SuarA: Nurul Ilmi Idrus
Di Indonesia, konsumsi plastik per kapita mencapai 17 kilogram per tahun dengan pertumbuhan konsumsi rata-rata 6-7 persen per tahun, sehingga sampah plastik menjadi masalah yang sangat serius di Indonesia. Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton/tahun. Tak heran jika Indonesia menduduki peringkat kedua dunia setelah China dan dianggap sebagai negara darurat sampah plastik.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa plastik sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari. Namun bahan plastik tidak ramah lingkungan dan sulit terurai. Eric Solheim, Kepala UN Environment PBB, mengklaim bahwa masalahnya bukan pada plastik, tapi apa yang kita lakukan terhadap plastik. Ini karena kita menjadi terlalu bergantung pada plastik, terutama plastik sekali pakai (single use plastic). Perilaku adiktif ini adalah hasil dari perilaku pembiasaan karena kita membiarkan plastik sekali pakai menyusup ke dalam relung-relung kehidupan kita dan sekarang kita menganggapnya sebagai suatu yang “normal dan nyaman”.
Jika dulu kita minum menggunakan gelas/cangkir, kini kita menggunakan gelas/botol plastik. Bila dulu kita membeli makanan menggunakan rantang, sekarang wadah plastik menggantikannya. Jika dulu kita berbelanja ke pasar membawa keranjang, sekarang kita menggunakan kantong plastik. Bila dulu kita membuat banner dari bahan kain, sekarang kita membuatnya dari bahan plastik. Jika dulu tamu disuguhi dengan minuman teh/kopi, sekarang minuman berplastik menggantikannya di ruang tamu rumah maupun di kantor.
Bila dulu interior pesta terbuat dari bahan-bahan alami (janur, bunga, dll.), maka sekarang interior terbuat dari bahan plastik. Jika dulu undangan berbahan kertas/karton, sekarang undangan diselimuti dengan amplop plastik. Bila dulu di bulan Ramadan kita makan makanan rumahan, sekarang kita membeli makanan/minuman berwadah plastik. Jika dulu di Hari Raya Idul Qurban, daging qurban dibungkus dengan daun pisang, sekarang daging qurban dibungkus kantong plastik. Prilaku adiksi terhadap plastik ini seakan “life is incomplete without plastics”.
Kebiasaan menggunakan plastik sekali pakai membuat sampah plastik memenuhi lingkungan kita, dan tak banyak yang menaruh perhatian terhadapnya. Banyak dari plastik-plastik ini masuk ke lautan, dan Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah India dan Cina sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar di laut, yang akan menghancurkan keanekaragaman hayati dan kehidupan laut lainnya.
Gaya hidup moderen di antaranya memang cenderung efektif, efisien, cepat, mudah, simpel, atau apapun yang tidak membuat ribet alias rempong. Dalam konteks pengurangan penggunaan plastik sekali pakai yang dipraktekkan oleh orang-orang tertentu, mereka menggunakan tumbler ketimbang membeli minuman kemasan plastik. Ketika membeli makanan mereka membawa wadah makanan sendiri. Ketika keluar rumah, mereka membawa reusable bag untuk berbelanja. Saat meminum minuman di café, mereka menggunakan sedotan non-plastik bawaan. Tak heran jika orang bergaya hidup seperti ini dianggap sebagai “bergaya hidup rempong”. Meski sedikit rempong, paling tidak mereka berkontribusi pada upaya meminimalkan jumlah sampah, terutama sampah plastik sekali pakai, sebagaimana diamanahkan dalam Perwali No. 70/2019 tentang Pengendalian Penggunaan Kantong Plastik.
Tempat pembuangan akhir (TPA) sampah sudah demikian menggunung karena 60% sampah dibuang ke TPA; hanya 10% didaur ulang, 30% lainnya tidak dikelola dan mencemari lingkungan, sementara sampah yang dihasilkan tiada henti. Let’s reduce single use plastics!