“Selain dalam peraturan presiden di atas, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang rencana pembangunan nasional jangka panjang 2005-2025, kebanyakan pemda tidak paham apa fungsinya. SK kelembagaan menandakan secara formal inkubator bisnis dibentuk, oleh pemerintah daerah (bupati atau wali kota), SK pengelola dalam tim yang dibentuk mengelola, standar dari AIBI (Asosiasi Inkubator Bisnis Indonesia) pengelola non-PNS dan gaji secara bulanan,” terang dia.
Untuk mengatasi masalah yang ada, alumni Universitas Gadjah Mada ini menawarkan solusi dengan membuat rencana kerja terstruktur. Mengadakan pendataan jumlah UKM, pendanaan hibah, serta menjalin kerja sama dengan investor.
“Membuat rencana kerja yang jelas bagi inkubator bisnis inti selama lima dan sepuluh tahun ke depan. Apa saja program yang akan disinergikan dengan SKPD lain. Mendata program CSR dari BUMN, dan berbagai sumber potensi pendanaan untuk membiayai program inkubator bisnis di daerah. Rencana kerja ini adalah berapa jumlah UKM yang dapat dibina dan menjadi unggulan, besarnya pendanaan sebagai dana hibah, mengundang investor datang berinvestasi di UKM di daerah. Ini tentu disesuaikan dengan kebutuhan di daerah,” tutur pegiat UMKM UNHAS ini.
“Menyiapkan fasilitas fisik. Dalam konsep inkubator bisnis di external 7 S yaitu space, shared, service, support, skill development, seed capital, dan sinergi. Memiliki gedung yang berfungsi sebagai co-working space, tempat pelatihan, dan pendampingan. Serta kantor bersama. Ini hendaknya mengacu pada NSPK kementerian koperasi dan UKM RI.
Tidak semua pemda memiliki anggaran fisik, tetapi ini bisa berkolaborasi dengan rumah kreatif BUMN, atau universitas yang ada di daerah atau memanfaatkan aset daerah yang tidak terkelola dan meminta bekerja sama BUMN untuk renovasi ulang kantor tersebut dengan fasilitas-fasilitas kantor, akses internet yang baik, dan mengundang business advisor, profesional yang akan menjadi mentor,” sambungnya.