai Kereta Api di Makassar yang merupakan penerusan proyek Kereta Api yang di Barru dan Pare-Pare gagal, karena penolakan Walikota Makassar jika jalurnya diteruskan dengan sistem atgrade dan bukan elevated (melayang), yang oleh Pemkot Makassar sudah dari awal telah mendesainnya, bahkan telah disinergikan dengan Perda.
Di awal tulisan opini Dr. Iqbal Latif, mengutip pandangan Mengkomarinvest Luhut B Panjaitan dengan menyatakan, bahwa pembangunan Kereta Api (KA) Sulsel sebagai cikal bakal KA Sulawesi sudah tidak ada masalah.
Namun, kutipan pendapat Mengkomarinvest tersebut, belum lengkap karena Beliau pun menyatakan, sewaktu menghadiri penanaman mangrove di Kab. Maros, bahwa terkait polemik desain rel KA Makasar antara dibuat elevated (melayang) atau at grade (di darat), memang persoalannya ada pada masalah tanah selalu, jika dibangun secara at grade. Kedua, persoalannya akan terkait traffic atau lalu lintas kendaraan.
Kekhawatiran Mengko LBP tersebut, terkaid masalah yang timbul jika Desain Rel at grade, sejalan dengan pandangan Ahli dari Unhas Prof. Sakti Adji Adisasmita, sebagaimana yang menjadi salah satu reasoning opini saya yang kemudian juga diulas oleh Dr. Iqbal Latif dengan tidak mengesampingkan urgensinya sebagai Rel KA yg ideal untuk Kota Makassar ke depan.
Mengkomarinvest pun menegaskan, dengan menyatakan; “Saya kira tidak ada yang perlu dipertentangkan,” Saya nanti akan lihat studinya, mana yang lebih menguntungkan,” jelasnya.” Jadi nanti saya lihat hasil kajiannya. Kita akan selalu belajar dari membuat keputusan basisnya adalah hasil studi,” tukasnya.
Jadi, sesungguhnya Menko Marinvest Luhut B Panjaitan, masih membuka peluang Rel KA yang masuk ke Makassar secara elevated atau melayang.
Jadi, krusial poinnya adalah
apakah rel KA yang ke Makassar nantinya elevated atau at grade. Bukan pada diksi menolak KA masuk ke Makassar. Betapa tidak, karena jauh sebelum KA diproyekkan oleh Pemerintah Pusat untuk Makassar, Walikota Makassar Muh Ramdhan Pomanto sudah Merencakannya dengan desain elevated yang bersinergi (berkesesuaian) dengan Perda. Rancangan Rel KA di Makassar tersebut, di desain ramah lingkungan dan merupakan visioner yang futuristik sebagaimana trend Rel KA di kota2 moderen. Medan dan Palembang sudah mencontohkannya.
Dengan demikian yang dibutuhkan terkait pilihan yang tepat untuk Rel KA di Makassar ke depan, adalah kajian riset yang obyektif bersifat faktual terkait kelayakan teknis yang ramah lingkungan dan bersifat futuristik.
Bahwa yang menjadi kekhawatiran jikalau itu elevated bisa membengkak biayanya, itu tentu bisa cari solusinya. Misalnya, dengan pembiayaan yang bersifat multi years atau antara Pemprov dan Pemkot bisa mengambil porsi sharing anggaran. Kata pepatah, lebih baik kalah membeli, tetapi menang dalam memakai, dari pada menang membeli, tetapi rugi dan menderita dalam memakai. Terlebih jika penderitaan itu kelak ditanggung oleh rakyat di masa depan. Jangan sampai kita meninggalkan legacy yang bermasalah di kemudian hari. Dan itulah gunanya para cendekiawan dan para pemimpin untuk mencegahnya.
Benar, sebagaimana ditulis oleh Dr. Iqbal, bahwa kehadiran KA di Makassar adalah Siri’nya (Harga Diri) orang Sulsel. Saya sepakat bahwa kehadiran KA di Sulsel adalah Siri’ (Harga Diri) kita Bersama. KA di Makassar harus terwujud, agar masyarakat Sulsel tidak lagi menyanyikan lagu “Naik Kereta Api” tapi tak pernah melihat Kereta Api bersileweran dari Makassar ke Parepare, sebagaimana kekhawatiran Dr. Iqbal.
Kereta Api itu sudah mendesak tapi jangan abaikan ide dan sikap pandangan desain elevated sebagaimana yang telah disuarakan oleh Walikota Muh. Ramdhan (Dani) Pomanto yang visioner itu.
Menghadirkan Kereta Api di Makassar adalah Siri’ kita bersama. Tetapi, jangan sampai kehadirannya ( karena mengabaikan sistem elevated) justru menyebabkan kita di “Pakkasiri” oleh generasi mendatang karena menanggung dampak masalah KA yang Relnya at grade.
Direktur eksekutif WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Muhammad Al Amin telah mengingatkan kita semua bahwa konsep at grade Kereta Api Makassar -Parepare bisa menciptakan malapetaka bagi warga (Update Sulsel News, 29/8-2022). Bahkan dengan tegas menyatakan, menolak pembangunan rel kereta api Makassar-Maros.
Menurut Al Amin ini, pembangunan rel kereta api di Makassar tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) berpotensi menimbulkan permasalahan yang meliputi dua aspek. Keduanya terbilang sangat sensitif, yakni terkait aspek lingkungan dan aspek sosial yang berpotensi memicu konflik sosial di tengah masyarakat” Walhi dalam situasi ini menolak pembangunan rel kereta api di Makassar akan menjadi malapetaka bagi warga nantinya. Karenanya, harus dipertimbangkan matang-matang persoalan lingkungan dan dampak sosial nantinya,” jelas Al Amin (Kompas.com, 30/8-2022).
Peringatan itu, tidak salah jika kita semua mempertimbangkannya. Karena penyesalan itu memang selalu datang di kemudian hari. Dan, tentu kita semua tidak mau menjadi sosok yang dipersalahkan, lalu tak ada lagi yang bisa membela kita. Karena saksi hidup telah pada berpulang. Wallahu A’lam Bishawwabe.