English English Indonesian Indonesian
oleh

Konstitusionalitas Pidana Mati dalam RKUHP

OLEH: Fadli Andi Natsif, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar

Indonesia, Agustus 2022 sudah berusia 77 tahun. Dalam ruang waktu itu disadari masih banyak aturan yang berlaku berasal dari produk pemerintahan penjajah.

Sudah saatnya para pihak otoritas pemerintahan sekarang berinisiatif membuat produk hukum yang sesuai dengan jiwa bangsa. Seperti yang selalu diingatkan oleh Friedrich Carl von Savigny pencetus aliran pemikiran hukum Mashab Sejarah. Menurutnya setiap bangsa punya jiwa, sehingga produk hukumnya harus mencerminkan jiwa bangsanya sendiri (volkgeist). Pendakuan Savigny kemudian diamini oleh seorang ahli hukum Robert B. Seidman yang mengatakan hukum suatu bangsa tidak dapat begitu saja keberlakuanya dialihkan ke bangsa lain (The law of Non-transferability of Law).

Meskipun sudah banyak aturan di luar kodifikasi hukum (di luar kitab undang-undang) yang lahir berupa undang-undang yang dapat dikatakan produk asli pemerintahan Indonesia, tetapi kodifikasi hukum berupa kitab undang-undang masih berlaku sampai saat ini termasuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana).

Upaya perubahan KUH Pidana (KUHP) yang akan dilakukan pemerintah sekarang terus menjadi perbincangan bahkan menimbulkan pro kontra. Perdebatan beberapa substansi pasal yang dianggap dapat mengancam kebebasan berpendapat. Berdasarkan berbagai sumber media dari sekian banyak pasal, sekitar 14 isu krusial dalam rancangan KUHP (RKUHP), dalam kolom opini yang terbatas ini saya hanya ingin mengulas secara singkat tentang pasal yang masih mencantumkan pidana mati.

***

Apa pun bunyi pasalnya, yang jelas masih dicantumkannya frasa pidana mati dalam RKUHP menandakan Indonesia belum memiliki kepekaan nilai-nilai universal. Belum mendalami secara substantif esensi konstitusi yang dibuatnya sendiri.

Konstitusi Indonesia (UUD NRI 1945) sudah mengalami empat kali perubahan sejak memasuki era reformasi 1998. Lompatan besar (istilah yang sering digunakan oleh ahli hukum) terhadap perubahan konstitusi terutama terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dengan diaturnya secara tegas pokok bahasan HAM dalam Bab X A mulai pasal 28 A sampai 28 J.

Perubahan kedua UUD NRI 1945 tahun 2000 dalam pasal 28 I secara tegas dan limitatif disebutkan ada tujuh (7) jenis HAM yang “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, yaitu: hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Dalam teori, istilah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun disebut dengan istilah non derogable rights. Dengan demikian, hak hidup sebagai salah satu yang masuk kategori non derogable rights. Bagi mereka yang memahami hal ini, maka pencantuman jenis pidana mati dalam dalam sebuah aturan hukum dapat dianggap melanggar konstitusi Pasal 28 I.

Meskipun persoalan konstitusional pidana mati pernah menjadi ranah perdebatan di forum Mahkamah Konstitusi, ketika dilakukan uji materi UU Narkotika (putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007). Kemudian lebih lengkapnya dokumen perdebatan uji materi UU Narkotika ini sudah dibukukan berjudul: Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Mahkamah Konstitusi, disusun oleh Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas 2009.

Alasan bahwa stelsel jenis pidana dalam Pasal 10 KUHP yang berlaku sekarang, pidana mati masuk dalam stelsel pidana pokok, kemudian dalam RKUHP diubah dan hanya dikategorikan sebagai jenis pidana alternatif atau bersifat khusus. Juga dimungkinkan penjatuhan sanksi pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun apabila memenuhi persyaratan. Dengan pengaturan pidana mati dalam RKUHP seperti ini tidak bisa dijadikan dasar sebagai sesuatu yang sudah memenuhi syarat konstitusional berdasarkan Pasal 28 J (ayat 2) bahwa setiap orang harus tunduk pada pembatasan undang-undang juga demi untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak orang lain.

Bagaimana pun kita harus kembali kepada makna bahwa hak hidup adalah hak konstitusional yang non derogable rights. Hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. Artinya hak hidup yang merupakan hak yang melekat dalam diri manusia yang konsekuensi sebagai manusia merupakan pemberian asasi Tuhan (mensenrechten). Sehingga kalau negara masih memungkinkan adanya pidana mati dalam berbagai ketentuan undang-undang termasuk dalam RKUHP, maka dapat dikatakan undang-undang sebagai produk manusia itu bertentangan dengan konstitusi yang mengakui hak hidup sebagai sesuatu yang harus dihargai dan tidak boleh ada aturan yang menafikan hak hidup itu. Masih adanya pencantuman pidana mati sebagai bentuk pengebirian hak hidup sebagai hak asasi manusiasesuai bunyi Pasal 28 I UUD NRI 1945. (*/)

News Feed