English English Indonesian Indonesian
oleh

Ketika Demokrasi Dibajak Oligarki

OLEH: Ady Anugrah Pratama, Advokat Publik Lembaga Bantuan Hukum Makassar

Akhirnya optimisme akan pemajuan demokrasi dan hak asasi manusia harus jatuh. Capaian perjuangan demokrasi dan hak asasi manusia saat reformasi mengalami pembalikan menuju kemunduran. Salah satunya, pada isu kebebasan sipil yang terus mengalami penyempitan.

Optimisme akan pemajuan demokrasi yang disandarkan pada sosok presiden yang dianggap lahir dari sipil, seperti Jokowi saat ini hanya menyisakan kekecewaan dan kegagalan, karena kenyataanya kemunduran demokrasi dan hak asasi manusia justru lahir dari sosok presiden yang lahir dari sipil, bukan dari latar belakang militer yang dianggap tak punya komitmen terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.

Kenyataan bahwa demokrasi di tanah air mengalangi kemandekan bahkan kemunduran sudah dinyatakan banyak pengamat, baik dari dalam negeri maupun para peneliti asing. Dengan istilah yang beragam seperti neo otoritarianisme, illiberal demokrasi, regresi demokrasi, dan resesi demokrasi.

Penyempitan kebebasan sipil

Menyempitnya kebebasan sipil adalah salah satu penanda bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Padahal secara hukum perlindungan dan penghormatan terhadap kebebasan sipil adalah hak yang harus dipenuhi (to fill) dan dihormati (to respect) yang mensyaratkan tak ada campur tangan atau sensor dari pemerintah untuk mencari dan menerima dan menyebarluaskan pikiran melalui media apapun (Ken Setiawan, 2020).

Penyempitan kebebasan sipil bisa kita liat dari maraknya pembubaran aksi demostrasi. Terutama saat aksi penolakan rancangan undang-undang omnibus law pada tahun 2020, kriminalisasi aktivis dan jurnalis, pembubaran ormas, serta  berbagai peraturan perundang-undangan yang sedang dibahas oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan tanpa melalui proses partisipasi yang bermakna (meaning full participation).

Sebut saja Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKHUP) yang sampai sekarang masih menuai banyak kritikan dan bahkan penolakan dari masyarakat sipil karena dianggap melanggar kebebasan berpendapat setiap warga Negara yang dijamin di dalam konstitusi. Yang terbaru, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 05 tentang Penyelenggaran Sistem Elektronik Lingkup Privat (PSE) yang sangat potensial mengganggu kebebasan berpendapat setiap warga Negara di mana dalam peraturan tersebut terdapat kewenangan pemerintah untuk menghapus konten-konten yang dianggap “meresahkan masyarakat dan melanggar ketertiban umum”. Ketentuan tersebut bisa sangat subjektif dan disalahgunakan untuk menghapus aspirasi dan kritikan masyarakat yang dianggap mengganggu pemerintah.

Penyebab kemunduran demokrasi

Kemunduruan demokrasi berakar dari tiga faktor mendasar di tingkat negara, masyarakat serta peran pemimpin politik. Kombinasi dari faktor tersebut yang menyebabkan penyempitan kebebasan berpendapat di Indonesia. Faktor pertama, adalah struktural di tingkat Negara dan lembaga politik. Hal ini terjadi karena setelah reformasi, aktor dari rezim otoriter orde baru masuk ke dalam struktur kekuasaan yang baru. Proses ini terjadi jauh sebelum Jokowi berkuasa, tetapi keberadaan tokoh-tokoh dipertahankan dan terus berupaya melakukan perlawanan dari dalam untuk menghadang upaya mewujudkan cita-cita perbaikan kualitas demokrasi (liberal) dan hak asasi manusia (Ken Setiawan, 2020).

Kedua, terjadi ditingkatan masyarakat. Hal ini bisa dilihat kecenderungan masyarakat yang terkesan permisif atas tindakan represif terhadak aktor-aktor yang kritis terhadap pemerintahan. Tengok saja elektabilitas Jokowi relatif meningkat walaupun di dalam banyak kebijakannya membelenggu kebebasan berpendapat.

Ketiga, kemunduran demokrasi karena pemimpin politik. Selama masa pemerintahannya, Jokowi tidak memberi banyak perhatian dan perlindungan pada hak-hak sipil dan politik. Jokowi lebih mengutamakan agenda mendorong pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrstruktur, dan investasi. Kondisi ini diperparah dengan akomodasi kelompok konservatif ke dalam struktur kekuasaan yang membuat agenda hak asasi manusia semakin terpinggirkan.

Di masa mendatang, tak ada jaminan ketika pemerintahan Jokowi berakhir maka akan terjadi perbaikan kualitas demokrasi. Ketiga faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi saling memengaruhi satu sama lain. Pada akhirnya, perlu membuat atau menjaga keseimbangan kekuasaan antara negara dan masyarakat sipil. Jika Negara terlalu kuat, ia akan menjadi raksasa yang akan membunuh kebebasan sipil dan demokrasi dan apabiala sipil terlalu kuat dan Negara lemah, maka kemungkinan kekacauaan akan terjadi.

Harus kita akui, konsolidasi oligarki setelah reformasi berlangsung cepat tetapi di sisi yang lain, masyarakat sipil keteteran untuk berkonsolidasi dan bersaing dengan oligarki. Tentu ini masalah, saya kira itu pekerjaan rumah kita.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (*/)

News Feed