Oleh Aswar Hasan, Dosen di Unhas
Al kisah, ribuan tahun lalu, hiduplah sepasang suami istri di Tiongkok. Sang Suami adalah saudagar kaya raya. Hidup mewah dan tak kurang apa pun untuk kehidupan duniawinya. Sementara Istrinya adalah wanita muda tercantik di negeri itu. Saudagar itu, sangat menyayangi Istrinya dan sangat memproteksinya, karena ia termasuk pria pencemburu.
Suatu hari, sang Saudagar jatuh sakit. Seluruh Tabib di penjuru negeri telah didatangkan untuk mengobati. Namun, tak satu pun yang berhasil menyembuhkannya. Akhirnya, ajal menjemputnya. Hartanya yang melimpah itu tentu tidak dibawahnya mati. Tapi, sebelum ajal menjemputnya, ia telah meninggalkan wasiat dalam kotak rahasia yang diberikan kepada istrinya yang cantik itu.
Alam seolah ikut bersedih atas kepergian sang Saudagar. Rintik hujan pun membasahi bumi. Selama hidupnya, Saudagar itu dikenal sangat baik dan dermawan. Proses pemakaman Berlangsung ramai tapi hikmat. Di tengah duka yang mendalam, sang istri secara rahasia membuka kotak wasiat mendiang suaminya. Ketika membaca isi wasiatnya, ia kaget, sembari mengernyitkan keningnya. Tapi tak lama berselang, ia pun manggut-manggut, sembari tersenyum.
Pemakaman pun berlangsung ketika rintik hujan berhenti. sang istri dengan setia mengikuti prosesi pemakaman. Ketika para pelayat pada pulang, tinggallah sang istri seorang diri di atas kuburan mendiang suaminya. Ia tak henti mengipas-ngipas gundukan tanah kuburan suaminya. Seolah ia mengipas suaminya semasa hidup agar tidak kegerahan. Para pelayat yang sempat menyaksikannya pun, berdecak kagum akan kesetiaan dan bakti kecintaan sang istri yang tetap memperlakukan suaminya dengan penuh rasa bakti dan hormat, meskipun sudah meninggal. Maka tersebarlah ke seantero negeri akan kesetiaan dan kecintaan istri mendiang saudagar yang cantik dan muda itu.
Namun demikian, orang ternyata salah persepsi. Istri mendiang saudagar itu, ternyata bukan mengipas kuburan suaminya sebagai bentuk kesetiaan dan kasih sayangnya, tetapi sebagai upaya untuk segera mengeringkan tanah kuburannya dari rintik hujan yang turun. Ia tak sabaran agar tanah kuburan suaminya cepat mengering.
Berapa tidak, upaya sang istri mengipasi tanah kuburan suaminya itu, karena ingin segera memenuhi maksud persyaratan isi wasiat suaminya. Isi wasiat itu, berbunyi: “Istriku. Saya sangat menyayangimu. Seluruh hartaku jika aku meninggal kelak akan kuwariskan kepadamu dengan syarat kamu jangan pernah menikah lagi dengan lelaki lain, sepanjang kuburanku masih basah”. Rupanya, sang istri mengipasi kuburan suaminya itu, adalah bentuk upaya agar kuburannya segera mengering, supaya ia segera mewarisi hartanya, sekaligus segera bisa menikah lagi.
Benar kata pepatah, bahwa usia kesetiaan itu, selama hayat masih di kandung badan. Kesetiaannya sebatas hayat yang dicintainya. Bukan selama hayat yang mencintai. Itulah sebabnya, kesetiaan yang lahiriah itu, acapkali menipu, dan dipermainkan. Dunia ini memang sandiwara, dan permainan semata. “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. Al-Hadîd: 20). “Dan kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?”(QS. Al-An’am: Ayat 32). “Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui” (QS. Al-‘Ankabut: Ayat 64). “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu, dan Dia tidak akan meminta hartamu”(QS. Muhammad: Ayat 36).
Mengetahui hakikat dunia seperti itu, maka bagi orang beriman dan berakal, pasti akan memilih sesuatu yang baik bukan yang buruk, untuk beramal selama masih hidup, dan mengutamakan kebahagiaan yang bersifat abadi daripada kebahagiaan yang bersifat sementara (duniawi).
Kematian saudagar kaya tersebut, dan tipu daya istri yang dia tinggalkan, serta kesalahan persepsi masyarakat yang menyaksikannya, menyisakan 3 (hikmah) yaitu; Pertama, harta tidak dibawa mati dan akan dinikmati oleh orang yang dia tinggal dengan tidak ada jaminan memperlakukannya sesuai yang diwasiatkan. Kedua, kesetiaan itu, sangat sulit dipertahankan dari godaan dunia. Kecuali kesetiaan yang didasarkan pada keimanan yang dikandung selama hayat hidup kita. Ketiga, jangan tertipu oleh realitas sebagai fakta visual, atau teks semata, tanpa terkonfirmasi oleh konteks, situasi, dan fakta lainnya yang tidak tampak, karena teks tanpa pemahaman konteks yang sesungguhnya, rentan membuat kita salah persepsi yang berujung tersebarnya fitnah. Hal seperti itu acapkali terjadi di panggung politik, terutama saat ini, menjelang Pemilu 2024. Ya, karena dunia ini panggung sandiwara. Dan, kita pun sama tahu, bahwa politik itu, identik dengan sandiwara. Wallahu a’lam bishawwabe. (*/)