English English Indonesian Indonesian
oleh

Cegah Stunting Berbasis Kearifan Lokal, Tim Pengabdian Unhas Kolaborasi dengan DPPKB Pangkep

FAJAR, PANGKEP-Mengatasi stunting dengan lintas disiplin ilmu. Bukan hanya ilmu kesehatan, tetapi dengan pendekatan budaya. Pembahasan lintas disiplin ini mengemukaka dalam Sosialiasi Pencegahan Stunting melalui Pendekatan Budaya dan Kearifan Lokal bagi Penyuluh Lapangan BKKBN di Pangkep, Kamis, 7 Juli.

Kolaborasi ini Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana (DPPKB), Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Pangkep dengan Tim Pengabdian kepada Masyarakat Program Kemitraan Masyarakat (PPMU-PK-M) LP2M Unhas.

Kabid KBKS Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pangkep, Muh Imanuddin Taqwa Karim menjelaskan, stunting merupakan masalah gizi kronis yang ditandai dengan kegagalan seorang anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.

Hal ini disebabkan oleh dampak kekurangan gizi secara kumulatif dan terus-menerus, sehingga anak terlalu pendek untuk seusianya. “Kekurangan gizi kronis terjadi sejak bayi dalam kandungan dan masa awal setelah anak lahir, stunting baru nampak setelah anak usia 2 tahun,” ujarnya.

Ia menyebutkan, stunting mulai dicegah pada periode emas 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). “1000 hari pertama kehidupan ini adalah masa sejak anak dalam kandungan sampai anak berusia dua tahun,” jelasnya.

Pada periode itu katanya, pertumbuhan otak sangat pesat yang mendukung seluruh proses pertumbuhan anak dengan sempurna. “Kekurangan gizi pada periode emas tidak dapat diperbaiki di masa selanjutnya,” tuturnya di hadapan Penyuluh Lapangan BKKBN di Pangkep.

Menurutnya, jika anak kurang gizi akan mendampak pada kesehatan anak. “Anak tidak cerdas karena pertumbuhan otak terhambat, anak berpotensi menjadi pendek (stunting) karena pertumbuhan jasmani terhambat. Anak mudah lemah dan sakit, serta anak akan sulit mengikuti pelajaran saat bersekolah,” paparnya.

Untuk penanganan stunting menurutnya, ada dua hal yaitu, intervensi spesifik dan intervensi sensitif pada sasaran 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak sampai berusia 2 tahun. Ia juga membeberkan, langkah-langkah yang ditempuh seorang ibu, yaitu, memeriksa kehamilan, penuhi gizi ibu hamil, minum tablet tambah darah.

Kemudian, bersalin di sarana kesehatan, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian ASI eksklusif. Selain itu, juga dilengkapi dengan imunisasi dasar lengkap, pantau tumbuh kembang di posyandu (BKB), penuhi kebutuhan air bersih, dan PHBS dan sanitasi lingkungan. “Pemerintah juga sudah mengeluarkan Peraturan Bupati Pangkajene dan Kepulauan Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penurunan Stunting ini,” jelasnya.

Ketua Tim Pengabdian Unhas, Dr Inriati Lewa juga memberikan pandangan penanganan stunting dengan budaya dan kearifan lokal. Ia mencontohkan, pemahaman soal kematangan usia berumah tangga. Dalam pemahaman kearifan lokal dikenal dengan sudah siap mengelilingi dapur tujuh kali.

Makna sebenarnya kata dia, bukan soal mengelilingi begitu saja, tetapi mengandung makna kematangan membangun rumah tangga. Matang secara pengetahuan dan kedewasaan. Dengan berpemahaman demikian, maka pernikahan dini bisa diantisipasi. Karena salah satu penyebab stunting karena belum siap nikah secara usia.

“Stunting bukan hanya bicara persoalan kesehatan, tetapi ada budaya di dalamnya. Ada kearifan lokal di dalamnya,” jelas Dosen Sastra Indonesia Unhas ini.

Ia menegaskan kembali, upaya penurunan stunting bisa dengan lintas disiplin ilmu. Bukan hanya pendekatan kesehatan, tetapi budaya. Pendekatan ini bisa diterapkan di Pangkep. Dengan kolaborasi ini maka stunting bisa ditangani. Ia juga menunjukkan tren baik penurunan stunting di tingkat nasional. Itu secara berturut-turut pada tahun 2018 turun 1,3 persen/tahun, pada tahun 2019 turun menjadi 1,7 persen/tahun. “Dan 2021 turun menjadi 24,4 persen,” ungkapnya.

Pemateri lainnya dari alumni Magister Bahasa Indonesia FIB Unhas, Ilham. Ia banyak menjelaskan, hubungan gizi anak sangat terkait dengan dapur ibu. Ibulah yang memanajemen gizi anak hingga kesiapan pangan yang dikonsumsi. Salah satu hal yang disarankan dalam kearifan lokal, kebiasaan masyarakat Sulsel menaman di halaman pekarangan rumah. “Mulai dari sayur-sayuran, seperti kelor, serai, dan tanaman rempah lainnya. Itu menjadi alternatif ketahanan pangan dari halaman rumah,” tuturnya. (fit/*)

News Feed