FAJAR, MAKASSAR–Di kalangan masyarakat Tombolopao, Gowa, tak ada yang meragukan kepahlawanan Karaeng Pado. Dia pahlawan.
Karaeng Pado gugur usai membunuh pemimpin Belanda di Gowa. Dia berhasil menikam hingga tewas Aspirant Contoleur Belanda di Gowa yang bernama FR Westhoof pada 17 Desember 1946. Di kalangan warga Tombolopao, Westhoof dikenal dengan panggilan Tuan Petoro.
Usai membunuh Westhoof, ajudan atau sumber lain menyebut sopir Westhoof, juga membalas kematian atasannya dengan menikam dari belakang Karaeng Pado.
Hairil Muin, cucu dari Karaeng Pado, menceritakan secuil kisah tentang kakeknya itu. Karaeng Pado merupakan pemimpin Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) Cabang Tombolopao pada awal kemerdekaan.
Peristiwa Karaeng Pado membunuh bos Belanda terjadi di Kampung Bulubalea, Kelurahan Patappang, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa. Monumen peringatan telah dibangun di lokasi itu. Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) III Letnan Jenderal TNI A.J. Witono meresmikannya pada 11 Desember 1973.
“Jika dilihat dari sejarah perjuangan Karaeng Pado, seharusnya pemerintah terus memperhatikan dan merawat salah satu tempat yang menjadi bukti sejarah perlawanan Karaeng Pado terhadap pemimpin Belanda,” ucap Hairil dilansir koran FAJAR edisi Jumat, 19 Agustus 2022.
Hingga saat ini, monumen tersebut tidak lagi mendapat perhatian dari pemerintah setempat sehingga terbengkalai begitu saja. Pagarnya belum ada sama sekali.
“Kami dari anak cucu Karaeng Pado patungan untuk merenovasi monumen bersejarah itu dengan mengumpulkan uang senilai Rp25 juta,” ungkap Hairil dengan wajah sedih.
Hairil mengungkapkan harapannya dengan mengajak seluruh masyarakat tanpa terkecuali untuk menghargai seluruh jasa pahlawan. Caranya dengan merawat monumen-monumen yang masih ada agar generasi muda tetap tahu sejarah kemerdekaan.
Nama Jalan
Banyak pahlawan daerah belum mendapat penghargaan. Mininal mengabadikan nama mereka sebagai nama jalan. Karaeng Pado, misalnya, hanya menjadi nama di Tamaona, sebuah kelurahan kecil di ujung timur Gowa.
Sebenarnya, di antara pejuang nasional, ada pula pejuang daerah yang perannya juga sangat penting. Terlibat langsung dalam mengusir penjajah, hingga gugur di medan perang.
Terutama pejuang pascaproklamasi kemerdekaan RI. Munculnya laskar-laskar pemberontak dan pejuang yang melawan penjajah merupakan bukti bahwa banyak pahlawan dari daerah. Sayang, mereka kini mulai terlupakan dan terasingkan.
Keluh kesah keluarga pejuang dan pahlawan daerah ini disampaikan saat berkunjungan ke FAJAR, Kamis, 18 Agustus. Kunjungan mereka masih rangkaian momentum HUT ke-77 Proklamasi Kemerdekaan RI.
Kacong Daeng Lalang
Abdul Rasyid, cucu Kacong Daeng Lalang juga angkat bicara. Kacong merupakan pemimpin Pasukan Pemberontak Nasional Indonesia (PPNI) Gowa.
Ia menyayangkan ketiadaan atensi dari pemerintah atas keluarga pejuang. Minimal beasiswa kepada anak cucu pejuang.
Sebagai pemimpin PPNI era 1940-an, Kacong Daeng Lalang mendapat banyak siksaan dari Belanda demi mempertahankan kemerdekaan.
“Mulai dari diseretnya kakek kami menggunakan rantai dengan kaki dan tangan terikat, hingga dikubur hidup-hidup selama empat hari empat malam sampai mengakibatkan kakek kami meninggal dunia,” terang Rasyid.
