OLEH: Ahmad Sukarno, S.IP, M.Adm.SDA, Widyaiswara Puslatbang KMP Lembaga Administrasi Negara RI
Paradigma administrasi negara telah mengalami pergeseran sesuai dengan perkembangan dinamika lingkungan eksternal dan internal organisasi hingga administrasi negara berfokus ke publik.
Sejak reformasi birokrasi yang dicetuskan dalam paradigma administrasi New Public Services,orientasi organisasi pemerintah hadir untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan ketika itu konsep Governance juga menjadi penekanan seiring dengan perlunya tatakelola pemerintahan yang baik dilakukan dengan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabel.
Momentum Reformasi Birokrasi di Indonesia mencapai puncaknya dilakukan secara terencana dan terukur dicanangkan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, terdapat 8 area perubahan yang menjadi fokusing bagi seluruh pemerintah pusat dan daerah untuk secara bersama-sama menerapkannya yaitu: Organisasi, Tatalaksana, Peraturan Perundang-undangan, SDM, Pengawasan, Akuntabilitas, Pelayanan Publik, Pola Pikir (Mind Set) dan Budaya Kerja (Culture Set) Aparatur. Tujuan yang ingin dicapai pada tahun 2025 adalah terwujudnya Pemerintahan Berkelas Dunia. Indikatornyatercapainya Indeks Ease of Doing Business, Corruption Perceptions Index, Government Effectiveness Index, Trust Barometeryang bernilai baik.
Fase ketiga RB yaitu tahun 2020-2024 pemerintah akan menghadapi tantangan yang semakin berat, baik tantangan eksternal misalnya peperangan, bencana alam, perkembangan teknologi informasi, maupun tantangan internal organisasi. Tantangan internal organisasi sebenarnya datang dari 8 area perubahan Reformasi Birokrasi itu sendiri. Berikut tantangan tersebut yang juga menimbulkan gelombang disrupsi yang dihadapi oleh seluruh organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah.
Pertama. Area Deregulasi kebijakan. Fungsi pemerintah adalah mengeluarkan kebijakan sebagai payung hukum seluruh tindakan administrasi pemerintahan. Kebijakan yang memiliki sifat sangat strategis dan berdampak sistemik, maka seharusnya perlu piloting, try and errors, evaluasi lalu diterapkan secara menyeluruh. Misalnya terkait kebijakan penyetaraan jabatan. Kebijakan ini diasumsikan justru menghambat laju reformasi birokrasi itu sendiri, dilakukan difase akhir sangat berdampak pada sistem manajemen kepegawaian saat ini. Harusnya kebijakan strategis dan sistemik ini dikeluarkan pada fase awal. Misalnya, Organisasi Pemerintah Daerah diatur dengan UU No. 9 Tahun 2015 tentang perubahan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Manajemen Kepegawaian diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dua kebijakan ini harus terkoneksi dalam kebijakan turunannya. Penyederhanaan Organisasi dengan menghapus Jabatan Pengawas dialihkan ke Jabatan Fungsional mengaburkan distribusi kewenangan dimana pembentukan Unit setingkat Seksi/Sub Bidang harus memiliki Bobot Skor Beban Kerja 300, bilamana struktur dihapuskan artinya kewenangan juga hilang.Sementara urusan pemerintahan dalam bentuk kewenangan dapat dihilangkan jika kurang dari 200. (PP No. 72 Tahun 2019). Rantai komando masih diperlukan, Pengawas memiliki rentang kendali pada bawahan, misalnya membawahi maksimal tujuh orang Pejabat Pelaksana. Sementara itu, Jabatan Fungsional adalah jabatan profesional keahlian spesifik, bukan berperan sebagai manajer. Mungkin layanan lambat karena distribusi staf tidak merata atau bahkan ada unit yang tidak memiliki staf. Bukan strukturnya bermasalah, tapi proses kerja dan prosedur kerjanya yang panjang. Hal ini yang harusnya dibenahi. Organisasi matriks sudah biasa digunakan dengan menggunakan sumber daya lintas unit, namun kewenangan dan rantai komando itu penting.
Kedua. Digitalisasi birokrasi sudah menjadi keharusan untuk memudahkan sistem kerja dan pelayanan pemerintah, namun perlu dipertimbangkan juga dampak penerapan e-government tersebut. Layanan pemerintah yang membutuhkan big data dengan super aplikasi jangan sampai justru menimbulkan kerugian bagi pemerintah dimana aset-aset gedung kantor yang besar dan banyak tentu akan semakin tidak efektif lagi dengan adanya aplikasi super tersebut. Jika konsep aplikasi super ingin diterapkan, maka sebenarnya penerapan Mall Pelayanan Publik bagi pemerintah daerah harus diklusterisasi cukup di pemerintah kota saja, dan bagi pemerintah kabupaten Mall Pelayanan Publik sebaiknya digeser ke Kecamatan saja untuk mendekatkan pelayanan ke masyarakat. Selain itu, sistem pelaporan pemerintah sebaiknya disimplifikasi saja, sistem pelaporan berbasis big dataperlu disederhanakan dan disatukan. Begitu banyak aplikasi yang sejenis dengan tujuan yang sama, misalnya sistem pelaporan: LAKIP, LPPD, dan sejenisnya. Laporan SPT, Siharka dan sejenis juga disatukan saja. Demikian beberapa tantangan Reformasi Birokrasi di Indonesia. Semoga birokrasi di Indonesia mencapai Pemerintahan Berkelas Dunia. (*)