OLEH: Muh. Iqbal Latief, Dosen Sosiologi Fisip Unhas
Dialog tentang pembangunan Kereta Api (KA) di Sulsel yang sekarang mau ditembuskan ke Makassar, ranahnya pada kebijakan dan kepekaan seorang pemimpin. Walaupun semua pakar transportasi sudah menyatakan bahwa yang efektif untuk KA antar wilayah adalah at grade (landau), tapi uniknya Wali Kota Makassar masih kekeh dengan sistem elevated (melayang). Sehingga terkesan “menghalang-halangi” program nasional yang ditempatkan di Sulsel. Apa motivasinya ? Tentu, sebagai ilmuan sosial – saya dan sahabat Aswar Hasan sangat tidak paham dengan teknis perkeretaapian. Tetapi saya sangat percaya dengan pemaparan Dekan Teknik Unhas Prof. Dr. Ir. Isran Ramli ketika berlangsung FGD Departemen Sosiologi Fisip Unhas beberapa waktu lalu, bahwa sistem yang efektif untuk antar wilayah adalah at grade dan elevated untuk didalam wilayah (Kota).
Namun dalam perspektif ilmu sosial, harus diposisikan bahwa kehadiran KA di Sulsel adalah bentuk nyata perubahan sosial yang mengarah pada kemajuan untuk masyarakat Sulsel (termasuk masyarakat Makassar). Jika ditimbang manfaat dan mudharatnya, maka semua orang sepakat lebih banyak manfaatnya dibanding mudharatnya. Hal ini tidak terbantahkan, dengan melihat fakta perkeretapian baik nasional maupun global, yang sangat membantu proses mobilisasi manusia, barang dan jasa. Bukan cuma itu, komunikasi dan hubungan interpersonal juga makin intens dengan adanya KA. Wilayah yang tadinya ditempuh 3 jam seperti Parepare, dengan menggunakan KA hanya ditempuh lebih kurang 1 jam saja. Dan masih banyak manfaat lainnya untuk kemaslahatan masyarakat.
Dari sisi teknis, yang membuat rancang bangun KA di Sulsel, saya yakini bukanlah kelas abal-abal atau kaleng-kelang alias tidak bermutu. Karena risikonya besar, dana yang telah digelontorkan Pemerintah sudah mencapai Rp 6 triliun dan kalau sudah tembus sampai Makassar dan Pare-Pare estimasi dana yang akan diserap mencapai lebih kurang Rp 8 triliun lebih. Dana ini hampir sebesar dana APBD Sulsel setiap tahunnya. Jadi sangat naif, kalau dana yang besar itu hanya dibuat bancakan (bagi-bagi proyek). Apalagi kerinduan akan hadirnya KA di Sulsel, sudah lama bersemayam di kalbu masyarakat.
Namun tentu saya dan sahabat Aswar sebagai ilmuan sosial, sangat paham bahwa setiap perubahan sosial yang mengarah pada kemajuan, selalu saja ada residu sosial yang muncul baik dari sisi masyarakat, pemerintah setempat maupun pengusaha. Tugas Pemerintahlah (Pemprov, Pemkot dan Pemkab) bersama elemen masyarakat (termasuk perguruan tinggi) yang berupaya untuk merumuskan kebijakan mitigasi terhadap residu sosial yang muncul tersebut. Hal ini sudah menjadi realitas yang tidak terbantahkan, bahwa hampir semua proyek-proyek besar yang membuat perubahan sosial di masyarakat, selalu dibarengi dengan ekses-ekses sosial. Tapi, apakah hanya karena ada ekses sosial – pembangunan KA Sulsel harus ditolak ? Sampai kapan kita mau jadi terkebelakang terus hanya karena takut ada ekses-ekses yang muncul ? Atau jangan-jangan ada pihak yang sudah merasa nyaman selama ini dan kemudian terusik menyamanannya karena kehadiran KA di Makassar?
Karena itu, tulisan sahabat Aswar Hasan di Fajar (online, 31/8) yang setuju dengan pandangan bahwa KA Siri’nya Masyarakat Sulsel perlu diberi jempol. Walaupun Aswar juga memberi warning jangan sampai Mappakasiri (mempermalukan). Tapi harus diingat, semangat juang untuk menghadirkan KA di Sulsel sebagai cikap bakal KA di Sulawesi yang mulai dirintis tahun 2001 dan mulai dibangun tahun 2015, harus dihargai sebagai semangat memajukan peradaban masyarakat Sulsel. Apalagi Wali Kota Makassar, sudah mentahbiskan Makassar kota dunia. Jadi kehadiran KA di Makassar, sebenarnya justru memperkuat brand sebagai kota dunia dan tidak mungkin mappakasiri. Kita justru khawatir dan menyesal, kalau generasi yang akan datang memaki-maki pemimpin yang sekarang ini lagi berkuasa (Gubernur, Wali Kota, Bupati) – hanya karena tidak mampu menghadirkan KA di Sulsel – yang sudah lama dirindukan. Semoga tidak !!!!