English English Indonesian Indonesian
oleh

Isyarat KPK

KPK kembali menghadirkan berita. Kali ini terkait upaya ‘penangkapan’ yang gagal atas
Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak. Ricky kemudian sudah ditetapkan jadi buronan KPK lantaran mangkir dan kabur. Ia kabur setelah melarikan diri karena ketika ingin dijemput (setelah tak memenuhi panggilan KPK di Gedung Merah Putih pada Kamis 14/7).

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri membenarkan bahwa penyidik KPK telah melakukan upaya jemput paksa terhadap Ricky di wilayah Papua. Namun, saat hendak dijemput Ricky berhasil kabur dari penjemputan penyidik. Berdasarkan informasi yang disampaikan pihak Polda Papua Ricky Ham diduga melarikan diri ke Papua Nugini saat hendak dijemput paksa oleh KPK. Dia diduga kabur lewat jalan tikus. Ia mendPat bocoran akan ditangkap dan melarikan diri.

**
Terkait perkara Ricky — KPK memang tengah mengusut dugaan tindak pidana korupsi (TPK) berupa suap dan gratifikasi di sejumlah proyek di Pemerintahan Kabupaten Mamberamo Tengah, Papua. Saat ini, kasus tersebut telah berada di tahap penyidikan terhitung awal bukan Juni lalu.

Kasus Ricky — harusnya menjadi isyarat dan pesan penting bagi semua kalangan pengelola daerah agar menyudahi praktik KKN yang sudah menjadi kebiasaan itu. Kita semua tahu bahwa praktik KKN bukanlah sesuatu yang sudah tak ada di republik ini. Masih terus berlangsung dan kita mengetahuinya secara bersama-sama.

Tahun 2022 ini kita masih mengingat beberapa Wali Kota dan Bupati yang ditangkap KPK karena dugaan suap dan praktik korupsi lainnya. Ada Wali Kota Ambon Richard Louhenapesay, ada Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud hingga Bupati Langkat di Sumatera Utara sana: Terbit Rencana Perangin-Angin.

Paling tragis adalah Bupati Bogor Ade Yasin — adik mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin yang di tahun 2014 lalu ditangkap KPK juga.

Begitu beruntun kabar tentang penangkapan Kepala Daerah oleh KPK tetapi mengapa seperti tidak membuat adanya ‘efek jera’? Para pakar memberi jawaban: pertama, vonis hukuman yang terlalu rendah.

Apalagi ada yang melanjutkan dengan pernyataan yang terdengar sadis: vonis tidak diikuti dengan upaya pemiskinan bagi si koruptor. Hal itu, tentunya tidak membuat jera para koruptor. Kedua, masyarakat dapat menerima koruptor setelah usai menjalani hukuman. Bahkan, ada kesan masyarakat menyambut koruptor dengan ‘suka cita.’ Koruptor menjadi bukan ‘aib’ lagi.
Akibatnya, sang koruptor merasa tetap nyaman setelah berbaur kembali dengan masyarakat.
Jawaban ketiga dari para pakar adalah: terkait biaya ketika mereka meraih jabatan politik. Besarnya biaya politik untuk menjadi kepala daerah. Modal politik itu tidak mungkin dapat dikembalikan dari gaji dan tunjangannya selama lima tahun menjabat. Akibatnya, kepala daerah akan menutupi biaya politik itu dengan cara tidak halal. Mereka mencari sumber keuangan yang dapat menutupi cost politik tersebut. Malahan beberapa Kepala Daerah yang dikenal memiliki kekayaan yang berlebih — ternyata terjerat juga dengan urusan ‘suap-menyuap’ pemberian jabatan. Ironis. Isyarat yang selalu disampaikan KPK ternyata dianggap angin lalu saja. Penangkapan KPK hanya dianggap sebagai sesuatu kesialan belaka.**

News Feed