Suatu hari seorang lelaki menemui Ibrahim bin Adham (718-782) dan memohon nasihat kepadanya agar bisa berhenti melakukan maksiat. Tokoh sufi dari Kota Balkh (Afghanistan) ini berkata ”Jika kamu mau menerima lima syarat dan mampu melaksanakannya, maka boleh saja kamu melakukan maksiat.”
Lelaki itu dengan penasaran bertanya. ”Apa saja syarat-syarat itu,”. Lalu beliau berkata, ”Pertama, jika kamu bermaksiat kepada Allah, jangan memakan rezekinya.”
Lelaki itu menjawab, ”Lalu aku mau makan dari mana? Bukankah semua yang ada di bumi ini rezeki Allah?. “Kedua, ”kalau mau bermaksiat, jangan tinggal di bumi-Nya!” .
Syarat ini membuat lelaki itu kaget. ”Wahai Abdullah, pikirkanlah, apakah kamu layak memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kamu melanggar segala larangan-Nya?”.
Ketiga, beliau melanjutkan, ”Kalau kamu masih mau bermaksiat, carilah tempat tersembunyi yang tidak dapat terlihat oleh-Nya!”. Lelaki itu menimpali, ”Wahai Ibrahim, Mana mungkin Allah tidak melihat kita?”
“Keempat, kalau malaikat maut datang hendak mencabut rohmu, katakanlah kepadanya, ‘Mundurkan kematianku dulu. Aku masih mau bertobat dan melakukan amal saleh’.”
Dengan mengeluh lelaki itu menjawab, “Mana mungkin malaikat maut akan memenuhi permohonanku?” ”Kalau kamu sudah meyakini bahwa kamu tidak bisa menunda dan mengundurkan datangnya kematianmu, lalu bagaimana engkau bisa lari dari murka Allah?.”
”Baiklah, apa syarat yang kelima?”. Ibrahim bin Adham menjawab, Jika malaikat Zabaniyah datang hendak menggiringmu ke api neraka di hari kiamat nanti, jangan engkau mau ikut bersamanya.” Dia tidak tahan lagi mendengar perkataan Ibrahim. Air matanya bercucuran.
Nasehat Ibrahim bin Adham mengajarkan kepada kita, bahwa manusia tidaklah merdeka sepenuhnya. Ketika manusia diberi kenikmatan dengan berbagai karunia Allah, banyak yang lupa diri, seolah dengan kebebasannya di dunia membuat dia merasa bisa melakukan segalanya. Ada tanggung jawab dan ada kewajiban, semua harus selaras.
Kemerdekaan, tanggung jawab dan kewajiban adalah hak manusia dalam memenuhi dirinya untuk menyempurnakan hidup. Namun kemerdekaan yang bebas tanpa batas bisa merugikan manusia, baik diri sendiri maupun orang lain. Seperti kisah di atas, karena ingin bebas melakukan apa yang diinginkan, termasuk memperturutkan hawa nafsunya sehingga dia lupa akan eksistensinya sebagai makhluk yang berada dalam pengawasan dan harus ikut aturan yang ditetapkan oleh Sang Khaliknya.
Manusia dengan perangkat akal, hati Nurani dan nafsu adalah makhluk yang mempunyai kemampuan dan merdeka untuk berperan dalam mengubah hidupnya. Dengan akalnya manusia dikarunia Tuhan dalam melihat kebenaran dan dengan hati nuraninya dapat merasakan kebenaran berdasarkan petunjuk ajaran agamanya. Namun, walaupun dia bebas berkehendak, juga ada tanggung jawab yang harus dipikul.
Kemerdekaan, selain sebagai upaya pembebasan dari penindasan yang berupa fisik, juga sebagai upaya pembebasan dari kunkungan hawa nafsu. Banyak diantara kita merasa hidup dalam kemerdekaan karena terbebas dari penindasan orang lain, tetapi pada hakikatnya masih diperbudak oleh hawa nafsu dan keegoan. Perbudakan hawa nafsu dan memperturutkan ego jauh lebih berbahaya dari perbudakan orang lain. Tidak heran bila Nabi Muhammad Saw. mengingatkan dalam sabdanya, Perang fisik sebesar apapun itu harus dilihat sebagai jihad yang kecil, jika dibandingkan perang melawan hawa nafsu dan perang melawan hawa nafsu inilah termasuk jihad yang besar. Karena itu, kemerdekaan dari perbudakan hawa nafsu itu jauh lebih penting dari kemerdekaan melawan penindasan orang lain. Wallahu a’lam