Kacong Daeng Lalang dikubur hidup-hidup di Borong Untia Taborong yang juga sekaligus menjadi makamnya hingga saat ini.
Jalanan Kecil
Mursalim Pattola, putra dari veteran Gowa, Pattola Sibali, mengeluhkan kebijakan pemerintah atas ketidaksesuaian antara hasil perjuangan orang tuanya dengan penempatan nama tempat jalanan menggunakan nama ayahnya.
Pattola Sibali merupakan Komandan Pasukan Laskar Gerakan Pemuda Bajeng sekaligus pemimpin Laskar Pemberontak Indonesia Serikat (Lapris).
Perjalanan panjang perjuangan Pattola Sibali melawan tentara Belanda mendapat banyak rintangan. Mulai penangkapan hingga rencana hukuman pembuangan ke Nusakambangan sampai penembakan yang dilakukan oleh tentara Belanda.
Hingga akhirnya Pattola Sibali mengembuskan napas terakhir di Limbung pada 1979 akibat infeksi bagian perut yang terkena peluru.
“Saya sebagai anak berharap kepada pemerintah untuk memindahkan nama Jalan Pattola Sibali ke tempat yang sedikit lebih layak,” ucap Mursalim.
Saat ini, tempat yang menjadi nama Jalan Pattola Sibali, dahulu merupakan akses sapi dan kerbau. Itu pun sangat pendek alias bukan jalan besar.
“Memang bisa tembus sampai ke Polsek Bajeng, tapi tidak bisa menggunakan akses kendaraan roda dua apalagi empat. Jadi harus jalan kaki baru bisa tembus,” terangnya.
Murasalim mengungkapkan harapannya bahwa nama Jalan Pattola Sibali itu bisa dipindahkan ke jalan poros Limbung-Takalar, tepatnya di SMP Muhammadiyah Limbung.
Bahkan untuk Kota Makassar, nama Pattola, Karaeng Pado, Kacong Daeng Lalang, beserta pejuang lain, idealnya punya ruang. Ini sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan mereka di tanah Gowa-Makassar.
Dahulu, Makassar merupakan wilayah kekuasaan Gowa, sebelum akhirnya dimekarkan. Bahkan hingga 1970, sebagian besar wilayah Makassar masih di bawah Gowa. Pada 1971 baru makin banyak wilayah yang dipindahkan ke Makassar.
Putra Abdesir
Muh Yahya Daeng Nai Tidung, putra dari Abdullah Daeng Sirua, mengakui, ada proses untuk menjadikan nama pejuang sebagai nama jalan. Sejauh ini, nama ayahnya telah menjadi nama jalan di Kota Makassar.
Bahkan kakek Yahya, ayah dari Abdullah Daeng Sirua, juga telah menjadi nama jalan di Kota Daeng: Jalan Yusuf Daeng Ngawing. Yahya berharap, rekan-rekan ayahnya juga mendapat ruang sebagai nama jalan ke depan.
Respons Pemkot
Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Sejarah, Dinas Kebudayaan Makassar, Sudirman mengamini pentingnya penamaan jalan menggunakan nama pahlawan.
“Ini memang penting supaya kita bisa sama-sama mengenang nama pahlawan,” ujarnya.
Sayangnya, dinas kebudayaan tak mengajukan program perubahan nama tersebut di tahun ini. Namun demikian, usulan keluarga pahlawan akan ditampung, sebab kemungkinan ke depan ada kebijakan perubahan nama jalan oleh pemkot.
“Sejauh ini belum ada (perubahan nama), di tahun ini,” ujarnya.
Diakui, ini menjadi salah satu kebijakan yang sudah cukup lama dipertimbangkan di dinas kebudayaan. (opi-an-mum/dir-zuk)
SELENGKAPNYA, BACA KORAN FAJAR EDISI JUMAT, 19 DESEMBER 2022