English English Indonesian Indonesian
oleh

Syukur dan Kufur

Ayat ketujuh surat Ibrahim dalam Al-Qur’an merupakan ayat yang sering disampaikan melalui khutbah dan mimbar dakwah Islam. Sebegitu seringnya didengar, banyak dari antara orang Muslim juga menghafal dan melafalkan ayat tersebut: “wa iz taazzana rabbukum lain syakartum laazidannakum wa lain kafartum inna azabi lasyadid”. Artinya: “Ingatlah tatkala Tuhan kalian menetapkan bahwa jika kalian bersyukur niscaya Aku tambahkan (nikmat) dan jika kalian kufur (ingkari nikmat) sungguh azab-Ku keras (menyakitkan)”.

Syukur dan kufur adalah dua sifat yang bisa melekat pada manusia. Yang dimaksud syukur dan kufur pada ayat ini ialah bersyukur atau berkufur terhadap nikmat yang Allah berikan. Rupanya, dari ayat ini, kita mendapat penjelasan bhw kafir juga berarti tidak bersyukur. Bukan hanya tidak beriman. Maka, jika teman saya menyebut saya sebagai kafir karena menilai saya tidak mensyukuri sesuatu nikmat, maka penilaian teman itu terhadap saya adalah benar.

Pada sisi lain, pasti berbeda antara rasa syukur dan rasa kufur. Pandai bersyukur melahirkan rasa lega dan senang terhadap sesuatu nikmat. Sebaliknya bersikap kufur-nikmat melahirkan keluh-kesah dan rasa kecewa. Rasa lega dan senang sangatlah beda dengan rasa keluh-kesah dan kecewa. Rasa lega dan senang merupakan suasana yang mendorong seseorang untuk bekerja lebih tekun dan sungguh. Efeknya: nikmat bertambah.

Sementara rasa keluh dan kecewa merupakan suasana yang tidak mendukung datang dan bertambahnya nikmat.
Kalau dibawa kepada kehidupan berbangsa, bangsa yang bersyukur akan ditambahkan nikmat Allah kepada bangsa itu. Jika bersikap kufur, maka bangsa itu sedang menghadapi masalah.

Misalnya, tentang perbuatan korupsi yang dibongkar dan diadili. Ada warga yang bersyukur pelaku korupsi diadili dan dihukum. Ada juga warga yang kufur, karena mengeluh dan kecewa ada menyaksikan korupsi yang banyak, meskipun sudah diadili dan dihukum. Contoh lainnya, ada warga yang bersyukur karena pelaku perbuatan asusila ditangkap, diadili dan dihukum. Ada juga berkeluh kesah dan kecewa betapa perbuatan asusila itu terjadi di masyarakat bangsa kita.

Terbongkarnya suatu kejahatan disyukuri bagi mereka yang pandai bersyukur. Sedang bagi yang tidak pandai bersyukur (kufur), terbongkarnya suatu kejahatan masih dikomentari dengan keluh-kesah dan rasa kecewa. Jangan baru melihat nikmat Allah ketika berbentuk dagangan dapat untung besar. Lalu, dagangan tidak merugi (tidak ada untung), atau pulang pokok, dianggap bukan nikmat Allah.

Di dalam sejarah sufi, dikenal sufi-sufi yang senantiasa mengucapkan lafaz syukur (“alhamdulillah”) meskipun kondisi yang dialaminya merupakan kesusahan atau derita bagi banyak orang lain.

Bersyukur dan berkufur adalah mindset, pola pikir, atau cara pandang. Maka, seharusnya kita bisa belajar untuk bisa merasakan nikmat Allah sekecil dan sehalus apapun nikmat itu. Sebagai bangsa yang beragama dan berbudaya luhur, bersyukurlah yang relevan dan berkoneksi dengan agama dan keluhuran. Bukan berkufur. (*/)

News Feed