Pascaproklamasi, Sulsel tak stabil. Pergolakan dan perjuangan pemuda mendapat refresi dari Belanda dan sekutunya.
BUSRAH HISAM ARDANS
Makassar
Mereka gugur satu per satu di medan perang. Saat itulah muncul peristiwa “Korban 40.000 Jiwa”. Namun, gema kemerdekaan terus meluas ke penjuru Sulsel.
Pada zaman itu, suasana masih mencekam. Di mana-mana diliputi ketakutan akan penjajah. Tercatat dalam sejarah perjuangan, tiga tokoh nasionalis ikut menggerakkan kemerdekaan di Sulawesi. Mulai Dr Sam Ratulangi, Andi Pangerang Petta Rani, hingga Andi Sultan Daeng Radja.
Ketiganya turut hadir dalam pembacaan teks proklamasi 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno di Jakarta. Sekembali dari Jakarta itulah, pekik kemerdekaan membahana di Makassar. Belanda pun makin agresif setelah Jepang takluk.
Andi Pamadengrukka Mappanyompa, menantu Andi Abdullah Bau Massepe, salah satu pahlawan nasional dari Sulsel, mengisahkan situasi Makassar pascaproklamasi.
“Yang saya alami waktu kecil, itu sangat sulit akses ke mana-mana karena penjajah masih ada. Apalagi, ditambah perlawanan dari para pejuang (kelaskaran),” kenang Pamadengrukka saat berbincang dengan FAJAR usai kegiatan Silaturahmi dengan keluarga pahlawan nasional, keluarga perintis kemerdekaan, veteran, wredatama, dan LKSA di Rujab Gubernur Sulsel, Selasa, 16 Agustus 2022.
“Itu terjepit kondisinya. Jadi bisa dibayangkan kita ini anak sekolah ini susah sekali ke mana-mana, bermain juga susah. Bahkan ada sandera-sanderaan. Kondisi itu membuat kita takut,” kisahnya, lagi.
Pamadengrukka menikah dengan Dala We Toeng atau Andi Fatimah Bau Massepe (Datu Toeng) pada 1977, putri Andi Abdullah Bau Massepe yang juga seorang bangsawan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone.
Ia mengaku banyak mendengar kisah perjuangan mertuanya, juga dari bapaknya sendiri yang mana pejuang kemerdekaan pula.
“Bapaknya saya (Andi Mappanyompa) juga pejuang, tetapi bukan sekaliber Bau Massepe. Tetapi, dia juga anggota laskar di Bone. Beruntung dia tidak berhasil ditangkap, cuma saudara yang ditangkap diasingkan ke Malino,” akunya.
Mantan Bupati Barru 1985-1995 ini, menjelaskan bapaknya sendiri
bergabung dalam Laskar Tellumpoccoe, berjuang pascaproklamasi (1946-49).
Pada umumnya, gerilyawan atau pun pejuang semua masuk tentara. Hanya orang tuanya tak berpikir ke sana. Pasalnya, beberapa tahun setelah merdeka, itu tak ada lagi perlawanan.
Sehingga sang ayah tak berpikir lagi untuk lanjut. Beberapa waktu setelah itu, saat kemunculan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang membuatnya sempat berpikir ulang menjadi pejuang.
“Coba saya tahu begini kejadiannya, saya lanjutkan jadi tentara. Tetapi, karena sebelumnya tidak ada lagi perjuangan, maka saya sudahi dan jadi petani saja,” kata dia menceritakan riwayat ayahnya.
Yang akhirnya, keadaan waktu itu pun makin kacau. Terlepas dari itu semua, ada banyak pesan-pesan bijak dari para tetua, pejuang dahulu. Termasuk, jangan pernah sakiti hati rakyat.
“Orang tua saya bilang jangan sakiti hatinya rakyat. Kalau besok lusa kau menjadi orang besar atau seperti apa, maka jangan sakiti rakyat. Tetapi laksanakan amar makruf nahi mungkar. Kalau kau tidak bisa membantu dan menolong orang, maka jangan kau mencelakakan orang,” ungkapnya.
Bukan hanya sang ayah, kakeknya juga termasuk ikut melawan Belanda. Dari situ, sebut dia, darah menjadi abdi negara terus mengalir.
“Dia (Andi Mappabenga Pattalewa) berada di situ (perjuangan) termasuk yang diasingkan ke Ambarawa. Dia salah seorang panglima perang di kerajaan Bone (1905),” sebutnya.
Alasan berjuang, sederhana. Karena tidak mau dijajah Belanda. “Idealisme cinta tanah air,” pungkasnya.
Ia berpesan agar generasi sekarang jangan melupakan sejarah. Harus menghargai jasa pahlawan.
“Kita yang hidup saat ini termasuk penikmat kemerdekaan hasil usaha orang terdahulu. Maka itu berdosa jika melupakan pahlawan kita. Apa yang dirintis-diamanahkan harus menjadi generasi pelanjut cita-cita mulia ini,” pesannya.
Tak jauh dari situ, Ketua DPD Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Sulsel Jacob Pakilaran juga sedikit berkisah. Jacob merupakan pejuang di Timor Timur.
“Di Timor Timur kita berperang. Sekitar dua tahun di sana, ke sana dua kali memperjuangkan. Kondisi di sana kita melawan musuh kalau dikepung maka sampai tiga hari tidak makan,” kisah Jacob.
“Kalau dikepung sama musuh, ya, kita bertahan tanpa makanan. Dan itu berhari-hari. Jadi kita cari makan seadanya saja. Kita cari ubi, dapat ubi mentah kita makan saja,” kenangnya, lagi.
Ia menegaskan generasi muda harus bisa mengerti bahwa kemerdekaan ini diperjuangkan. Mereka harus lebih mencintai negeri ini.
“Negara ini bisa berdiri karena diperjuangkan. Dan saat ini musuh utama kita ialah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Itu yang harus diperjuangkan lagi,” jelasnya. “Jangan jadi begal.” (bersambung)