English English Indonesian Indonesian
oleh

Korban Perkosaan Bisa Gunakan Jalan Kontrasepsi Darurat

FAJAR, YOGYAKARTA-Informasi terkait aborsi bagi korban ruda paksa berhak menerima aborsi masih menjadi perdebatan panjang. Meskipun PP 61/2014 telah membenarkan hal demikian.

Sebagaimana didiskusikan dalam Pre Conference International Confrence on Family Planning and Reproductive Health (ICIFPRH) yang diadakan di Hotel Sahid Raya pada 19-22 Agustus.

“PP 61/2017 pasal 31 ayat 1 dan 2 bahwa kehamilan akibat perkosaan bisa dilakukan paling lambat berusia 40 hari. Dia hamil bukan karena sesuatu yang dia inginkan, belum lagi harus mengandung 9 bulan. Lalu bagaimana dengan mengurusnya, kasian dianya dan calon anaknya kelak,” jelas Manager Program IPAS Indonesia, Nur Jannah.

Lebih lanjut dirinya memaparkan bahwa hanya saja faktanya kebanyakan korban yang hamil akibat pemerkosaan justru dinikahkan dengan pemerkosa sebagai jalan keluar. Dirinya menyayangkan karena kurangnya informasi terkait pendampingan kepada korban perkosaan dalam melakukan aborsi aman, bahkan pendampingan dari pencegahan bisa dibantu.

“Jadi korban perkosaan bisa menggunakan jalan kontrasepsi darurat, yakni meminum pil. 72 jam korban berhak memperoleh pencegahan kehamilan dengan meminum kontrasepsi darurat. Seperti postinor. Itu bukan obat aborsi, tapi adalah kontrasepsi darurat. Ini harus disampaikan dan korban tahu,”

Meskipun begitu dirinya menggarisbahwahi, bahwa jangan sampai informasi seperti itu disalahgunakan. Hal itu karena tidak boleh sering minum postinor, karena akan berdampak pada kesehatan reprodusi.

Informasi terkait aborsi aman bagi korban ruda paksa juga terus digalakkan oleh Conde.co. Nurul Nur Azizah mengatakan bahwa isu mengenai hak aborsi aman bagi korban perkosaan masih minim. Aborsi masih dianggap kriminalitas, padahal aborsi korban perkosaan berbeda dengan aborsi umum

“Layanan aborsi hanya dibenarkan jika emergency dari ibu, gangguan tumbuh janin ibu dan tentunya untuk korban perkosaan. dia diberi pilihan menghentikan kehamilannya,” Ketua Yayasan IPAS Indonesia, Sonya Hellen.

Dirinya melanjutkan bahwa biasanya korban perkosaan mengakses aborsi tidak aman. Padahal negara memiliki layanan kesehatan, untuk mereka yang datang akibat perkosaan dan juga komplikasi akibat layanan tidak aman. Bahkan tidak hanya layanan fisik tapi mental juga.

“Korban perkosaan berhak memperoleh aborsi. Kita tahu ternyata aborsi sangat terstigma di masyarakat, terutama pemberi layanan. Beberapa layanan memberi stigma, dari kepolisian, kesehatan dan lain-lain. Pola pikir tersebut menganggu,” ujarnya. (mia/ham)

News Feed