English English Indonesian Indonesian
oleh

Berjuang di Makassar, Ratulangi sebagai Gubernur Pertama Sulawesi Sempat Tak Dikenali

Usai proklamasi kemerdekaan RI, Soekarno-Hatta langsung membentuk pemerintahan. Termasuk di Sulsel.

BUSRAH HISAM ARDANS
Makassar

KALA itu, di wilayah Sulawesi, Dr Sam Ratulangi ditunjuk sebagai gubernur. Sayang, usai mengikuti proklamasi di Lapangan Ikada, Jakarta, situasi baru bergolak di Makassar, Sulsel.

Ratulangi pun gamang untuk mengumumkan dirinya sebagai gubernur. Tak banyak yang tahu kala itu. Namun, saat bersamaan, para pemuda Sulsel telah tahu bahwa Jepang telah kalah. Soekarno-Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan.

Dari para bangsawan, mereka telah mengetahui bahwa Ratulangi gubernur. Mereka terus mengadakan pertemuan untuk memberikan dukungan kepada Ratulangi.

Para bangsawan dari Luwu, Bone, Gowa, Mandar, Takalar, dan Ajattapareng menyatakan sikap bersedia berdiri di belakang Ratulangi sebagai benteng.

“Bangsawan inilah memiliki peran penting dalam mempertahankan kemerdekaan,” urai sejarawan Unhas, Suriadi Mappangara, dilansir FAJAR edisi Selasa, 16 Agustus 2022.

“Raja-raja dari Luwu, Bone, Gowa, Mandar itu semua berada di belakang Ratulangi. Mereka bilang, ‘Kamu jangan takut, kami dukung proklamasi karena Belanda tidak mengakui proklamasi itu’,” lanjut.

Pasca Jepang, Belanda yang membuat rusuh di Makassar. Bersama sekutu, kedatangan mereka menjadi alarm bagi pejuang Sulsel. Laskar-laskar perjuangan di daerah mempersiapkan diri.

Ketika mendengar kabar paskan Inggris danBelanda akan datang, di situlah kelaskaranbergerak. Tujuannya untuk mempertahankan kemerdekaan. Situasi itu berlangsung terus.

Dengung kemerdekaan yang kuat di Jawa, membuat Belanda berupaya membuat wilayah baru dan itu didapatkan di wilayah timur Indonesia dan berharap dari Manado dan Ambon mendukung. Untungnya mereka terkecoh.

“Ketika mau membentuk negara di timur, maka pada malam sebelumnya juga ada pertemuan di Polongbangkeng yang membentuk kelasakaran. Di situlah penyatuan kekuatan,” urainya.

“Ketika Belanda mau melanjutkan pertemuan di Denpasar, bulan Desember, maka para kelasakaran melakukan banyak kekacauan. Tujuannya untuk memberitahukan dunia luar bahwa di sini tidak aman,” sambung Kepala Laboratorium Sejarah dan Budaya, Unhas, ini.

Di sinilah mulai berjatuhan korban. Termasuk yang dikenal dengan nama “Korban 40 Ribu Jiwa”. Sepanjang 1945-1946 adalah masa menegangkan di Makassar. Terutama kurun Desember 1946 hingga Maret 1947.

Komandan Militer Belanda di Sulsel, Raymond Pierre Paul Westerling, menjadi dalang atas pembantaian itu. Membangun markas di Mattoanging, aksi mengeksekusi para pejuang itu dia skenariokan bersama 70 pasukan elitenya.

Kelaskaran daerah pun makin terbentuk. Para pemuda ini terus mengadang Belanda.
Di belakang mereka adalah para bangsawan.

“Itulah mengapa mereka dapat hidup dengan baik. Ketika mereka dilawan, maka tetap mendapatkan perlindungan dari rakyat karena rakyat tahu bahwa mereka di bawah perlindungan bangsawan,” ucap Suriadi.

Pembantaian itu terjadi, juga karena Westerling yang sudah kelabakan sehingga tidak tahu cara mengamankan. Akhirnya dilakukan secara membabi-buta.

Jadi memang setelah proklamasi itu baru bergejolak. Dengan cara apa pun, pemuda berupaya mengahalau Westerling, sehingga terjadi pembantaian.

Begitu kuatnya perlawaan itu, sehingga oleh Belanda mereka harus ditumpas. Dalam rentang itu terus terjadi pembantaian bahkan di kerajaan-kerajaan juga terbentuk kelaskaran.

“Nanti ketika terbentuk Negara Indonesia Timur (NIT) akhir Desember dengan ibu kotanya di Makassar, baru perlawanan tidak lagi fisik atau terbuka, tetapi lewat parlemen,” paparnya.

Makanya, peran Sulsel di sini luar biasa dalam awal proklamasi. Para pejuang langsung memproklamasikan bahwa Sulsel berada di belakang republik.

“Mereka-mereka; Andi Mappanyukki, Andi Djemma, Ibu Devo semua orang-orang penting, Sultan Daeng Radja, Pangerang Pettarani, Ratulangi yang malah ditangkap dan diasingkan, merupakan nama-nama pahlawan yang tercatat,” ujarnya.

Banyak lagi pahlawan lainnya. Apalagi, pahlawan dari Sulsel yang justru berada dalam fase perjuangan mempertahankan kemerdekaan periode 1945-50.

“Jadi bangsawan di belakangnya ini yang menjadi kuat. Itulah sebabnya banyak bangga dengan gelar itu. Di Sulsel justru bangga, beda dengan banyak tempat di Indonesia yang mau menanggalkan itu karena dikejar-kejar pemuda lantaran dekat dengan penjajah,” ungkapnya.

Se-Sulsel, hampir semua wilayah kuat dalam perlawan menumpas penjajah. Dari Gowa, Takalar, Parepare (Ajatappareng), Mandar, Luwu, Bone, Soppeng, termasuk pusatnya di Makassar. Hampir semua merata perlawanannya.

Sejarawan Unhas lainnya Bambang Sulistyo mengatakan Van Mook, selaku Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, makin serius ingin mendirikan Negara federal. Akibatnya pada 11 Desember 1946, panglima tertinggi angkatan perang Hindia Belanda mengumumkan Negara dalam Keadaan Darurat dan Perang (Staat Oorlog en Beleg).

Dalam situasi seperti pada 7- 24 Desember 1946 Letnan Jenderal H.J. van Mook menyelenggarakan Konferensi Denpasar yang berhasil membentuk Negara Indonesia Timur, sebagai salah satu negara bagian yang akan dibentuk kemudian di seluruh Indonesia.

NIT meliputi Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, dan Maluku, dan tanpa Papua. Keberhasilan Konferensi Denpasar selanjutnya diikuti dengan pembentukan negara federal lainnya sehingga terbentuk Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Jawa Timur, Negara Pasundan, dan lain-lain. (bersambung)

News Feed